Baru-baru ini
masyarakat kembali dikejutkan dengan penangkapan 11 orang terduga pelaku
aksi teroris yang dikabarkan merencakan aksi kekerasan dan teror di
sejumlah lokasi di Indonesia.
Penangkapan ini membuat sebagian
masyarakat dan kalangan bertanya-tanya atas derasnya proses rekrutmen
orang-orang yang kemudian diarahkan untuk melakukan tindakan teror yang
kerap kali menyalahgunakan pemahaman agama.
Tim Detasemen Khusus
88 Antiteror mengamankan sebelas orang terkait kelompok teroris Harakah
Sunny untuk Masyarakat Indonesia di empat kota yakni Solo, Bogor,
Madiun, dan Jakarta.
Keterangan dari Kepala Divisi Hubungan
Masyarakat (Kadiv Humas) Mabes Polri Irjen Pol Suhardi Alius di Jakarta,
Sabtu, pada Jumat malam (26/10) sekitar pukul 20.00 WIB di Perumahan
Puri Amarta Residence nomor B3 Desa Josena, Kecamatan Taman, Kodya
Madiun, Densus mengamankan dua orang yang diduga terkait kelompok
tersebut yaitu Agus Anton alias Thoriq, kemudian Warso alias Kurniawan.
Pada Sabtu (27/10) pukul 11.00 WIB, bersamaan dilakukan penangkapan secara serentak oleh Densus.
Pertama
di Solo diamankan tiga orang yakni Abu Hanifah, pimpinan kelompok HASMI
ditangkap di Jalan Lawu Timur, Mojosong, Jebres, Solo.
Kedua atas nama Harun ditangkap di Jalan Sumpah Pemuda, Dukuh Bondowoso, Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo.
Ketiga Pujianto alias Ari alias Ahmadun yang kedapatan membonceg Abu Hanifah saat penangkapan.
Kota
ketiga adalah Bogor di Jalan Neglasari Kidul, Kelurahan Leuwiliang,
diamankan pertama kali dua orang yakni Emir atau Emirat, kedua
Zainuddin.
Setelah penangkapan dilakukan pengejaran terhadap orang bernama Usman di daerah Cikaret, sekitar setengah jam dari Leuwiliang.
Penangkapan
terakhir pada waktu yang sama di Palmerah Barat, Jakarta, diamankan dua
orang kemudian dikembangkan langsung ke ke Kebon Kacang dan menangkap
satu orang.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT)
Ansyad Mbai dalam sebuah kesempatan di Jakarta mengatakan pemberian
pemahaman kepada masyarakat mengenai bahaya ideologi radikal dapat
membantu mencegah perekrutan sel-sel baru teroris.
"Bagi Indonesia
salah satu pekerjaan besar adalah mengurangi atau memberikan pemahaman
pada masyarakat agar tidak terpengaruh atas ideologi ini. Teroris bisa
kita tangkap hari ini, namun pada hari yang sama juga bisa jadi banyak
orang yang direkrut," katanya.
Oleh karena itu, katanya, BNPT
selain fokus pada upaya penanganan terpidana terorisme melalui program
deradikalisasi juga melakukan sosialisasi pada masyarakat agar ideologi
radikal ini tidak menyebar dan penganutnya bertambah.
Ia juga
memaparkan saat ini lembaga yang dipimpinnya tengah menyiapkan program
yang akan diajukan untuk pencegahan paham radikal yang biasanya berujung
pada aksi terorisme.
"Program yang kita siapkan berdasarkan
pemetaan yang dilakukan BNPT bersama-sama dengan lembaga kajian ilmiah.
Intinya bila kita bicara mengenai radikalisme di Indonesia sangat luas,"
katanya.
Arsyad mengatakan paham radikalisme dapat berkembang
dimana saja oleh karena itu selain pemerintah, semua pihak termasuk
masyarakat dapat berperan mencegah hal tersebut.
Radikalisme
Banyak
terpidana kasus-kasus teroris memberikan alasan keterlibatan mereka
dalam aksi teror maupun mengikuti ideologi radikal dilatarbelakangi
alasan agama dalam pandangan mereka.
Koordinator tim riset dari
Indonesian Institute for Society Enpowerment Ahmad Syafi’i Mufid dalam
seminar tentang deradikalisasi dan terorisme di Jakarta baru-baru ini
menyampaikan hasil penelitiannya mengenai motivasi dan penyebab aksis
terorisme di Asia Tenggara dan kaitannya dengan gerakan radikal di
Indonesia dan Mesir.
"Sejumlah 45,5 persen mengatakan bahwa mereka
melakukan kejahatan terorisme untuk alasan agama, sekitar 20 persen
karena alasan solidaritas, 12,7 persen karena pengaruh massa, 10,9
persen balas dendam, sekitar 9,1 persen karena situasi dan 1,8 persen
karena alasan separatis," katanya.
Penelitian yang dilakukan tim riset Mufid didasarkan atas 110 responden pelaku kejahatan terorisme.
Mufid
menambahkan sebagian besar responden mengatakan melakukan teror bom
merupakan kewajiban dan menolak hal itu sebagai sebuah kejahatan dan
aksi teror.
Keprihatinan lebih jauh dari para pemerhati
masalah-masalah penyebarluasan ideologi radikal dan aksi terorisme
adalah kenyataan bahwa proses rekrutmen dan juga penyebaran paham-paham
radikal leluasa dilakukan memanfaatkan perkembangan teknologi di dunia
maya.
Salah satu peneliti di bidang itu, Solahuddin dalam seminar
yang sama mengatakan dari satu kasus yang didalaminya yaitu salah satu
terpidana kasus terorisme Mawan yang ditangkap di Bandung, radikalisme
dianut oleh Mawan setelah rajin berselancar di dunia maya dan melihat
secara aktif situs-situs tentang jihad.
"Dari sini kita melihat
bahwa internet telah menggantikan pengajian-pengajian, perekrutan bahkan
perampokan bank. Selain itu internet juga makin penting karena
sekarang telah menggantikan tempat-tempat pelatihan militer," katanya.
Ia
menambahkan beberapa situs jihad berbahasa Indonesia menyediakan
berbagai materi kemiliteran mulai dari strategi perang hingga
pelatihan-pelatihan skill kemiliteran seperti pelatihan menggunakan
senjata, membaca peta, membuat bom hingga membuat racun.
Informasi
ini, katanya, diunggah dalam situs-situs jihad sehingga orang tidak
perlu mengikuti pelatihan kemiliteran di Afghanistan atau Filipina dan
cukup mengunduh materi-materi itu.
Solahuddin mengatakan perlu ada upaya untuk melawan ideologi radikal di dunia maya.
Menurutnya
selama ini sebagian besar situs-situs di dunia maya dipenuhi oleh
pemahaman ideologi radikal sementara pemahaman moderat sangat jarang
ditemukan.
"Perlu ada ’counter narative’ terhadap wacana-wacana
radikal caranya adalah dengan membanjiri internet dengan gagasan yang
moderat dan toleran. Counter itu tidak harus berupa bantahan agama
terhadap wacana radikal," tegasnya.
Menurutnya akan lebih mengena
bila yang ditampilkan adalah film-film pendek yang mengisahkan para
korban kejahatan teroris atau kisah seorang anak perempuan di Pakistan
yang nyaris terbunuh hanya karena menyuarakan pendapatnya.
"Juga
diperlukan adanya undang-undang anti "hate speech" karena selama ini
undang-undang terorisme tidak bisa menjerat orang yang menyebarkan
gagasan radikal baik lewat pengajian maupun internet. Orang tidak bisa
berlindung atas nama kebebasan berekspresi untuk mengancam kebebasan dan
keselamatan orang lain," kata Solahuddin.
Namun ditambahkannya
perlu ada instrumen "harm test" untuk memastikan dan mengukur apakah
pernyataan seseorang itu melanggar undang-undang anti penyebar kebencian
sehingga tidak disalahgunakan dalam aplikasinya.
Ahmad Syafi’i
Mufid mengatakan bila semua pihak dapat memahami ajaran agama dengan
utuh dan juga melihat makna Pancasila secara utuh maka pemahaman atas
ide radikal bisa terbantahkan.
"Bagi Indonesia, penguatan rasa
nasionalisme dan pembangunan yang merata dapat mencegah semua upaya
radikalisasi dan juga berkembangnya terorisme," katanya.
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini