Tulisan ini hanya ingin mengajak semua 
pihak memposisikan proses pengadaan barang/jasa sebagai sebuah sub 
sistem pencapaian tujuan rencana pembangunan, bukan dalam posisi absolutisme hasil. Ketika dilihat sebagai proses maka semua pihak bisa obyektif dalam menilai hasil pengadaan barang/jasa.
Pengadaan barang/jasa pemerintah dinaungi
 oleh Peraturan Presiden 54 tahun 2010. Ruang lingkup pengadaan 
barang/jasa secara umum adalah pengadaan, pelaksanaan kontrak dan serah 
terima (hand over). Dalam tiga domain inilah semestinya pengadaan 
barang/jasa dinilai.
Sebagai bagian integral dari sistem 
pembangunan, pengadaan barang/jasa berawal dari sebuah kebutuhan untuk 
mencapai hasil yang telah direncanakan, di programkan dan disediakan 
anggarannya. Kata kuncinya adalah pemenuhan “kebutuhan” bukan 
“keinginan”. Kebutuhan dapat diukur sedangkan keinginan tidak berbatas. 
Karena itulah keberhasilan proses pengadaan mestinya sangat mudah diukur
 karena sejak awal indikator pencapaian sudah ditetapkan. Sesuatu yang 
mudah diukur tentu tidak akan sulit untuk dikendalikan.
Prinsip dasar pengadaan barang/jasa 
pemerintah adalah efisien,efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil 
tidak diskriminatif dan akuntabel. Proses pengadaan dinilai memenuhi 
tujuh prinsip ini dengan melihat content dokumen pengadaan. 
Sementara proses pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa dinilai dari
 kepatuhan atau ketaatan tata laksana pemilihan sesuai dokumen 
pengadaan. Pelaksanaan kontrak dinilai dari komitmen kedua belah pihak, 
yaitu pemerintah yang diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan 
penyedia, dalam mematuhi kesepakatan dalam dokumen kontrak. Demikian 
juga dengan serah terima hasil pekerjaan dinilai dari kesesuaian output 
yang tertuang dalam kontrak dengan kondisi riil barang/jasa yang 
diberikan penyedia.
Selama koridor penilaian memenuhi kerangka ini, maka proses pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan sudah berada dalam track
 sistem. Apabila kemudian diketahui atau diindikasikan runtutan sistem 
ini tidak dipatuhi maka tanpa melihat hasilpun sudah dapat dipastikan 
bahwa pengadaan barang/jasa tersebut bermasalah.
Kita harus memisahkan antara masalah pengadaan dengan pengadaan bermasalah. Masalah pengadaan yang mengakibatkan terganggunya pencapaian hasil, menunjukkan proses pengadaan tersebut masih dalam sistem. Berbeda dengan pengadaan bermasalah yang lebih menjurus pada pelanggaran prinsip-prinsip pengadaan.
Masalah pengadaan 
berdampak negatif terhadap hasil namun tidak melanggar prinsip-prinsip 
pengadaan. Dan ingat prinsip pengadaan menjamin tidak terjadinya 
kerugian negara. Sementara pengadaan bermasalah bisa 
saja tidak berdampak negatif pada pencapaian hasil pekerjaan, namun 
potensial melanggar prinsip pengadaan yang ujungnya merugikan negara. 
Dalam menilai keterlambatan penyelesaian pekerjaan kita harus membedakan
 apakah ini masalah pengadaan atau pengadaan bermasalah.
Apabila keterlambatan atau kegagalan 
penyelesaian pekerjaan masih dalam kategori masalah pengadaan semestinya
 tidak bisa serta merta dianggap sebagai pelanggaran. Kalau dipaksakan 
maka cenderung berdampak buruk pada entitas pengadaan barang/jasa yang 
ujungnya menghambat pelaksanaan pembangunan.
Setiap hal didunia ini, pun juga 
pelaksanaan pekerjaan pembangunan, tidak ada yang selalu 100% sesuai 
dengan rencana. Relativitas pencapaian hasil pekerjaan akan selalau ada.
 Dalam ruang lingkup kontrak keterlambatan atau ketidakmampuan penyedia 
menyelesaikan pekerjaan telah diprediksi dan diantisipasi dalam 
klausul-klausul kontrak.
Keterlambatan pelaksanaan dalam kontrak dibagi atas dua kondisi yaitu unforseen dan unforseable condition. Unforseen
adalah
kondisi dimana resiko penghambat hanya tidak terlihat tapi dapat diprediksikan. Misalkan disatu daerah sering terjadi banjir maka resiko banjir hanyalah unforseen
condition yang harus diantisipasi dalam kontrak. Sedang Unforseable condition adalah hal-hal yang tidak dapat diperkirakan atau keadaan kahar.
adalah
kondisi dimana resiko penghambat hanya tidak terlihat tapi dapat diprediksikan. Misalkan disatu daerah sering terjadi banjir maka resiko banjir hanyalah unforseen
condition yang harus diantisipasi dalam kontrak. Sedang Unforseable condition adalah hal-hal yang tidak dapat diperkirakan atau keadaan kahar.
Kerugian akibat unforseen condition
 ini dikompensasi dengan jaring pengaman kontrak. Diantara jaring 
pengaman kontrak ini adalah Jaminan Pelaksanaan 5% dari nilai kontrak 
atau HPS. Kemudian ada denda keterlambatan maksimal sebesar Jaminan 
Pelaksanaan. Dengan demikian apabila penyedia tidak mampu melaksanakan 
pekerjaan, setelah hak keterlambatan habis, penyedia merugi sebesar 10% 
dari nilai kontrak/HPS sementara bagian atau seluruh pekerjaan tidak 
dibayarkan ke penyedia.
Selain telah diantisipasi dengan jaring pengaman, kontrak juga dilengkapi ancaman sangsi berupa blacklist nasional, gugatan perdata dan bahkan penyedia dapat diadukan secara pidana apabila wanpretasi tersebut mengandung unsur pidana.
Setiap resiko telah diperhitungkan 
didalam dokumen kontrak sehingga keterlambatan atau tidak selesainya 
pekerjaan pembangunan masih dalam ruang lingkup sistem. Selama masih 
dalam ruang lingkup sistem tidak beralasan ada penilaian bahwa pengadaan bermasalah.
Disini pentingnya tahun 2012 setiap PPK 
diwajibkan memiliki sertifikat kompetensi pengadaan minimal tingkat 
dasar. Seorang PPK tidak harus mengerti seluruh teknis pekerjaan, karena
 bisa meminta dukungan tenaga teknis, namun terpenting memahami 
manajemen pengendalian kontrak yang baik dan benar.
Pengadaan bermasalah terkait 
keterlambatan biasanya terjadi karena akhir tahun anggaran. Ini kemudian
 dijadikan alasan pembayaran 100% dengan juga men-100%-kan pekerjaan. 
Padahal dalam logika pembayaran meski pekerjaan belum 100% dan masih 
dalam waktu kontrak plus hak keterlambatan, dapat dibayar 100% bila penyedia menyerahkan Jaminan Pembayaran sebesar progres pekerjaan yang belum dikerjakan dan ini dituangkan didalam klausul kontrak.
Untuk APBN meknisme ini telah diatur 
dalam Permekeu No: 169/PMK.05/2009 dan Perdirjen Perbendaharaan No. 
Per-44/PB/2010 tentang penanganan akhir tahun. Sayangnya didaerah, 
langkah ini tidak diikuti melalui kebijakan daerah sehingga belum dapat 
diterapkan.
Tentu tidak akan cukup dituliskan secara 
singkat karena manajemen kontrak tidaklah sederhana. Harapannya ini 
mampu memberikan pemahaman bahwa keterlambatan atau tidak selesainya 
pekerjaan pemerintah tidak selalu menunjukkan bahwa pengadaan bermasalah yang
berpotensi pelanggaran, bisa saja hanya masalah pengadaan yang penanganannya telah ada dalam koridor sistem.
berpotensi pelanggaran, bisa saja hanya masalah pengadaan yang penanganannya telah ada dalam koridor sistem.







Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini