DALAM karier birokrat, berpindah posisi adalah hal wajar, namun
umumnya enggan menempati posisi staf ahli kepala daerah. Ada seorang
staf ahli bupati mengibaratkannya dengan perasaan, pengemudi yang harus
mengerem mendadak karena seseorang menyeberang jalan. Untung, pengemudi
dapat mengendalikan kendaraannya, penyeberang pun selamat.
Pengemudi
akan merasakan persendian kakinya lepas dari raga, jantungnya berdegup
kencang, dan mata berkunang-kunang. Istigfar akan berulang kali
diucapkan untuk mengendalikan adrenalin yang naik secara tiba-tiba
karena kekagetan dan hentakan luar biasa. Perspektif itu tidak
sepenuhnya benar. Banyak staf ahli kepala daerah merasa bersyukur
ditempatkan di posisi tersebut karena situasi politik di pemerintahannya
tidak memberi kenyamanan dalam bekerja, terlalu banyak order ”under the
table” yang rawan hukum dari kepala daerah. Bagi pejabat yang aktif
berbisnis di luar kantor, justru penempatan itu membuat mereka lebih
leluasa mengembangkan bisnis. Bagi mereka yang kurang begitu sehat,
banyak waktu luang dapat dimanfaatkan memperbaiki kesehatannya.
Berdasarkan
PP Nomor 41 Tahun 2007, kepala daerah dapat mengangkat staf ahli untuk
membantu di luar tugas dan fungsi perangkat daerah. Tidak akan ada staf
ahli andai kepala daerah tidak membutuhkan. Oleh karenanya, staf ahli
adalah jabatan strategis, eselonnya setingkat kepala SKPD. Kepala
daerah dapat menggunakan pemikiran staf ahli untuk referensi dalam
pembuatan kebijakan.
Sayang, semangat regulasi tidak tercermin
dalam praktik. Fungsi staf ahli, sebagai pemberi input, kadang tidak
terlaksana karena cara pandang kepala daerah tidak memungkinkan terjadi
komunikasi dua arah yang baik. Staf ahli ibarat pemain bola yang ditarik
dari lapangan dan dibangkucadangkan karena dianggap lamban dan tidak
mengikuti strategi pelatih. Wajar saja, ketika wakil bupati terpilih
menjadi bupati maka langkah pertama yang dilakukan adalah memindahkan
kepala SKPD pendukung pesaingnya dalam pilbup, sebagai staf ahli.
Nuansa
egoisme kepala daerah sangat kuat mewarnai pemfungsian staf ahli.
Egoisme negatif kepala daerah akan menjadi kuburan staf ahli selama masa
jabatan kepala daerahnya, kecuali kekuasaan Tuhan berkata lain.
Apatisme luar biasa akhirnya akan lahir dan membelit para staf ahli.
Mereka bekerja hanya sekadar memenuhi kewajiban sebagai pejabat yang
digaji tinggi.
Tidak ada lagi kreativitas, terobosan, dan inovasi
yang selama ini jadi bagian dinamis dari kesehariannya. Tidak ada lagi
kesan yang tertinggal bahwa mereka adalah orang-orang yang terpilih dan
punya keunggulan dibanding rata-rata pegawai lainnya. Hal seperti ini
saya rasakan tiap kali bertemu dalam rakor dengan staf ahli se-Jawa
Tengah. Bukan berarti mereka tidak pernah berusaha, melainkan usahanya
sering kandas karena tak ada respons positif dari kepala daerah. Menurut
staf ahli bupati Tegal, birokrasi adalah organisasi top down, dari atas
ke bawah. Jika dari atas tidak ada perintah dan terwujud mispersepsi
atas jabatan staf ahli, sekuat apa pun staf ahli bekerja yang didapat
hanya kesia-siaan.
Daur Ulang
Proses ini lebih tepat
disebut kelirumologi staf ahli sehingga jabatan tersebut menjadi escape
position untuk menghindari konflik manajemen kepala daerah. Proses ini
sudah lama berlangsung, jauh sebelum PP Nomor 41 Tahun 2007 lahir, dan
sejak staf ahli bukan jabatan struktural, membuat kekeliruan menjadi
sebuah kebenaran. Stigma staf ahli telah membuat banyak pejabat
kebakaran jenggot dan alergi terhadap jabatan staf ahli. Bahkan berupaya
menjauh dari staf ahli agar tidak terkesan berseberangan dengan kepala
daerah.
Di tengah kedahagaan para staf ahli akan tugas pokok dan
fungsinya yang lebih jelas dan terukur serta rasa inferior yang makin
dalam, ada harapan dialirkan Gubernur Ganjar Pranowo. Dalam sambutannya
saat pelantikan pejabat eselon 3 dan 4 (12/3/14), Ganjar mengatakan
mendaur ulang fungsi staf ahli. Peran staf ahli (gubernur) akan
diperkuat dengan penugasan khusus menyupervisi dan mengoordinasikan SKPD
serta melaporkan (hasilnya) langsung kepada gubernur.
Gagasan
ini seperti oasis di padang pasir, terlihat dari kejauhan dan akan
menjadi kenyataan jika menjadi sistem yang jelas, terstruktur, dan
terukur. Saat kabar ini saya sampaikan kepada kawan-kawan staf ahli
dalam pertemuan di Solo (27/3), mereka antusias dan menyampaikan
penghargaan luar biasa. Gagasan ini diharapkan menjadi sistem untuk
tupoksi staf ahli bupati/wali kota.
Permintaan yang wajar karena
pada dasarnya birokrasi (staf ahli) tidak pernah terbelah hatinya, tidak
tergiring pikirannya untuk mengunci diri pada seorang kepala daerah
sehingga melupakan status PNS-nya. Sejatinya birokrasi hanya bekerja
untuk negara dan mengabdikan karya untuk rakyat, dengan membantu kepala
daerah. Staf ahli datang tidak secara tiba-tiba, mereka menempati posisi
eselon 2 karena punya banyak kelebihan, dan mereka bersaing dengan
ribuan PNS lain. (10)
— Ihwan Sudrajat, Staf Ahli Gubernur Jawa Tengah
sumber : http://m.suaramerdeka.com/
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini