Sobat... artikel dari riris prasetyo, m.kom http://asetdaerah.wordpress.com/ tentang bagaimana proses terjadinya transfer dana pusat ke daerah yang berasal dari pendapatan/penghasilan yang disisihkan daerah untuk kepentingan pemerataan pembangunan. Dari postingan sebelumnya tentang GAMBARAN UMUM DANA TRANSFER APBN KE APBD - Part.1 sudah barang tentu kita semua memiliki gambaran hubungan pusat dan daerah, selanjutnya kita simak postingan terakhirnya Part.2 dari mas Riris Prasetyo. Selamat menyaksikan ;
Berbeda dengan bantuan bersyarat, pemerintah pusat memberikan
keleluasaan bagi daerah untuk memanfaatkan bantuan tidak bersyarat.
Alasan utama pemberian bantuan tidak bersyarat ini adalah untuk
mewujudkan pemerataan dalam kapasitas fiskal daerah-daerah guna menjamin
penyediaan jasa publik yang layak (reasonable) bagi masyarakatnya.
Dari berbagai literatur ilmu ekonomi publik dan keuangan negara
menyebutkan beberapa alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pusat
ke daerah.
Pertama, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal
vertikal. Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar
sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Jadi,
pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber
penerimaan negara, atau hanya berwewenang untuk memungut pajak-pajak
yang besar penerimaannya relatif kurang signifikan. Kekurangan sumber
penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya ini akan menyebabkan
dibutuhkannya transfer dana dari pemerintah pusat.
Kedua, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal
horizontal. Kenyataan empirik di berbagai negara menunjukkan bahwa
kapasitas atau kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat
bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki
kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas
kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Ini semua berimplikasi kepada
besar tidaknya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan.
Di sisi lain, daerah-daerah juga sangat bervariasi dilihat dari
kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan
publik. Ada daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia,
dan anak-anak serta remaja, yang tinggi proporsinya. Ada pula
daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana-prasarana
transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai.
Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang
tidak terlalu besar namun sarana dan prasarananya sudah lengkap. Ini
mencerminkan tinggi-rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal needs) dari
daerah-daerah bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal ini dengan
kapasitas fiskal (fiscal capacity) tersebut diatas, maka dapat dihitung
kesenjangan (gap) dari masing-masing daerah, yang seyogianya ditutupi
lewat transfer dari pemerintah pusat.
Ketiga, terkait dengan butir kedua diatas, argumen
lain yang menambah penting peran transfer dari pemerintah pusat dalam
konteks ini adalah adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar
pelayanan minimum di setiap daerah. Daerah-daerah dengan sumber daya
yang sedikit memerlukan bantuan (subsidi) agar dapat mencapai standar
pelayanan minimum itu. Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave (1983)
yang menyatakan bahwa peran redistributif (pemerataan) dari sektor
publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan oleh pemerintah
pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum di setiap daerah pun
akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah pusat.
Keempat, untuk mengatasi persoalan yang timbul dari
menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik (inter-jurisdictional
spill-over effects). Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah
memiliki “efek menyebar” (atau eksternalitas) ke wilayah-wilayah
lainnya. Sebagai misal: pendidikan tinggi (universitas), pemadam
kebakaran, jalan raya penghubung antar daerah, sistem pengendali polusi
(udara dan air), dan rumah sakit daerah. Namun tanpa adanya manfaat
(dalam bentuk: pendapatan) yang berarti dari proyek-proyek serupa
diatas, biasanya pemerintah daerah enggan untuk berinvestasi disini.
Oleh karena itulah, pemerintah pusat perlu untuk memberikan semacam
insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar
pelayanan-pelayanan publik demikian dapat terpenuhi di daerah.
Kelima, untuk stabilisasi. Alasan terakhir dari
perlunya dana transfer yang jarang dikemukakan adalah untuk mencapai
tujuan stabilisasi dari pemerintah pusat. Transfer dana dapat
ditingkatkan oleh pemerintah ketika aktivitas perekonomian sedang lesu.
Di saat lain, bisa saja dana transfer ke daerah dikurangi manakala
perekonomian booming. Transfer untuk dana-dana pembangunan (capital
grants) adalah merupakan instrumen yang cocok untuk tujuan ini. Namun
kecermatan dalam mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan
menaikkan/menurunkan dana transfer itu tidak berakibat merusak atau
bertentangan dengan alasan-alasan sebelumnya diatas.
Jadi, secara prinsip tujuan umum dari transfer dana pemerintah pusat adalah untuk:
- meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal;
- meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal; dan
- menginternalisasikan sebagian atau seluruh limpahan manfaat (atau biaya) kepada daerah yang menerima limpahan manfaat atau menimbulkan biaya tersebut.
Selain ketiga hal di atas, kerap pula dikemukakan bahwa pertimbangan
pemberian transfer pusat adalah dalam rangka menjamin tetap baiknya
kinerja fiskal pemerintah daerah. Artinya, transfer ini dimaksudkan agar
pemerintah daerah terdorong untuk secara intensif menggali
sumber-sumber penerimaannya (sesuai dengan kriteria yang berlaku),
sehingga hasil yang diperoleh menyamai (bahkan melebihi) kapasitasnya.
Di tahun 2011, Pemerintah terus berupaya untuk melakukan reformulasi
kebijakan Dana Perimbangan setiap tahun sehingga diharapkan dapat
mendukung kebutuhan pendanaan pembangunan terutama kepada daerah-daerah
marjinal.
Untuk mendukung reformulasi kebijakan yang berkelanjutan, maka arah kebijakan Transfer ke Daerah tetap diarahkan untuk :
1. meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat & daerah dan antar daerah;
2. menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan;
3. meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah;
4. mendukung kesinambungan fiskal nasional;
5. meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah;
6. meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan
7. meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah.
Referensi:
- Made Suwandi, Mempersiapkan Transisi Desentralisasi Fiskal (Sebagai Implikasi UU 22 Tahun 1999 dan UU 25 Tahun 1999), 2000
- Robert A. Simanjuntak, Berbagai Isu Penerimaan Daerah di Era Desentralisasi
- Achmad Solihin dan Niken Ajeng Lesatri, Analisis Ketimpangan Fiskal Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah, Majalah Ekonomi, April 2010
- Pelengkap BUKU PEGANGAN Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, 2011, Kemenkeu
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini