http://www.p2kp.org/
Kemajuan suatu masyarakat atau bangsa biasanya ditandai
dengan tingginya perhatian yang diberikan pihak pemerintah terhadap
kelompok-kelompok marjinal, baik marjinal dari sisi geografis maupun
sosiologis, sebab kemajuan yang dicita-citakan mestinya berorientasi
pada pemerataan kesejahteraan masyarakat secara luas. Karena itu, sebuah
bangsa akan disebut maju manakala seluruh atau sebagian besar
masyarakatnya telah berada dalam kondisi sejahtera.
Indonesia, sebagai sebuah negara berkembang masih menghadapi pelbagai
problem ekonomi baik makro maupun mikro, dan hal tersebut telah turut
menghambat lajunya proses penyejahteraan kehidupan rakyat. Lebih jauh,
di berbagai wilayah masih ditemukan berbagai kelompok masyarakat yang
termarjinalkan atau bahkan terisolasi. Maka, pemerintah harus tetap
berupaya memberikan perhatian kepada kelompok-kelompok marjinal — dalam
hal ini masyarakat miskin — secara serius sebagai langkah meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Perhatian kepada masyarakat miskin jadi sangat penting, karena selain
merupakan amanah bangsa sebagaimana tertuang di dalam Pasal 34 UUD
1945, juga merupakan suatu bukti bahwa bangsa ini masih memiliki
keinginan yang kuat untuk lebih maju. Kemiskinan di negara ini memang
perlu dilihat sebagai suatu problem serius dan nyatanya telah banyak
menyita perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum. Ini dikarenakan
penanganan dan cara pandang yang digunakan terhadap kemiskinan tersebut
kerapkali mengalami dilema yang cukup membingungkan.
Suatu contoh menggelitik adalah hasil survei yang menunjukkan adanya
peningkatan jumlah masyarakat miskin yang cukup signifikan pada setiap
tahunnya, sementara di sisi lain pemerintah justru dengan bangga
mengumumkan adanya penurunan persentase kemiskinan. Contoh lain,
masyarakat Kabupaten Labuhan Batu dengan perkapita dan PAD yang sangat
tinggi, ternyata masih dihuni oleh ribuan atau bahkan puluhan ribu
masyarakat miskin. Ini dapat terjadi karena kemiskinan belum sepenuhnya
dapat dikenali, bahkan lebih jauh belum dilihat sebagai masalah bersama
baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat miskin itu sendiri. Hal ini
dapat dilihat dari penerapan pelbagai metode penanggulangan kemiskinan
yang belum tepat dan belum sesuai dengan kebutuhan rill di lapangan.
Perlu disadari, saat ini kemiskinan dan perlabagi persoalannya sudah
memasuki hampir setiap sudut kehidupan bangsa yang kerap disebut
“membudaya”. Karena itu dibutuhkan sebuah metode penanggulangan yang
lebih serius dan lebih komprehensif.
P2KP hadir untuk menjawab persoalan ini dengan menawarkan sebuah
metode penanggulangan kemiskinan yang lebih menyentuh dan melibatkan
partisipasi masyarakat. P2KP sebagai sebuah metode pemberdayaan
kemanusiaan adalah sebuah program yang memanfaatkan jasa Bank Dunia
(World Bank), untuk mendorong masyarakat agar mampu melakukan perubahan,
yakni keluar dari problem kemiskinan, menjadi berdaya dan mandiri.
Program ini dapat dilihat sebagai salah satu sintesa terhadap
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan di negara
ini. Di Labuhan Batu misalnya, telah didatangkan berbagai program
pemberdayaan yang bertujuan mengentaskan kemiskinan. Mulai dari bantuan
usaha kecil, pertanian, JPS, kompensasi BBM, dan lain-lain, namun sama
sekali belum menunjukkan adanya hasil yang menggembirakan. Bahkan,
menurut masyarakat bantuan tersebut hanya menjadi pelipur lara si miskin
ketika menerimanya, dan di sisi lain menjadikan masyarakat semakin
tidak percaya diri.
P2KP berupaya memperkenalkan sebuah pendahuluan penting dalam upaya
penanggulangan kemiskinan yang dialami masyarakat. Pendahuluan yang
dimaksud adalah sosialisasi kemiskinan sebagai penyakit dehumanisasi
yang datang sebagai buah kelalaian manusia dari kemanusiaannya, yang
dalam istilah P2KP dikenal sebagai erosi nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Sebagian orang beranggapan bahwa kemiskinan hanya berkaitan dengan
persoalan materi atau harta benda saja. Selanjutnya kemiskinan dilihat
sebagai antonim dari keberlimpahan atau kegemerlapan harta benda.
Sebagai konsekuensi dari anggapan ini, di tengah-tengah masyarakat dapat
ditemukan sebuah persepsi yang keliru, yakni melihat keberadaan orang
miskin atau kemiskinan sebagai suatu yang niscaya, yakni memenuhi
tuntutan keseimbangan hidup dimana si kaya harus senantiasa disertai si
miskin. Lebih jauh kita juga dapat mendengar ungkapan bahwa kemiskinan
akan lebih mendekatkan manusia kepada kesejatian hidup (hal ini tentu
tidak bermaksud menyinggung kepercayaan suatu agama yang memposisikan
kemiskinan sebagai jalan menuju ke surga).
Meski sebagian pemikir telah mengingatkan agar kita tidak terlalu
lama berkutat hanya dalam mendefinisikan sesuatu, tampaknya dibutuhkan
sebuah definisi kemiskinan yang lebih jelas agar kita tidak terjebak
pada keyakinan seperti di atas. Dalam pembicaraan stratifikasi sosial
kita mengenal tiga kelompok manusia ditinjau dari tingkat kesejahteraan
hidupnya, yakni miskin (pra-sejahtera), sederhana (pra-sejahtera-1), dan
kaya (sejahtera). Namun, hampir tidak ada seorang manusia pun yang
dengan berani mengatakan ia adalah orang kaya atau bukan orang miskin.
Ini terjadi karena setiap orang memiliki cara pandang tersendiri
terhadap kemiskinan, dimana mayoritas masih melihat kemiskinan hanya
sebatas persoalan kekurangan harta benda. Padahal, selama kemiskinan
belum dapat dipahami secara benar, maka upaya penaggulangannya pun tidak
dapat dirumuskan secara baik, sebab kejelasan masalah akan sangat
menentukan upaya penyelesaiannya.
P2KP mencoba mendudukkan kemiskinan sebagai sesuatu yang dapat
didefinisikan secara lebih terang, yakni memaknai kemiskinan bukan
sebatas efek dari kekurangan harta benda, melainkan lebih pada krisis
nilai kemanusiaan itu sendiri yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
hidup sebagaimana layaknya manusia.
Melihat kemiskinan sebagai problem inherenitas manusia, jadi sangat
menarik mengingat manusia diciptakan sebagai makhluk paling cerdas yang
dipercayakan mengelola dan memanfaatkan alam semesta. Lebih jauh, dalam
logika agama dijelaskan, karunia yang diberikan Tuhan di alam semesta
ini pasti akan dapat memenuhi kebutuhan seluruh makhluk-Nya jika
dikelola secara arif atas dasar nilai luhur, sehingga tidak ada alasan
manusia untuk mempersalahkan Tuhan dalam kaitannya dengan perolehan
kebutuhan atau nasib dalam hidupnya.
Jika demikian halnya, maka setiap persoalan yang dihadapi — terlebih
menyangkut kesejahteraan material — semata-mata bermuara pada manusia
itu sendiri, bukan pada Tuhan atau pun pada potensi alam. Itu berarti
melihat kemiskinan sebagai persoalan mendasar dalam diri manusia
sebagaimana yang tercantum dalam konsep P2KP menjadi sangat beralasan.
Ketika akar permasalahan kemiskinan telah ditemukan (yakni pada diri
manusia), maka upaya penanggulangannya pun tentu harus menitikberatkan
pada pemberdayaan manusia itu sendiri, yakni mendorong manusia agar
dapat menemukan kembali jati dirinya sebagai pengelola alam semesta.
Manusia yang sudah menyadari bahwa dirinya adalah poros (qutb) yang
menentukan nasib alam semesta, tentu akan menyadari masalah yang
dihadapinya — termasuk kemiskinan — bukan merupakan persoalan yang sudah
mapan, abadi atau tidak dapat diselesaikan. Tetapi, ia harus dilihat
sebagai masalah yang menumpangi jalannya kehidupan, datang sebagai duri
ketika manusia tidak konsisten dengan tugas-tugas dan kedudukannya di
atas pentas kehidupan.
P2KP memperkenalkan bagaimana konsep ini dapat diwujudkan secara
sistematis sebagai upaya penanggulangan kemiskinan di tengah-tengah
masyarakat, khususnya Sumatera Utara saat ini.
Salah satu upaya memperkenalkan kembali manusia akan hakikat dirinya
adalah dengan memberikan kepercayaan kepadanya. Para nabi telah
menunjukkan kerendahan hati dan optimisme yang tinggi saat mereka
dipercayakan sebagai pengemban pesan suci Ilahi. Kemudian mengajak
manusia menemukan dan mengenali masalahnya. Hal ini sangat penting,
sebab ketika seseorang telah berhasil menemukan dan mengenali
masalahnya, serta melihat sejauh mana masalah itu berpengaruh dalam
kehidupannya, diyakini ia akan berupaya mencari penyelesaian dengan
mengoptimalkan seluruh potensi yang ia miliki.
Ketika setiap orang telah berada dalam posisi tersebut, maka masalah
yang dihadapi seperti kemiskinan misalnya akan dapat dilihat sebagai
masalah bersama dan akan diselesaikan secara bersama-sama. Menyadari
masalah mesti dihadapi secara bersama tentu menuntut adanya kebersamaan.
Itu berarti setiap orang harus memupuk rasa kasih sayang, kepedulian
dan saling membantu demi terwujudnya kebersamaan tersebut. Itulah
sebabnya P2KP senantiasa mendorong masyarakat agar melihat kemiskinan
sebagai masalah bersama dan hanya akan dapat diselesaikan jika kerja
sama di antara manusia dapat terjalin.
Kerja sama yang dimaksud, tidak hanya antarindividu akan tetapi juga
antarlembaga dan antarinstansi, dimana semua pihak diposisikan sebagai
mitra (konsep memberi kepercayaan yang setara), sebab kemiskinan selain
telah membudaya juga tercipta secara structural, dan itu menuntut adanya
penyelesaian secara budaya dan struktural pula. Kita dapat melihat
misalnya, ternyata kemiskinan telah memasuki hampir semua suku dan semua
profesi yang digeluti, sehingga tidak ada wilayah yang tidak mengenal
kata tersebut. Hal itu berarti dalam penaggulangannya pun dibutuhkan
kerja sama seluruh komponen masyarakat siapa pun dan di mana pun, bahkan
sebagai apa pun.
P2KP tampaknya sengaja menyerahkan perjalanan program kepada
masyarakat agar pemerintah yang mengaku sebagai pelayan masyarakat dapat
mengambil peran yang lebih besar di dalamnya. Karenanya, ketika
kesadaran masyarakat sedang dituntut, maka sesungguhnya kesadaran aparat
pemerintahan tentu lebih diharapkan mulai dari tingkat yang paling
rendah (kepala kelurahan dan kepala lingkungan) hingga presiden. Karena,
program rakyat akan mengalami kesulitan manakala aparat pemerintah yang
mendampinginya tidak memberikan dukungan.
Akhirnya jika disepakati, kemiskinan adalah masalah inherenitas
manusia dan telah mengakar di dalam diri dan dalam budaya bangsa tentu
untuk keluar darinya dibutuhkan proses penyadaran yang agak panjang.
Kita perlu menyambut baik rencana pemerintah untuk memperpanjang proyek
P2KP hingga 2015. Karena, menurut hemat saya hal itu merupakan wujud
dari kesadaran bahwa pemerintah juga menyadari kemiskinan telah menjadi
persoalan mendasar dalam diri manusia, dan akan bias diselesaikan dengan
terlebih dulu memperbaharui jiwa manusia tersebut. Wallahu’alam
bish-shawab. (Nur Syamsu, Asmandat Korkota 2, KMW V P2KP-3 Sumut; Nina)
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini