DIGEBER: Pembenahan waduk akan dilakukan dalam waktu dekat. Sesuai master plan tahun 1997, pembenahan waduk tersebut mencapai Rp4,70 triliun di antaranya digunakan untuk pembebasan tanah. |
BOGOR – Berpayah-payah
mencari solusi banjir, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) melirik
rencana lama yang digagas pada masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso,
2001 silam. Sebuah waduk penampung air di hulu Ciliwung, diyakini mampu
meminimalisir datangnya air bah ke Ibukota.
Di manakah rencananya lokasi waduk itu?
Menurut Kasi Trantib Ciawi, Maskur, lokasi bakal waduk di antara empat
Desa dan Dua Kecamatan. Yakni Desa Pandansari di Kecamatan Ciawi, dan
Desa Cipayung, Cibogo serta Gadog di Kecamatan Megamendung. Konon di
lokasi ini terdapat bekas bendungan Belanda, sehingga menjadi lokasi
yang tepat untuk membangun tandon air raksasa.
Waduk itu akan menampung sekitar 25 juta
meter kubik air Sungai Ciliwung. Luasnya mencapai 100 hektar dengan
kedalaman sekitar 85 meter. Waduk ini disiapkan sebagai lokasi parkir
air hujan, jika air di Sungai Ciliwung meluap. Untuk mengantisipasi
meluapnya air di waduk itu, Pemprov DKI juga harus membangun sodetan
melalui terowongan ke Kali Cisadane.
“Bendungannya dalam sekali. Puluhan
meter. Lokasi di dekat-dekat Desa Sukamahi, Sukamaju. Tapi ya gitu.
Masih sebatas wacana. Jangankan pembebasan lahan, sosialisasi ke wilayah
saja belum ada,” kata dia.
Seperti diungkapkan Dirjen Cipta Karya,
Kementerian PU Muhammad Hasan. Saat ini pihaknya tengah mengkaji
pembangunan waduk tersebut. Proses tengah berjalan pada pengkajian dan
pembuatan detail engineering design (DED). Proses ini diperkirakan
memakan waktu satu setahun.
Pemerintah masih harus mempertimbangkan
lokasinya yang berada di dataran tinggi. Selain itu, dana pembuatan
waduk diperkirakan sangat besar karena biaya pembebasan lahan
masyarakat. “Risiko yang mungkin timbul dan dampaknya bagi daerah hilir
juga harus diperhitungkan,” terangnya kepada wartawan.
Sementara itu, si empunya wilayah,
Pemerintah Kabupaten Bogor mengklaim belum diajak koordinasi lagi soal
waduk Ciawi. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kabupaten Bogor, Adang Suptandar mengatakan, pihaknya justru masih
menunggu koordinasi dari Pemprov DKI terkait proyek ini. Hingga kini,
Adang mengaku tak mengetahui persis dan belum menerima undangan
koordinasi. “Pemkab Bogor menunggu langkah-langkah selanjutnya. Baik
dari Pemda DKI atau pun Departemen terkait apabila pembangunan waduk
Ciawi akan dilaksanakan,” cetus Adang.
Sejak didengungkan 2001 silam, wacana
pembuatan waduk Ciawi timbul dan tenggelam. Namun, rencana ini telah
tertuang dalam rekomendasi rencana tindak jangka panjang penataan ruang
wilayah Jabodetabek, di Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional Bappenas, 2007. Rekomendasi itu merupakan hasil evaluasi banjir
tahun 2007 yang disebut-sebut sebagai banjir siklus lima tahunan.
Rekomendasi itu menyebutkan, untuk
menanggulangi banjir di wilayah Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi
(Jabodetabek), dibutuhkan adanya waduk di wilayah hulu, yakni Waduk
Ciawi, Waduk Parung Badak, dan Waduk Genteng. Disebut pula, kebutuhan
dana untuk penanggulangan banjir Jabodetabek dan sekitarnya mencapai
Rp16,5 triliun. Sesuai master plan tahun 1997, Rp4,70 triliun di
antaranya digunakan untuk pembebasan tanah.
Pembangunan waduk di hulu sungai dinilai
sangat penting. Mengingat 40 persen wilayah DKI Jakarta merupakan
dataran rendah yang rawan banjir. Jakarta juga mempunyai 13 sungai besar
dan kecil yang kerap meluap. Selain itu, upaya non-struktural di Bogor
juga direkomendasikan untuk menanggulangi banjir. Di antaranya
pembenahan dan penataan daerah tangkapan air di hulu Kali Ciliwung, dan
pengaturan kembali tata ruang wilayah Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur).
Dengan ‘tenggelamnya’ Ibu Kota Jakarta,
kemarin, banyak pihak menilai pembangunan waduk Ciawi digeber dalam
waktu dekat. Terlebih, Gubernur Jokowi telah berkoordinasi dengan
Pemprov Jabar dan menemui Wakil Presiden Boediono untuk meminta
percepatan Waduk Ciawi.
“Saya sudah minta ke Pak Wapres agar
semuanya dipercepat. Waduk Ciawi dipercepat, kemudian normalisasi sungai
juga dipercepat, sumur (resapan) juga ditambah,” kata Jokowi di
Balaikota Jakarta, Rabu (16/1/2013).
Melalui koordinasi bersama Boediono,
kata Jokowi, ia juga meminta agar dapat langsung memberikan koordinasi
kepada pemerintah daerah setempat untuk dapat mempercepat proyek
pembangunan antisipasi banjir. Menurut Jokowi, koordinasi itu perlu
karena Pemprov DKI tidak memiliki kewenangan sama sekali terkait
pembangunan Waduk Ciawi karena tidak berada di wilayah Jakarta.
Jokowi mengatakan siap apabila
pemerintah pusat dengan kementerian membuat sebuah forum koordinasi
ataupun sharing yang membahas proyek Waduk Ciawi ataupun proyek
antisipasi banjir bersama kota lain. “Yang jelas kita siap. Misalnya,
Waduk Ciawi nanti dikerjakan dan kita harus sharing, ya kita sharing
kalau perlu,” ujarnya.
Sementara itu, Pemerhati Tata Ruang Joko
Pitoyo menilai pembangunan Waduk Ciawi bukan solusi final mengatasi
banjir di Jakarta. Menurutnya, jika alasan pembangunan waduk adalah
meminimalisir debit air Ciliwung, efektivitasnya 20 persen lebih tinggi
jika berada di wilayah pertengahan, semisal Kota Depok.
“Kalau untuk mengurangi banjir atau
memperlambat air bah, iya. Kalau menghilangkan, kemungkinan kecil
sekali. Banyak yang harus ikut kontribusi. Lokasilasi curah hujan dan
kondisi tata ruang dan alam Jakarta itu sendiri,” paparnya.
Joko mengatakan, dalam melihat fenomena
banjir dari luapan air sungai, harus juga melihat kondisi daerah aliran
sungai (das) secara komprehensif. Pada kasus penanganan banjir Jakarta
di tingkat hulu, tidak semata-mata sungai Ciliwung saja yang menjadi
objek analisa. Setiap anak sungai yang mengalir ke Ciliwung pun harus
ditangani dengan terpadu.
“Harus ada semacam dam-dam (pintu air)
kecil penampung utama di tiap anak sungai. Pemda sebenarnya bisa
melakukan itu. Sebelum air itu masuk ke sungai utama Ciliwung, dia
tertahan di anak-anak sungai,” terangnya.
Menurut Joko, pemantauan bisa dilakukan
di tingkat daerah dengan menganalisa perkembangan anak sungai. Melalui
analisa itu, dapat terpantau pola aliran sungai. Selanjutnya, sistem dam
anak sungai juga harus diterapkan di tiap anak sungai hingga perbatasan
Bogor-Depok. “Konsekuensin ya kita harus bebaskan tanah masyarakat.
Kita menahan air sungai, juga menambah riset,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut dia, pemahaman yang
perlu ditekankan adalah tidak semua penyebab banjir Jakarta ada di
wilayah hulu atau Bogor. Penataan di hilir pun bisa membuat air meluap.
Meski di hulu hujan, jika terpantau ketinggian air sungai sudah naik,
bisa dikatakan ada yang tak beres dalam penataannya. “Tidak bisa selalu
disalahkan hulu. Perlu dilihat juga, apakah hujan merata atau sporadis
di satu wilayah. Durasi hujan, intensitas dan ketebalan curah hujan juga
sangat berpengaruh,” paparnya.
Langkah selanjutnya adalah analisa
karakteristik bantaran sepanjang das, serta tutupan lahan. Hal itu
menjadi seluruh kesatuan sampai ke muara atau laut. Wilayah mana yang
paling cepat berubah. Apakah hulu, tengah atau justru hilir. “Baru kita
bisa lihat siapa kontributor terbesar dari banjir ini,” ucapnya.
Joko menganalogikan prinsip air
permukaan (overlands flow). Semisal angka air hujan yang turun adalah
10, sedangkan yang langsung terserap tanah hanya tiga. Sehingga nilai
air permukaan yang langsung mengalir ke sungai menjadi tinggi yakni
tujuh. Fungsi yang harus dilakukan adalah menjadi air permukaan menjadi 5
atau bahkan tiga.
“Untuk mendapat angka ideal itu, wilayah
tengah dan hilir juga harus ikut berperan. Menerapkan rumusan itu di
masing-masing wilayah. Atasi Puncak tidak ada jaminan banjir akan
hilang,” tandasnya.
Banjir memang telah akrab bagi kota-kota
di Pantai utara Jawa. Menilik sejarahnya, Jakarta yang dibangun oleh
Jan Pieters Z Coen, di awal abad ke 17 dengan konsep kota air
(waterfront city). Konsep itu adalah konsep jitu mengatasi banjir. Pada
waktu didirikan tahun 1619, Batavia dirancang dengan kanal-kanal seperti
kota Amsterdam atau kota-kota lain di Belanda.
Secara historis semenanjung dan teluk
Jakarta memang rawan banjir akibat peningkatan debit air sungai
Cisadane, Angke, Ciliwung, Bekasi dan Citarum pada musim hujan.
Pertumbuhan permukiman yang tak terkendali mengakibatkan terhambat
aliran air ke laut.
Alhasil Kota Jakarta dilanda banjir
hebat pada tahun 1621, 1654 dan 1918, 1976, 1996, 2002 dan 2007. Banjir
tahun 1996 menggenangi hampir seluruh penjuru kota. Tahun itu menjadi
tragedi nasional yang menjadi perhatian dunia. Banjir besar ini
dipercaya sebagai banjir lima tahunan yang akan berulang setiap lima
tahun. Terbukti pada awal 2002 banjir melanda Jakarta, dan dilanjutkan
pada awal 2007 dan awal 2013. (ric)
+ komentar + 1 komentar
Pak Ikhsan, betul sekali bahwa sumber banjir, waduk penampung catchment area water dan daerah aliran sungai / anak sungai (bantaran + badan sungai) yang menampung hingga muara kelaut merupakan kesatuan. Sebab itu secara kelembagaan mungkin harus juga jadi kesatuan baik unsur Pemerintah Pusat (u/p mis RI2) , Daerah (u/p mis Gub / Wagub) maupun Kementerian2 dan Dinas2 terkait ( mis PU) dll. Tiap unsur lembaga punya ultimate function yang menentukan, masing2 punya kursi yang sama pada meja rapat lembaga dan commited untuk menuntaskan banjir.
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini