PERSOALAN korupsi selalu bikin gemas. Nyaris tidak pernah
soal korupsi ini memberikan rasa keadilan apalagi rasa nyaman buat kita.
Itu sebabnya mengapa di negeri ini para koruptor tumbuh bak jamur di
musim hujan. Ringannya sanksi pidana memperlihatkan betapa pasal-pasal
penjerat hanya garang dalam susunan kata-kata di dalam kitab hukum kita.
Hal ini diperparah ketidakselararan antarlembaga hukum dalam melihat kejahatan korupsi dengan kacamata jernih. Kepolisian sebagai penyidik, dan kejaksaan sebagai penyidik sekaligus penuntut ditambah pengadilan sebagai pemegang palu keadilan, melihat korupsi dengan sudut pandang sempit. Bahkan, tidak sedikit menamsilkan mereka melihat korupsi sebagai sebuah ‘peluang usaha’.
Itu sebabnya mengapa ketika lembaga-lembaga ini menangani perkara korupsi nyaris tidak pernah memberikan kepuasan bagi publik. Sehingga tidaklah salah kalau kemudian publik lebih berharap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memberikan sesuatu lain terhadap penanganan kasus-kasus korupsi.
Peristiwa penggerudukan aparat kepolisian di Gedung KPK pada Jumat (5/10) malam adalah sikap ‘tidak bersahabatnya’ lembaga korps baju coklat susu itu terhadap KPK. Ini memperlihatkan apa yang dilakukan kepolisian itu sebuah kekonyolan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Terlepas apa yang menjadi alasan penggerudukan, publik tetap melihat yang dilakukan kepolisian itu sebuah kesembronoan. Bahkan kalau boleh dikatakan, langkah sejumlah perwira polisi itu justru memperlihatkan ketidakperwiraannya. Publik melihat betapa kinerja kepolisian tidak profesional.
Dugaan penganiayaan yang dilakukan Kompol NB, salah satu penyidik KPK yang dijadikan alasan Polri menyambangi gedung KPK, adalah sebuah blunder. Seharusnya, kalau memang Polri bijak, pemanggilan atau penjemputan terhadap NB dipilih pada waktu tepat. Tidak justru ketika publik memberikan suport besar kepada KPK yang tengah menanangani kasus simulator yang menyeret segelintir petinggi Polri.
Menjadi sangat naif kalau hanya persoalan perseorangan menjadi masalah lembaga. Dalam kasus dugaan korupsi simulator yang melibatkan segelintir petinggi Polri, publik melihat korps ini sengaja melakukan manuver untuk menjaga eksistensi.
Padahal, KPK lebih dipercaya publik untuk menangani kasus tersebut, pastinya terlepas dari unsur kepentingan tertentu selain undang-undang. Tidak hanya itu, KPK juga dipayungi UU No 30/2002 tentang KPK. Pasal 50 Ayat 1, 3, dan 4 menegaskan supremasi KPK dalam penanganan sebuah kasus korupsi, meski ada penegak hukum lain.
Pengalaman memperlihatkan bagaimana kasus-kasus yang melibatkan petinggi kepolisian yang ditangani Polri nyaris tidak pernah naik ke meja peradilan. Contoh paling gamblang, kasus rekening gendut yang melibatkan sejumlah jenderal. Demikian pula kasus suap Gayus Tambunan yang menyeret dua jenderal polisi tidak jelas proses hukumnya.
Publik sangat tidak mengharapkan perseteruan Polri vs KPK semakin tajam. Di sini perlu ‘juru pendamai’ yang bisa mengatasi perbedaan sudut pandang kedua lembaga tersebut. Dalam hal ini, tentunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memiliki otoritas menengahi perbedaan kedua lembaga tersebut. Publik tidak ingin presiden hanya diam membisu, membiarkan kedua lembaga tersebut dengan cara pandangnya sendiri-sendiri.
Publik tentu tidak ingin SBY tidak hanya pandai beretorika soal pemberantasan korupsi, kalau faktanya membiarkan lembaga-lembaga penegak hukum saling berhadap-hadapan. Kalau sudah begitu, sama artinya pemerintah memberikan ruang yang teramat besar bagi para koruptor untuk terus berprilaku jahat. (*)
Hal ini diperparah ketidakselararan antarlembaga hukum dalam melihat kejahatan korupsi dengan kacamata jernih. Kepolisian sebagai penyidik, dan kejaksaan sebagai penyidik sekaligus penuntut ditambah pengadilan sebagai pemegang palu keadilan, melihat korupsi dengan sudut pandang sempit. Bahkan, tidak sedikit menamsilkan mereka melihat korupsi sebagai sebuah ‘peluang usaha’.
Itu sebabnya mengapa ketika lembaga-lembaga ini menangani perkara korupsi nyaris tidak pernah memberikan kepuasan bagi publik. Sehingga tidaklah salah kalau kemudian publik lebih berharap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memberikan sesuatu lain terhadap penanganan kasus-kasus korupsi.
Peristiwa penggerudukan aparat kepolisian di Gedung KPK pada Jumat (5/10) malam adalah sikap ‘tidak bersahabatnya’ lembaga korps baju coklat susu itu terhadap KPK. Ini memperlihatkan apa yang dilakukan kepolisian itu sebuah kekonyolan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Terlepas apa yang menjadi alasan penggerudukan, publik tetap melihat yang dilakukan kepolisian itu sebuah kesembronoan. Bahkan kalau boleh dikatakan, langkah sejumlah perwira polisi itu justru memperlihatkan ketidakperwiraannya. Publik melihat betapa kinerja kepolisian tidak profesional.
Dugaan penganiayaan yang dilakukan Kompol NB, salah satu penyidik KPK yang dijadikan alasan Polri menyambangi gedung KPK, adalah sebuah blunder. Seharusnya, kalau memang Polri bijak, pemanggilan atau penjemputan terhadap NB dipilih pada waktu tepat. Tidak justru ketika publik memberikan suport besar kepada KPK yang tengah menanangani kasus simulator yang menyeret segelintir petinggi Polri.
Menjadi sangat naif kalau hanya persoalan perseorangan menjadi masalah lembaga. Dalam kasus dugaan korupsi simulator yang melibatkan segelintir petinggi Polri, publik melihat korps ini sengaja melakukan manuver untuk menjaga eksistensi.
Padahal, KPK lebih dipercaya publik untuk menangani kasus tersebut, pastinya terlepas dari unsur kepentingan tertentu selain undang-undang. Tidak hanya itu, KPK juga dipayungi UU No 30/2002 tentang KPK. Pasal 50 Ayat 1, 3, dan 4 menegaskan supremasi KPK dalam penanganan sebuah kasus korupsi, meski ada penegak hukum lain.
Pengalaman memperlihatkan bagaimana kasus-kasus yang melibatkan petinggi kepolisian yang ditangani Polri nyaris tidak pernah naik ke meja peradilan. Contoh paling gamblang, kasus rekening gendut yang melibatkan sejumlah jenderal. Demikian pula kasus suap Gayus Tambunan yang menyeret dua jenderal polisi tidak jelas proses hukumnya.
Publik sangat tidak mengharapkan perseteruan Polri vs KPK semakin tajam. Di sini perlu ‘juru pendamai’ yang bisa mengatasi perbedaan sudut pandang kedua lembaga tersebut. Dalam hal ini, tentunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memiliki otoritas menengahi perbedaan kedua lembaga tersebut. Publik tidak ingin presiden hanya diam membisu, membiarkan kedua lembaga tersebut dengan cara pandangnya sendiri-sendiri.
Publik tentu tidak ingin SBY tidak hanya pandai beretorika soal pemberantasan korupsi, kalau faktanya membiarkan lembaga-lembaga penegak hukum saling berhadap-hadapan. Kalau sudah begitu, sama artinya pemerintah memberikan ruang yang teramat besar bagi para koruptor untuk terus berprilaku jahat. (*)
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini