Add caption |
Dari Lokakarya Seri Pertama tentang Akuntabilitas di Surabaya
Meski
terus didengungkan, upaya mengurai kekusutan birokrasi tetap tak
kehilangan daya tarik. Lokakarya penguatan peran media untuk
akuntabilitas lembaga negara menghadirkan Wakil Men PAN-RB Eko Prasojo
dan tokoh lain. Berikut catatan KUKUH S. WIBOWO, media advisor program Akuntabilitas JPIP.
—
MESKI sebenarnya sudah jamak terdengar, potret birokrasi Indonesia yang dipaparkan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Eko Prasojo kali ini tetap saja menimbulkan keprihatinan. Menurut pejabat berlatar profesor itu, dari sisi organisasi, struktur birokrasi kita cenderung gemuk sehingga tidak fit terhadap fungsi. Sejumlah produk hukum maupun peraturan perundang-undangan antara instansi satu dan lainnya saling kontradiktif dan ambigu.
—
MESKI sebenarnya sudah jamak terdengar, potret birokrasi Indonesia yang dipaparkan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Eko Prasojo kali ini tetap saja menimbulkan keprihatinan. Menurut pejabat berlatar profesor itu, dari sisi organisasi, struktur birokrasi kita cenderung gemuk sehingga tidak fit terhadap fungsi. Sejumlah produk hukum maupun peraturan perundang-undangan antara instansi satu dan lainnya saling kontradiktif dan ambigu.
Sumber daya aparatur pun, papar Eko, dihadapkan pada kendala overstaffed dan understaffed sertamasih ditambah dengan masalah integritas yang lemah. Business process
dalam pelayanan publik juga tak luput dari kekusutan karena prosedur,
biaya, dan waktu sering tidak pasti. Akibatnya, produk pelayanan yang
diterima masyarakat sering tidak berkualitas dan terbuka celah untuk
melakukan korupsi. "Secara umum, mindset dan culture set birokrasi tidak memiliki semangat perubahan," ujar Eko.
Akar
segala masalah itu, menurut Eko, berawal dari perekrutan yang tidak
objektif, tidak kompetitif, serta kental dengan nuansa korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN). Keruwetan itu berjalin berkelindan dengan promosi
jabatan yang masih tertutup dan berbau KKN; level remunerasi yang rendah
dan tidak terkait dengan kinerja serta belum terbangunnya sistem budaya
kinerja.
Eko paham bahwa mengurai benang kusut birokrasi tidaklah
mudah. Tantangan yang dihadapi dalam mereformasi birokrasi juga teramat
berat. Sebab, terkadang masalah politik ikut cawe-cawe. "Jika
direformasi secara frontal, justru akan berdampak terganggunya sistem,"
terang Eko dalam lokakarya bertema Reformasi Birokrasi dan Keterbukaan Informasi Publik yang digelar The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi bersama USAID di Hotel Majapahit, Surabaya, Selasa lalu (17/7).
Selain
Eko, lokakarya seri pertama di antara 12 seri di 12 ibu kota provinsi
tersebut juga menghadirkan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah La Ode Ida,
anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari, dan Ketua Komisi Informasi
Abdul Rahman Ma’mun sebagai pembicara. Acara itu dihadiri 35 wartawan
serta puluhan birokrat, legislator daerah, dan aktivis.
Agar tidak
menimbulkan gempa politik, Kemen PAN-RB memilih strategi pelan tapi
pasti untuk mengubah mental buruk birokrasi yang telah berlangsung
puluhan tahun (pandangan lain Eko sebelumnya sudah diulas dalam Akuntabilitas, Jawa Pos, 15 Mei 2012).
Untuk
mencapai kualitas layanan publik, Kemen PAN-RB akan menguji kompetensi
PNS -seperti yang mulai diterapkan kepada guru. "Akan ada proses pegawai
yang tidak efektif akan dipensiunkan, sedangkan yang dibutuhkan akan
diuji lagi kompetensinya," terang Eko. Dia juga memaparkan strategi itu
dalam tulisan di Jawa Pos pada Senin, 30 Juli lalu, yang berjudul Mengubah Kultur Birokrasi.
Uji kompetensi lebih diarahkan untuk menguji soft competency pegawai negeri. Itu adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki pegawai negeri. Selain uji kompetensi di semua level, Kemen PAN-RB juga akan menerapkan sistem penilaian terhadap calon pegawai negeri melalui pusat-pusat penilaian dan tim seleksi yang dibentuk. "Seleksi ketat diperlukan untuk mendapatkan SDM pegawai negeri yang kompeten sesuai tugas dan fungsinya," ucap Eko.
Uji kompetensi lebih diarahkan untuk menguji soft competency pegawai negeri. Itu adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki pegawai negeri. Selain uji kompetensi di semua level, Kemen PAN-RB juga akan menerapkan sistem penilaian terhadap calon pegawai negeri melalui pusat-pusat penilaian dan tim seleksi yang dibentuk. "Seleksi ketat diperlukan untuk mendapatkan SDM pegawai negeri yang kompeten sesuai tugas dan fungsinya," ucap Eko.
Sedangkan La Ode mencatat delapan
poin harapan masyarakat terhadap kinerja birokrasi yang ternyata tidak
sesuai dengan kenyataan. Harapan-harapan itu, menurut dia, adalah
perekrutan serta penempatan aparatur berdasar kebutuhan (demand base)
dan kompetensi, nonpartisan, keteladanan dan ketegasan pemimpin,
birokrasi yang ramping, birokrasi yang meningkatkan kualitas pelayanan
terhadap masyarakat, reward dan punishment terhadap
aparat, birokrasi yang menjadi pionir agenda transparansi dan
akuntabilitas, serta perilaku pejabat dan aparat birokrasi berdasar
prinsip egalitarian-rasional.
Tapi, kenyataannya, terang La Ode,
harapan-harapan tersebut bertolak belakang. Sebab, yang terjadi di
lingkup birokrasi, antara lain, justru penempatan pejabat dalam jenjang
birokrasi cenderung berdasar like and dislike. Selain itu; ada
dominasi dan campur tangan kepentingan politik dalam kerja aparat
birokrasi; pemimpin minim keteladanan, bahkan tak mempan dipermalukan;
postur birokrasi gemuk; birokrasi sibuk mengurusi agenda pejabat
politik; sertareward and punishment tidak jelas. Juga, kalangan
birokrasi resistan terhadap agenda transparansi lantaran sudah menikmati
sistem yang tertutup dan korup. Selain itu, masih kental watak
feodalistis dan ewuh-pakewuh yang menisbikan rasionalitas. "Reformasi birokrasi telah tersandera," ujar La Ode.
Adapun
Eva berpendapat bahwa reformasi birokrasi dan administrasi di semua
instansi publik harus terus didorong, terutama reformasi pengelolaan
keuangan supaya menjadi lebih akuntabel. Metode audit, imbuh dia,
diperlukan untuk memastikan bahwa kultur baru yang terbangun bisa
mempercepat reformasi birokrasi. "BPK dan BPKP harus dilibatkan sejak
awal dalam perencanaan pembangunan untuk mencegah terjadinya
penyimpangan uang rakyat," terang mantan dosen ekonomi Unair itu.
Menurut Eva, melalui sistem pengelolaan keuangan yang baik, akan tertutup celah bagi aparat birokrasi untuk melakukan kecurangan. Selain perombakan administrasi birokrasi yang simultan, diperlukan pula katalisator untuk mempercepat reformasi birokrasi dalam jangka pendek. Pelibatan BPK, imbuh Eva, akan lebih sistemis dalam melakukan audit finance dan kinerja. "Selama ini, BPK tidak terlibat dalam mengawasi sistem dan hanya menunggu di ujung," terang legislator PDIP dari Jatim itu.
Menurut catatan JPIP, pemerintah telah membentuk Tim Quality Assurance (TQA) atau tim penjamin mutu. Jabatan ketua tim itu dirangkap oleh Ketua BPKP Mardiasmo. Operasionalisasi TQA persis dengan yang diinginkan Eva. Bahkan, mereka ikut mengawal pelaksanaan program.
Menurut Eva, melalui sistem pengelolaan keuangan yang baik, akan tertutup celah bagi aparat birokrasi untuk melakukan kecurangan. Selain perombakan administrasi birokrasi yang simultan, diperlukan pula katalisator untuk mempercepat reformasi birokrasi dalam jangka pendek. Pelibatan BPK, imbuh Eva, akan lebih sistemis dalam melakukan audit finance dan kinerja. "Selama ini, BPK tidak terlibat dalam mengawasi sistem dan hanya menunggu di ujung," terang legislator PDIP dari Jatim itu.
Menurut catatan JPIP, pemerintah telah membentuk Tim Quality Assurance (TQA) atau tim penjamin mutu. Jabatan ketua tim itu dirangkap oleh Ketua BPKP Mardiasmo. Operasionalisasi TQA persis dengan yang diinginkan Eva. Bahkan, mereka ikut mengawal pelaksanaan program.
Abdul Rahman
Ma’mun berharap, UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi dapat
mempercepat proses reformasi birokrasi. Sebab, keterbukaan informasi
akan mendorong masyarakat untuk ikut serta mengawasi serta mengontrol
kinerja birokrasi dan instansi publik. "UU itu membuka partisipasi
masyarakat untuk ikut mempercepat reformasi birokrasi dari luar," tutur
Ma’mun.
Sumber : Jawa Pos 8 Agustus 2012
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini