Masalah parkir tentu ada dimana-mana dari sabang s/d merauke, tidak sedikit korban kecelakaan lalu lintas akibat parkir yang tidak mematuhi peraturan yang berlaku, Mulai dari jalan desa sampai kota, malah ditempat-tempat pusat perbelanjaan pinggiran jalan kita, Meskipun itu merupakan pendapatan yang dikelola daerah maupun swasta, bukan berarti membuat pengguna jalan kaki maupun yang berkendara merasa nyaman malah harus berhati-hati dan menyiapkan uang khusus parkir dimana saja kita parkir.
Anda
yang tinggal di kompleks perumahan yang jalannya relatif sempit/kecil,
mungkin jalan dua lajur yang kalau dilintasi dua buah mobil dari arah
yang berlawanan maka keduanya harus menurunkan kecepatannya dan
berhati-hati agar tidak sampai “bersenggolan”, maka besar kemungkinan
mengalami sebagaimana judul yang saya tulis di atas. Bisa saja pada
suatu waktu ada tetangga lain yang memarkirkan mobilnya di pinggir jalan
yang sempit ini sehingga memakan badan jalan, sedangkan posisi mobil
yang diparkir tersebut menyulitkan anda yang punya mobil untuk keluar
dan masuk garasi rumah anda sendiri.
Biasanya
yang parkir pun cukup pandai dia tidak parkir tepat didepan pagar anda,
tetapi di seberang jalan dan posisinya antara rumah anda dengan rumah
di sebelah anda. Jadi tidak persis menghalangi anda keluar masuk, namun
lebar jalan yang sudah kecil makin menyempit menjadi satu lajur saja,
sehingga menyulitkan anda yang punya mobil dan di parkir di dalam rumah
untuk keluar masuk. Mau bergerak bebas susah, karena bisa “bersenggolan”
dengan mobil yang diparkir, pelan-pelan pun susahnya bukan main untuk
memasukkan atau mengeluarkan mobil anda. Atau lebih parah memang parkir
tepat didepan pintu pagar rumah anda sehingga anda harus “extra” keras
berupaya mengemudikan mobil anda hanya untuk keluar masuk rumah dan
melalui jalan umum di depan rumah anda.
Parkir
seperti ini, saya sebut saja “Parkir seenaknya” umum terjadi bilamana
tetangga kita punya banyak mobil tapi tidak punya garasi, sesuatu yang
tidak logis mampu beli mobil tapi tidak mau membeli/membuat ruang untuk
menyimpan/memarkir mobil tersebut. Bisa juga kemungkinan lain adalah
tetangga kita membuka usaha kost-kostan / rumah sewa sehingga banyak
penghuni kost yang memiliki kendaraan sendiri namun pemilik kost tidak
tanggap dalam menyediakan tempat untuk parkir, akhirnya di parkir lah
mobil tersebut di jalanan depan kost di samping rumah tetangga lainnya.
Ini juga aneh mampu berusaha dan berbisnis tetapi tidak mau menyediakan
lahan yang cukup. Belum lagi ditambah bilamana jalan depan rumah kita
cukup ramai dilalui lalu lintas.
Bayangkan
pada saat kita mau keluar rumah lalu terhalangi dengan adanya parkiran
seenaknya ini, kalau pemilik mobil ada di mobil mungkin mudah untuk
menegur yang bersangkutan agar memindahkan mobilnya demi memberi
kesempatan kepada kita untuk keluar masuk rumah atau melalui jalan
tersebut, namun kalau mobil tersebut tidak jelas siapa pemiliknya
(contohnya : penghuni kost baru) yang parkir malam hingga siang keesokan
harinya padahal pagi hari kita mau berangkat kantor atau mengantar anak
sekolah maka kita bingung tanya tetangga kanan kiri tidak ada yang tahu
siapa pemilik mobil tersebut. Akhirnya kita yang juga punya hak sebagai
pengguna jalan menjadi dirugikan, menjadi dongkol, jengkel dan marah
karena ternyata masih banyak orang-orang seperti ini yang tidak tahu
hidup bermasyarakat dan menyadari dirinya sebagai makhluk sosial yang
terikat dengan hukum.
Beberapa
kawan termasuk saya sudah mengalami hal ini makanya saya mengupas
tuntas permasalahan ini ditinjau dari ilmu hukum. Agar kita tahu
bagaimana menegakkan hak-hak kita secara hukum dalam kehidupan
bermasyarakat.
Masyarakat
kita sekarang “sakit hukum” karena penegakan hukum kita lemah. Parkir
di jalan sudah merupakan pelanggaran hukum sejak jaman dahulu, sejak
jaman kita dijajah belanda sebagaimana di nyatakan dalam Weboek Van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang kemudian diubah menjadi Wetboek Van Strafrecht
atau sekarang dikenal sebagai KUHP. Namun adanya keadaan yang saya
ceritakan diatas menunjukkan polisi dan aparat perangkat desa/kelurahan
mulai menggeser pola pikir bahwa selama tidak ada orang yang komplain
mengenai masalah ini maka masyarakat dalam keadaan tertib dan aman.
Padahal kasus pelanggaran hukum ini masuk delik biasa dalam hukum
pidana, tidak perlu dilaporkan harus ditindak.
Dalam pasal 193 KUHP disebutkan :
Pasal 193
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan bangunan untuk lalu lintas umum dihancurkan, tidak dapat dipakai atau merusak, atau menyebabkan jalan umum darat atau air dirintangi, atau usaha untuk pengamanan bangunan atau jalan itu digagalkan, diancam :
1. dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu
lintas;
2. dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan
paling lama satu tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang
mati.
Kalimat yang saya pertebal kalau disusun ulang menjadi :
“Barang
siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan jalan umum darat
dirintangi, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua
minggu atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul
bahaya bagi keamanan lalu lintas.”
Kalimat
yang saya susun dari Pasal 193 ayat (1) KUHP tersebut mengandung makna
perbuatan parkir di jalan adalah perbuatan merintangi jalan, karena
memakan badan jalan dan menghalangi orang lain untuk menggunakan jalan
tersebut. Namun dalam pasal ini ada persyaratan untuk dapat menyatakan
parkir di jalan sebagai pidana merintangi jalan yaitu bilamana parkir
tersebut menimbulkan bahaya bagi keamanan lalu lintas. Persoalan disini
muncul : apa kriteria bahaya bagi keamanan lalu lintas yang diakibatkan
parkir seperti itu? Tentu saja pembahasannya menjadi panjang lebar namun
kita tidak perlu uraikan dalam tulisan ini karena pada akhirnya itu
menjadi tugas dan wewenang Polisi. Inipun belum kita kaitkan dengan
Pasal 193 ayat (2) KUHP karena berbeda dengan delik dalam ayat (1),
dalam ayat (2) persyaratan tidak ada, tetapi delik sudah ada bila akibat
terjadi yaitu “mengakibatkan orang meninggal”. Tapi kita batasi saja
dalam uraian ini sampai pada Pasal 193 ayat (1). Disini, kita dapat
memahami bahwa Pasal 193 KUHP bisa dijadikan delik pidana bagi orang
yang parkir seenaknya.
Dalam pasal 493 KUHP disebutkan :
Pasal 493
Barang siapa secara melawan hukum di jalan umum membahayakan kebebasan bergerak orang lain,
atau terus mendesakkan dirinya bersama dengan seorang atau lebih kepada
orang lain yang tidak menghendaki itu dan sudah tegas dinyatakan, atau
mengikuti orang lain secara mengganggu, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.
Dari
kalimat yang saya pertebal dalam Pasal 493 KUHP kita melihat adanya
ancaman pidana bilamana seseorang membahayakan kebebasan bergerak orang
lain di jalan umum, dengan syarat bilamana perbuatannya dilakukan secara
melawan hukum. Parkir seenaknya bisa termasuk dalam delik ini karena
ada perbuatan melawan hukum dalam parkir seenaknya berdasarkan UU Lalu
Lintas yang akan saya uraikan dibawah nanti. Namun perlu diingat ini
sanksinya hanya denda maksimum seribu lima ratus rupiah. KUHP ini dibuat
di jaman belanda, bayangkan dulu uang seribu lima ratus rupiah itu bisa
beli berapa banyak tanah/hewan/ternak bahkan mungkin kendaraan,
sekarang uang itu gak ada harganya, makanya Polisi sering bingung dan
dilema mau menegakkan aturan ini, kalau dibawa ke Pengadilan perlu
hakim-hakim yang berpikiran maju dan mampu menerapkan “moral justcice”
dalam penerapan hukum agar kasus ini diputus sesuai dengan keadaan jaman
sekarang. Kalau hanya melihat deliknya saja secara letterlijk
maka bisa jadi kasus akan ditolak karena hanya buang biaya perkara demi
menuntut orang sebesar seribu lima ratus rupiah. Tapi jangan lupa ini
penegakan hukum loh ya…. kalau orang melanggar ya… kita harus ingat
sebuah adagium : hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh.
Dalam pasal 494 KUHP disebutkan :
Pasal 494
Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah:
1. barang
siapa tidak mengadakan penerangan secukupnya dan tanda-tanda menurut
kebiasaan pada penggalian atau menumpukkan tanah di jalan umum, yang
dilakukan oleh atau atas perintahnya, atau pada benda yang ditaruh di
situ oleh atau atas perintahnya;
2. barang
siapa tidak mengadakan tindakan seperlunya pada waktu melakukan suatu
pekerjaan di atas atau di pinggir jalan umum untuk memberi tanda bagi
yang lalu di situ, bahwa ada kemungkinan bahaya;
3. barang
siapa menaruh atau menggantungkan sesuatu di atas suatu bangunan,
melempar atau menuangkan ke luar dari situ sedemikian rupa hingga oleh
karena itu dapat timbul kerugian pada orang yang sedang menggunakan
jalan umum;
4. barang
siapa membiarkan di jalan umum, hewan untuk dinaiki, untuk menarik atau
hewan muatan tanpa mengadakan tindakan penjagaan agar tidak menimbulkan
kerugian;
5. barang siapa membiarkan ternak berkeliaran di jalan umum tanpa mengadakan tindakan penjagaan, agar tidak menimbulkan kerugian;
6. barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang, menghalangi sesuatu jalanan untuk umum di darat maupun di air atau menimbulkan rintangan karena pemakaian kendaraan atau kapal yang tidak semestinya.
Kalimat yang saya pertebal dalam pasal 494 ayat (6) KUHP kalau disusun ulang menjadi :
“Diancam
dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah
barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang menghalangi sesuatu
jalanan umum di darat atau menimbulkan rintangan karena pemakaian
kendaraan”.
Dari
kalimat tersebut mengandung pemahaman bahwa untuk menghalangi atau
menimbulkan rintangan karena kendaraan perlu dulu ijin dari penguasa,
bila tidak ada ijin maka termasuk dalam pidana dengan sanksi denda.
Parkir seenaknya termasuk dalam delik ini karena termasuk menghalangi
dengan sesuatu di jalanan umum atau menimbulkan rintangan dengan
kendaraan di jalanan umum. Kembali lagi sanksinya hanya denda
sebagaimana pasal 493 KUHP.
Dari pembahasan KUHP saja kita dapat mengambil kesempulan bahwa sejak jaman dahulu, jaman penjajahan Belanda, jalanan
umum adalah hak semua masyarakat umum, tidak bisa dikuasai oleh
seseorang, atau sekumpulan orang. Perbuatan merintangi jalanan,
menghalangi penggunaan jalan bagi orang lain dimasukkan sebagai
kejahatan dengan diancam pidana. Tapi sekali lagi penegakan hukum kita
memang masih lemah, sehingga kita juga sebagai masyarakat menjadi “sakit
hukum” tidak tahu lagi mana perbuatan yang salah dan mana yang benar
makanya ini harus diperbaiki. Dan menjadi tugas kita bersama walaupun
mungkin kita malah dibenci karena mereka merasa selama ini tidak
mengganggu padahal perbuatannya sudah menganggu tetapi yang terganggu
belum mau komplain. Atau karena merasa sudah duluan tinggal di daerah
itu lantas merasa warga yang baru harus menghormati warga yang lama, ini
dasar hukumnya dari mana, tinggal di daerah itu kan ya tinggal bersama
sebagai warga sosial, emangnya tanah dan rumah kita milik warga lama?
Kita
lanjutkan pembahasan kita kembali kepada hukum, parkir sebagaimana
penggunaan jalan yang lainnya diatur juga dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Untuk
memahami lebih lanjut tentang parkir maka kita dapat melihat dalam
pengertiannya yang dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 15 UU No. 22/2009 yang
menyebutkan bahwa Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.
Sebagai pembanding sekalian juga saya sebutkan definisi berhenti yang
disebutkan dalam Pasal 1 Angka 16 UU No. 22/2009 yang menyatakan Berhenti adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.
Dari
pengertian parkir kita tahu bahwa pengemudi yang meninggalkan kendaraan
dalam keadaan berhenti atau tidak bergerak telah melakukan perbuatan
Parkir, tidak masalah apakah mesin kendaraannya menyala atau dalam
keadaan mati, tidak masalah juga bila waktu ditinggalkannya mau beberapa
saat, sebentar atau dalam waktu yang lama.
Dalam Pasal 43 UU No. 22/2009 mengatur tentang perparkiran, untuk lebih jelasnya saya sebutkan Pasal 43 dibawah ini :
Fasilitas Parkir
Pasal 43
(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.
(2) Penyelenggaraan
fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau
badan hukum Indonesia berupa:
a. usaha khusus perparkiran; atau
b. penunjang usaha pokok.
(3) Fasilitas
Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat
tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan,
persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk
umum diatur dengan peraturan pemerintah.
Penjelasan Pasal 43 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Parkir untuk umum” adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya.
Dari pasal 43 ayat (1) secara tegas dinyatakan bahwa untuk penyediaan fasilitas parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar
Ruang Milik Jalan. Memang ayat (1) ini ditujukan pada orang–orang yang
bermaksud menyelenggarakan fasilitas parkir sebagaimana disebutkan di
ayat (2) namun arahnya perlu dipahami bahwa parkir memerlukan ruang
khusus.
Dalam
pasal 43 ayat (3) disebutkan Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik
Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan
kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan
Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan. Perhatikan delik dalam ayat (3)
ini terutama dalam kalimat harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan,
mengandung makna bahwa parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya di
tempat tertentu (bukan sepanjang jalan) dan harus ada ijin (dalam bentuk
rambu dan/atau marka) dari Pemerintah Daerah atau instansi yang
berwenang dalam hal ini Dinas Perhubungan atau sejenisnya sebagai aparat
yang mengatur rambu lalu lintas dan Marka Jalan. Fakta nyata dalam
kehidupan kita, pada umumnya malah tidak ada rambu lalu lintas dan/atau
Marka Jalan untuk jalan-jalan di kompleks perumahan atau jalan desa,
sehingga membingungkan pengguna jalan ini boleh atau tidak untuk parkir
di jalan tersebut. Akibatnya rumitlah memahami parkir ini terutama bagi
Polisi karena orang yang Parkir seenaknya juga secara kasat mata tidak
melanggar rambu lalu lintas dan/atau Marka Jalan.
Lantas
bagaimana memahami pasal ini? Jawabannya mudah kita lihat saja mana
yang lebih dahulu diatur, Pasal 43 ayat (3) mengamanatkan bahwa parkir
di dalam ruang milik jalan harus di tempat tertentu dan dinyatakan
dengan rambu lalu lintas dan/atau marka jalan, sehingga dengan tidak
adanya rambu lalu lintas dan/atau marka jalan maka parkir di dalam ruang milik jalan adalah terlarang. Penalaran hukum dalam memahami ayat (3) ini yang saya yakini bisa jadi tidak dipahami oleh semua jajaran aparat Polisi kita.
Dengan
pemahaman ini maka orang yang Parkir seenaknya dapat dikategorikan
sebagai Perbuatan Melawan Hukum sehingga memenuhi delik dalam Pasal 493
KUHP sesuai yang saya uraikan sebelumnya.
Kemudian kita lanjut ke Pasal 106 ayat (4) dan Pasal 287 ayat (3) UU No. 22/2009 yang menyatakan :
Pasal 106
(4) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan:
a. rambu perintah atau rambu larangan;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. gerakan Lalu Lintas;
e. berhenti dan Parkir;
f. peringatan dengan bunyi dan sinar;
g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau
h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain.
Pasal 287
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d atau tata
cara berhenti dan Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4)
huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Dari
Pasal 106 ayat (4) huruf (e) dan Pasal 287 ayat (3) UU No. 22/2009 yang
saya pertebal kita dapat melihat bahwa Pengemudi kendaraan bermotor
yang melanggar ketentuan Parkir dapat diancam pidana kurungan paling
lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
Dari
uraian saya diatas yang cukup panjang lebar kita sekarang tahu
bagaimana kedudukan orang yang parkir seenaknya ini, mau pakai KUHP, mau
pakai UU No. 22/2009 semua mengarah pada satu kesimpulan bahwa
perbuatan parkir seenaknya adalah pelanggaran hukum dan termasuk
kriminal. Sudah bukan saatnya kita membiarkan mereka melakukan perbuatan
kriminal yang tidak disadari, kita juga punya kewajiban untuk
mengingatkan mereka agar tidak melakukan perbuatan jahat yang menganggu
keselamatan dan keamanan orang lain. Mungkin saja kalau kita ingatkan
secara langsung sebagai tetangga akan mengalami penolakan dan bantahan
yang panjang lebar demi “melegalkan” perbuatannya tetapi kita perlu
ingat bahwa orang ini melanggar hukum sampai kepada tahapan kriminal,
jika dibiarkan lama-lama perbuatan ini akan menjadi kebiasaan dan lambat
laun diterima sebagai sesuatu yang bukan melanggar hukum oleh generasi
selanjutnya.
Saran saya untuk menghadapi orang yang Parkir seenaknya ini adalah sebagai berikut :
- Sebelumnya lakukan pencatatan waktu dan tanggal setiap anda melakukan tahapan langkah kalau perlu pada saat melapor pada aparat terkait buat berita acara.
- Lakukan pendekatan sebagai sesama tetangga dengan menegur baik-baik bahwa tindakannya menyusahkan dan menyulitkan kita sebagai tetangganya.
- Bila tidak berhasil, minta kepada ketua RT atau naik sampai ke ketua RW untuk melakukan peneguran, biasanya kalau kedudukan ketua RT dan RW cukup kuat cara ini berhasil, tetapi kalau ketua RT dan ketua RW kedudukannya lemah atau malah mereka yang melakukan parkir seenaknya ini yang repot.
- Kalau upaya melalui RT dan RW gagal maka langkah selanjutnya meminta Babinkum atau babinsakum kelurahan (Polisi yang bertugas di kelurahan) atau Lurah/Kepala Desa untuk menyelesaikan permasalahan ini.
- Kalau sampai tingkat Kelurahan juga gagal, tidak ada jalan lain laporkan saja ke Polsek/Polres terdekat, uraikan segala langkah yang telah anda lakukan bahwa dengan cara baik-caik hingga tingkat kelurahan pun tetangga ini masih tidak mau berubah, kalau perlu tunjukkan opini saya sebagai dasar anda membuat laporan.
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini