Oleh: Mispansyah
Para koruptor atau yang pro mungkin bertepuk sorai, dengan digagasnya Draf RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Badan Legislatif, DPR RI.
Isi draf itu berupaya membonsai KPK melalui wewenangnya yaitu rencana menghapus pasal 6 hutuf e UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).
Pasal 6 huruf c itu mengatur wewenang KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sementara di draf yang akan dibahas itu menyebutkan wewenang KPK hanya sampai di penyidikan sedangkan penuntutan di jaksa.
Kemudian ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a yang memberikan kewenangan luas kepada KPK melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan juga akan dihilangkan. Pasal itu menyebutkan KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Sehingga apabila suatu kasus sudah ditangani oleh KPK dan sampai di Pengadilan Ad-Hoc Tindak Pidan Korupsi tidak ada kasus yang lepas dari pidana.
Semua orang paham kalau kewenangan penuntutan dan kewenangan penyadapan serta kewenangan tidak mengenal SP3 di KPK dikerdilkan, maka sudah dapat dipastikan keberadaan komisi ini tidak akan berbeda dengan penegak hukum konvensional kepolisian sebagai penyidik.
Bila ini terjadi, berarti KPK akan kehilangan taringnya dalam memberantas korupsi, problem dalam sistem peradilan pidana akan kembali terjadi yaitu bolak balik perkara dari tahap penyidikan ke penuntutan seperti pada waktu pemberantasan korupsi hanya dilakukan oleh dua lembaga kepolisian dan kejaksaan.
Nasib RUU KPK ini masih di tangan DPR. Seharusnya sebagai wakil rakyat, peka terhadap keinginan rakyat, karena gelombang keinginan agar RUU KPK tetap memperkuat keberadaan KPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan khusus terus menguat.
DPR juga seharusnya memahami bagaimana sejarah terbentuknya KPK. Latar belakang dibentuknya adalah amanat dari Tap MPR No XI/MPR/1998 untuk menjalankan amanat reformasi tentang pemberantasan KKN paskarezim Orde Baru. Tetapi, pembentukan KPK baru terbentuk pada 2002.
Berdirinya KPK disebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat pada dua lembaga penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi yang merajalela.
Keberadaan KPK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sengaja menyimpangi dari sistem ada, dimana lembaga ini mempunyai kewenangan sebagai penyidik dan sekaligus penuntut. Sedangkan pada umumnya suatu lembaga diberikan wewenang seperti polisi menyidik dan jaksa hanya menuntut.
Mengapa KPK diberikan kewenangan khusus karena korupsi sudah masuk dalam kejahatan luar biasa dan membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan merusak moralitas bangsa serta dapat berdampak pada budaya korup.
Tetapi kenyataannya, perlawanan koruptor dan pro-koruptor terus diupayakan, mulai perseteruan antara lembaga sampai merubah substansi isi UU.
Masih ingat upaya kriminalisasi terhadap komisioner KPK yang dikenal dengan konflik Cicak-Buaya, yang membuat kasus Century Gate tersendat.
Sekarang kembali terjadi konflik kelembagaan antara kepolisian dan KPK dalam kasus Korupsi Simulasi SIM, tarik-menarik kasus terjadi, dan aturan yang jelas dibuat seolah tidak jelas mengenai siapa yang memiliki kewenangan dalam menangani kasus tersebut.
Kini, dari segi substansi aturan yang mengatur juga terjadi upaya pengkerdilan kewenangan KPK yaitu melalui draft yang kontroversial itu. Ini upaya produk hukum yang bukannya mencegah korupsi, sebaliknya melemahkan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Hal ini karena kekeliruhan memahami bahwa UU itu produk politik, diproduksi dari produk politik dan dari politik hukum, bukan dari alur pembuatan suatu UU itu dimulai dari ‘naskah akademik’ yang digali dari rakyat atau sesuai dengan keinginan rakyat, terus dibuat ‘naskah politik’ dan berakhir menjadi ‘naskah yuridis’.
Saat ini DPR memahami hukum itu adalah produk politik, akhirnya hukum dibuat untuk kepentingan politik, hukum menjadi produk politik buatan DPR yang mempunyai kepentingan, sehingga tidak aneh UU dihasilkan karena sarat kepentingan politik.
Upaya memperlemah KPK dapat dilihat dari ketentuan UU Pengadilan Tipikor yaitu pertama, pada Pasal 1 huruf 4 hanya menyebut “Penuntut umum adalah penuntut sebagaimana ketentuan perundang-udangan yang berlaku”. Berarti Kembali ke KUHAP (yaitu Kejaksaan).
Redaksional di UU itu harus menyebut kewenangan penuntutan khusus di Pengadilan Tipikor Kejaksaan, dan betul saat ini 33 Pengadilan Tipikor telah dibentuk dan yang menuntut adalah Kejaksaan walaupun KPK bisa, tetapi karena kekurangan personil, akhirnya jaksa yang melakukan penuntutan.
Pada 2010 di berbagai daerah marak terjadi vonis bebas diputuskan hakim di Pengadilan Tipikor. Hal ini bisa jadi karena sejak awal penyidikan yang disusun dalam surat dakwaan jaksa, sudah lemah akhirnya terdakwa bebas.
Lalu Pasal 28 (1) tentang Penyadapan. Semua alat bukti yang diajukan dalam persidangan termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan izin pengadilan.
Pasal ini dianggap membatasi wewenang penyadapan KPK. “Seharusnya wewenang KPK tidak dibatasi. Tidak harus disahkan dalam persidangan. Penyadapan bisa dilakukan kapan saja sepanjang untuk keperluan penyidikan,”
Upaya memperlemah pemberantasan korupsi juga terus dilakukan, pihak tertentu. Selain RUU KPK yang kontroversial itu juga disiapkan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) atau dikenal juga sebagai RUU Tipikor yang akan menggantikan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001, yang sudah lama disiapkan pemerintah, dimana ada beberapa ketentuannya justru semakin memperlemah KPK.
Beberapa pasal RUU Tipikor yang memperlemah pemberantasan korupsi antara lain pertama, dihilangkannya perbuatan yang merugikan keuangan Negara. Kedua, tidak adanya ancaman hukuman mati dalam keadaan tertentu seperti dalam Pasal 2 ayat (2) dari UU PTPK.
Ketiga, hilangnya pasal kerugian keuangan negara. Keempat, penghilangan ancaman minimalis, di antaranya penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan.
Kelima, lemahnya sanksi untuk mafia hukum. Dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 suap penegak hukum ancaman minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. Tapi di RUU Tipikor ancaman minimal hanya satu tahun dan maksimal tujuh tahun ditambah 1/3 hukuman.
Keenam, dihapuskannya pidana tambahan berupa membayar uang pengganti, padahal aturan mengenai uang pengganti itu sudah diatur dalam UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001. Ketujuh, tidak dicantumkannya secara jelas mengenai wewenang penuntutan KPK.
Pasal 52 RUU Tipikor, disebutkan korupsi dengan nilainya tidak melebihi Rp 25 juta, dibebaskan dari penuntutan hukum. Syaratnya, pelaku mengembalikan uangnya dan mengakui kesalahannya. Apabila draf RUU Tipikor ini disetujui DPR, maka pemerintah dan DPR bukannya memberantas melainkan telah melakukan pembinaan korupsi di Indonesia dan DPR sudah menjadi “stempel” koruptor atau mungkin mereka sudah menjadi koruptor? (*)
Dosen mata kuliah tipikor Fak Hukum Unlam
Para koruptor atau yang pro mungkin bertepuk sorai, dengan digagasnya Draf RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Badan Legislatif, DPR RI.
Isi draf itu berupaya membonsai KPK melalui wewenangnya yaitu rencana menghapus pasal 6 hutuf e UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).
Pasal 6 huruf c itu mengatur wewenang KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sementara di draf yang akan dibahas itu menyebutkan wewenang KPK hanya sampai di penyidikan sedangkan penuntutan di jaksa.
Kemudian ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a yang memberikan kewenangan luas kepada KPK melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan juga akan dihilangkan. Pasal itu menyebutkan KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Sehingga apabila suatu kasus sudah ditangani oleh KPK dan sampai di Pengadilan Ad-Hoc Tindak Pidan Korupsi tidak ada kasus yang lepas dari pidana.
Semua orang paham kalau kewenangan penuntutan dan kewenangan penyadapan serta kewenangan tidak mengenal SP3 di KPK dikerdilkan, maka sudah dapat dipastikan keberadaan komisi ini tidak akan berbeda dengan penegak hukum konvensional kepolisian sebagai penyidik.
Bila ini terjadi, berarti KPK akan kehilangan taringnya dalam memberantas korupsi, problem dalam sistem peradilan pidana akan kembali terjadi yaitu bolak balik perkara dari tahap penyidikan ke penuntutan seperti pada waktu pemberantasan korupsi hanya dilakukan oleh dua lembaga kepolisian dan kejaksaan.
Nasib RUU KPK ini masih di tangan DPR. Seharusnya sebagai wakil rakyat, peka terhadap keinginan rakyat, karena gelombang keinginan agar RUU KPK tetap memperkuat keberadaan KPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan khusus terus menguat.
DPR juga seharusnya memahami bagaimana sejarah terbentuknya KPK. Latar belakang dibentuknya adalah amanat dari Tap MPR No XI/MPR/1998 untuk menjalankan amanat reformasi tentang pemberantasan KKN paskarezim Orde Baru. Tetapi, pembentukan KPK baru terbentuk pada 2002.
Berdirinya KPK disebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat pada dua lembaga penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi yang merajalela.
Keberadaan KPK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sengaja menyimpangi dari sistem ada, dimana lembaga ini mempunyai kewenangan sebagai penyidik dan sekaligus penuntut. Sedangkan pada umumnya suatu lembaga diberikan wewenang seperti polisi menyidik dan jaksa hanya menuntut.
Mengapa KPK diberikan kewenangan khusus karena korupsi sudah masuk dalam kejahatan luar biasa dan membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan merusak moralitas bangsa serta dapat berdampak pada budaya korup.
Tetapi kenyataannya, perlawanan koruptor dan pro-koruptor terus diupayakan, mulai perseteruan antara lembaga sampai merubah substansi isi UU.
Masih ingat upaya kriminalisasi terhadap komisioner KPK yang dikenal dengan konflik Cicak-Buaya, yang membuat kasus Century Gate tersendat.
Sekarang kembali terjadi konflik kelembagaan antara kepolisian dan KPK dalam kasus Korupsi Simulasi SIM, tarik-menarik kasus terjadi, dan aturan yang jelas dibuat seolah tidak jelas mengenai siapa yang memiliki kewenangan dalam menangani kasus tersebut.
Kini, dari segi substansi aturan yang mengatur juga terjadi upaya pengkerdilan kewenangan KPK yaitu melalui draft yang kontroversial itu. Ini upaya produk hukum yang bukannya mencegah korupsi, sebaliknya melemahkan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Hal ini karena kekeliruhan memahami bahwa UU itu produk politik, diproduksi dari produk politik dan dari politik hukum, bukan dari alur pembuatan suatu UU itu dimulai dari ‘naskah akademik’ yang digali dari rakyat atau sesuai dengan keinginan rakyat, terus dibuat ‘naskah politik’ dan berakhir menjadi ‘naskah yuridis’.
Saat ini DPR memahami hukum itu adalah produk politik, akhirnya hukum dibuat untuk kepentingan politik, hukum menjadi produk politik buatan DPR yang mempunyai kepentingan, sehingga tidak aneh UU dihasilkan karena sarat kepentingan politik.
Upaya memperlemah KPK dapat dilihat dari ketentuan UU Pengadilan Tipikor yaitu pertama, pada Pasal 1 huruf 4 hanya menyebut “Penuntut umum adalah penuntut sebagaimana ketentuan perundang-udangan yang berlaku”. Berarti Kembali ke KUHAP (yaitu Kejaksaan).
Redaksional di UU itu harus menyebut kewenangan penuntutan khusus di Pengadilan Tipikor Kejaksaan, dan betul saat ini 33 Pengadilan Tipikor telah dibentuk dan yang menuntut adalah Kejaksaan walaupun KPK bisa, tetapi karena kekurangan personil, akhirnya jaksa yang melakukan penuntutan.
Pada 2010 di berbagai daerah marak terjadi vonis bebas diputuskan hakim di Pengadilan Tipikor. Hal ini bisa jadi karena sejak awal penyidikan yang disusun dalam surat dakwaan jaksa, sudah lemah akhirnya terdakwa bebas.
Lalu Pasal 28 (1) tentang Penyadapan. Semua alat bukti yang diajukan dalam persidangan termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan izin pengadilan.
Pasal ini dianggap membatasi wewenang penyadapan KPK. “Seharusnya wewenang KPK tidak dibatasi. Tidak harus disahkan dalam persidangan. Penyadapan bisa dilakukan kapan saja sepanjang untuk keperluan penyidikan,”
Upaya memperlemah pemberantasan korupsi juga terus dilakukan, pihak tertentu. Selain RUU KPK yang kontroversial itu juga disiapkan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) atau dikenal juga sebagai RUU Tipikor yang akan menggantikan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001, yang sudah lama disiapkan pemerintah, dimana ada beberapa ketentuannya justru semakin memperlemah KPK.
Beberapa pasal RUU Tipikor yang memperlemah pemberantasan korupsi antara lain pertama, dihilangkannya perbuatan yang merugikan keuangan Negara. Kedua, tidak adanya ancaman hukuman mati dalam keadaan tertentu seperti dalam Pasal 2 ayat (2) dari UU PTPK.
Ketiga, hilangnya pasal kerugian keuangan negara. Keempat, penghilangan ancaman minimalis, di antaranya penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan.
Kelima, lemahnya sanksi untuk mafia hukum. Dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 suap penegak hukum ancaman minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. Tapi di RUU Tipikor ancaman minimal hanya satu tahun dan maksimal tujuh tahun ditambah 1/3 hukuman.
Keenam, dihapuskannya pidana tambahan berupa membayar uang pengganti, padahal aturan mengenai uang pengganti itu sudah diatur dalam UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001. Ketujuh, tidak dicantumkannya secara jelas mengenai wewenang penuntutan KPK.
Pasal 52 RUU Tipikor, disebutkan korupsi dengan nilainya tidak melebihi Rp 25 juta, dibebaskan dari penuntutan hukum. Syaratnya, pelaku mengembalikan uangnya dan mengakui kesalahannya. Apabila draf RUU Tipikor ini disetujui DPR, maka pemerintah dan DPR bukannya memberantas melainkan telah melakukan pembinaan korupsi di Indonesia dan DPR sudah menjadi “stempel” koruptor atau mungkin mereka sudah menjadi koruptor? (*)
Dosen mata kuliah tipikor Fak Hukum Unlam
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini