5 Hal Yang Dapat ‘Membunuh’ Kreatifitas Anak
Anak adalah individu paling kreatif. Dengan
imajinasi yang tak terbatas, anak sering menunjukkan kreatifitas yang
luar biasa. Barang apapun akan bermakna bagi anak. Barang apapun dapat
menjadi sesuatu yang lain, yang memiliki imajinasi yang luas.
Kreatifitas
ini bersumber pada berfikirnya otak kanan. Berbeda dengan otak kiri
yang akademik, logis, bahasa dan angka, otak kanan berfikir secara
menyeluruh, imajinatif, dengan irama dan berwarna. Oleh karenanya suatu
benda jika dilihat dengan otak kanan memiliki ribuan makna lain.
Bandingkan dengan pandangan otak kiri yang hanya meliputi apa bentuknya,
apa namanya, sesuatu yang dapat diolah oleh panca inderanya.
Namun
begitu perkembangan otak kanan ini pada usia dini ( 0-8 tahun ) sering
mengalami hambatan yang seringnya bisa ‘membunuh’ daya kreatifitas anak.
Kesalahan pola asuh dan sistem pendidikan yang salah telah membuat 90%
kekuatan imajinasi dan kreatifitas anak menghilang. Karenanya, orangtua
wajib memilikipola asuh yang benar dan memilihkan sekolah yang
merangsang dan melejitkan kreatifitasnya.
Berikut ini 5 hal yang dapat ‘membunuh’ kreatifitas anak yang seringnya dilakukan orang dewasa di sekitar anak.
1. Memberi contoh dan menyuruh mengerjakan seperti contoh
Otak
kreatifitas biasanya muncul dengan kesadaran dan keunikannya sendiri.
Ia muncul jika diberkan ruang untuk berekspresi dan berkarya secara
orisinal. Ia memiliki dimensi sendiri yang bebas dari ketergantungan.
Memberi
contoh pada dasarnya tidak bermasalah jika ia bisa memacu anak untuk
berfikir lebih. Namun memberi contoh dan anak disuruh mengerjakan
persisi seperi contoh merupakan kesalahan besar dalam mendidik anak.
Tindakan ini hanya akan menyeragamkan anak yang merpakan kebalikan dari
proses beanekaragaman dalam kreatifitas.
Kita
bisa menengok betapa tindakan ini telah mendarahdaging di dunia
pendidikan kita. Cobalah Anda menyuruh anak-anak kita untuk membuat
menggambar pemandangan. Apa yang terjadi? Kebanyakan anak pasti
menggambar pemandangan dengan ciri ada gunung, ada sawahnya, ada
matahari dan ada rumahnya.
Mengapa hal ini terjadi?
Karena
fenomena ini terjadi pada hampir semua anak, maka kita dapat menduga
bahwa hal ini dikarenakan ketika di taman kanak-kanan (TK) anak
diberikan contoh dan disuruh mengerjakan seperti yang dicontohkan guru.
Di lembaga pendidikan awal ini anak tidak boleh menggambar bebas sesuai
dengan kreatifitasnya. Anak diajarkan bahwa pemandangan ya harus
seperti apa yang dicontohkan guru.
2. Suasana yang tidak menyenangkan
Kreatifitas
sangat bergantung dengan perasaan bahagia. Kreatifitas akan muncul jika
hati dalam suasana menyenangkan. Jika pendidikan yang diterima anak
dalam kondisi yang tidak menyenangkan maka kreatifitas anak tidak akan
bisa optimal. Bahkan anak berkarya dengan keterpaksaan. Akibatnya
jauhnya anak memiliki rasa enggan untuk mengeluarkan kekuatan
kreatifitasnya.
3. Suasana yang membelenggu
Kreatifitas
bersumber dari kebebasan berfikir. Dengan demikian memiliki kebebasan
berfikir sangat menentukan apakah seorang anak kreatif atau tidak. Mari
kita tengok saat-saat pembelajaran di sekolah-sekolah kita, apakah sudah
membebaskan proses berfikir atau belum.
Jika
seorang guru mengajar adakah keriuahan sebagai tanda dinasmisnya
pembelajaran ataukah anak-anak ‘diwajibkan’ duduk memangku tangan di
atas meja? Adakah di kelas-kelas kita anak-anak bersahutan dan
bererebutan mengangkat tangan untuk bertanya dan mengemukakan
pendapatnya atau anak hanay diam dan pasif? Apakah anak- anak di kelas
diberikan kebebasan dalam mengekspresikan berfikir atau anak anak-anak
tidak diberkan peluang seluas-luasnya untuk mengekspresikan apa yang ada
dalam benaknya?
Dari
pengamatan penulis berikut ini merupakan tanda-tanda anak yang kurang
kreatif sebagai akibat terbelenggunya pikiran mereka karena aturan yang
terlalu ketat :
a. Anak kurang berinisitaif bertanya, bahkan ketika disuruh bertanya pun anak-anak kurang antusias
b. Di
kelas anak diharuskan duduk diam, tangan di atas meja. Bahkan ada lagu
yang diajarkan guru-guru TK untuk ‘menertibkan’ atau degan kata lain
membelenggu keinginan anak.
c. Sebagian guru masih belum bisa menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan membebaskan anak.
d. Pembelajaran masih sering satu arah. Metode ceramah (guru bicara anak mendnegar) masih menjadi metode favourit para guru.
4. Kurangnya wadah dan kesempatan berkarya
Mari
kita tengok sekolah-sekolah kita. Ada karya apa di kelas mereka?
Sudahkah karya mereka beranekaragam? Apakah gambar-gambar di kelas
banyak?
Penulis sering
melihat suasana kelas yang sangat-sangat kaku. Tempelan gambar hanya
sebagai pajangan. Bahkan foro-foto usang yang telah bertahun-tahun tidak
diganti. Adakah sekolah memberkan wadah mading di sekolahnya? Adakah
setiap guru mengajar anak diberikan kesempatan berkarya? Apakah
pembelajaran di sekolah kita menghasilkan anak yang suka berkarya?
Sepertinya
sekolah kebanggan kita masih jauh dari harapan. Mungkin di sekolah
swasta yang mahal, sekolah negeri yang favourit sudah berjalan ke arah
yang benar, namun sebagian besar masih seperti puluhan tahun yang lalu.
5. Tidak diajarkan cara berfikir dan berkarya kreatif
Pembelajaran
di Indonesia boleh saya katakan harus segera mengadakan REVOLUSI.
Pembelajaran di sekolah kita tidak mengajarkan cara anak berfikir dan
berkarya untuk menuangkan kreatifitasnya. Pembelajaran kita saat ini
terrnyata tidak jauh berbeda dengan pembelajaran puluhan tahun yang
lalu. Pembelajaran di kita masih didominasi oleh mendengarkan ceramah,
menulis ringkasan, dikte, duduk diam di kelas, guru menerangkan, masih
berbasis buku paket.
+ komentar + 1 komentar
salam kenal
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini