BANDA ACEH - Wakil Ketua Komisi III DPR, Nasir Djami
menyatakan, Indonesia saat ini membutuhkah undang-undang yang mengatur
pengadaan barang dan jasa. Pasalnya, sektor ini merupakan wilayah yang
subur terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Masalah pengadaan barang dan jasa sebenarnya harus ada undang-undang yang mengatur, harus masuk dalam konstitusi tidak cukup dengan peraturan presiden saja," kata Nasir dalam sebuah diskusi di Sekolah Antikorupsi Gerak Aceh di Banda Aceh, Jumat (5/10/2012).
Menurutnya, UU Pengadaan Barang dan Jasa saat ini lebih dibutuhkan ketimbang UU Pramuka. "Pramuka itu tidak ada UU pun bisa jalan, tapi pengadaan barang dan jasa kalau tidak diatur secara eksplisit dalam UU sangat rentan dimanfaatkan," ujar dia.
Nasir mengatakan, setiap tahun sekitar 30 persen kebocoran anggaran negara terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa. Sektor ini juga masuk dalam 10 wilayah paling rentan korupsi yang dipetakan KPK, Kejaksaan dan Polri.
Beberapa negara seperti Afrika Selatan sudah memasukkan pengadaan barang dan jasa ini ke dalam konstitusi. Sementara di Indonesia upaya itu belum dilakukan karena ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kelemahan ini untuk melakukan korupsi.
RUU pengadaan barang dan jasa pernah masuk ke DPR namun tidak begitu mendapat perhatian khusus dari legislatif. Nasir menilai hal ini tak terlepas dari kepentingan politis yang menjadi sektor tersebut sebagai lahan subur untuk mendapatkan uang.
Disisi lain, Nasir menyebutkan korupsi di Indonesia kini semakin canggih dan politis, bahkan lebih politis dari politik itu sendiri. Korupsi dilakukan dengan cara memanfaatkan celah hukum. "Jadi penegak hukum harus lebih pintar," sebutnya.
"Masalah pengadaan barang dan jasa sebenarnya harus ada undang-undang yang mengatur, harus masuk dalam konstitusi tidak cukup dengan peraturan presiden saja," kata Nasir dalam sebuah diskusi di Sekolah Antikorupsi Gerak Aceh di Banda Aceh, Jumat (5/10/2012).
Menurutnya, UU Pengadaan Barang dan Jasa saat ini lebih dibutuhkan ketimbang UU Pramuka. "Pramuka itu tidak ada UU pun bisa jalan, tapi pengadaan barang dan jasa kalau tidak diatur secara eksplisit dalam UU sangat rentan dimanfaatkan," ujar dia.
Nasir mengatakan, setiap tahun sekitar 30 persen kebocoran anggaran negara terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa. Sektor ini juga masuk dalam 10 wilayah paling rentan korupsi yang dipetakan KPK, Kejaksaan dan Polri.
Beberapa negara seperti Afrika Selatan sudah memasukkan pengadaan barang dan jasa ini ke dalam konstitusi. Sementara di Indonesia upaya itu belum dilakukan karena ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kelemahan ini untuk melakukan korupsi.
RUU pengadaan barang dan jasa pernah masuk ke DPR namun tidak begitu mendapat perhatian khusus dari legislatif. Nasir menilai hal ini tak terlepas dari kepentingan politis yang menjadi sektor tersebut sebagai lahan subur untuk mendapatkan uang.
Disisi lain, Nasir menyebutkan korupsi di Indonesia kini semakin canggih dan politis, bahkan lebih politis dari politik itu sendiri. Korupsi dilakukan dengan cara memanfaatkan celah hukum. "Jadi penegak hukum harus lebih pintar," sebutnya.
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini