Ada dua pertanyaan umum dalam bahasan Jaminan Pembayaran terkait keterlambatan yaitu:
- Apakah boleh pemerintah membayar sisa pekerjaan yang belum dikerjakan (mengingat Pasal 21 ayat 1 UU 1/2004 menyebutkan bahwa Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima) kemudian dikompensasi dengan Garansi Bank?Pertanyaan bisa dijawab dengan benchmark mekanisme uang muka dan jaminan uang muka. Pada saat diberikan uang muka 20% s/d 30% dari nilai kontrak penyedia menyerahkan garansi bank sebagai uang muka. Pekerjaan masih 0% namun penyedia telah mendapatkan dana 20% s/d 30%.Hal ini tidak berbeda dengan Jaminan Pembayaran berupa Garansi Bank. Dan pasal 21 ayat 1 UU 1/2004
sama sekali tidak dilanggar, karena pembayaran tetap sesuai output pekerjaan. Yang terjadi hanyalah perubahan bentuk material dana menjadi jaminan berupa garansi bank yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena dijamin UU 7/1992 dan KUHPerdata. - Apakah boleh Jaminan Pembayaran melewati tahun anggaran apabila digunakan untuk masa keterlambatan?Pertanyaan ini juga bisa dijawab dengan mekanisme pemeliharaan dan jaminan pemeliharaan. Selama masa pemeliharaan penyedia menyerahkan jaminan pemeliharaan sebesar 5% dan masa pemeliharaan diperbolehkan melewati tahun anggaran. Tentu Jaminan pembayaran pun boleh melewati tahun anggaran.
Garansi Bank
Garansi Bank dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah telah dikenal lama dalam mekanisme penjaminan. Perpres 54/2010 Bagian Kedelapan Pasal 67 s/d 71 mengulas lengkap tentang ini. Jaminan dapat berupa suretyship ataupun garansi bank.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, pada pasal 6 menyebutkan bahwa “bank umum dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf n. Masing-masing bank dapat memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya. Dengan cara demikian kebutuhan masyarakat terhadap berbagai jenis jasa bank dapat dipenuhi oleh dunia perbankan tanpa mengabaikan prinsip kesehatan dan efisiensi.”
Pada penjelasan huruf n disebutkan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank dimaksud adalah kegiatan-kegiatan usaha selain dari kegiatan tersebut pada huruf a sampai dengan huruf m, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya memberikan bank garansi, bertindak sebagai bank persepsi, swap bunga, membantu administrasi usaha nasabah dan lain-lain.
Pasal inilah yang memperkuat bank garansi sebagai satu produk layanan perbankan yang sah. Kemudian Bank Indonesia sebagai regulator sentral perbankan mengeluarkan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No.11/110/KEP/DIR/UPPB tanggal 29 Maret 1977 tentang Pemberian Jaminan oleh Bank dan Pemberian Jaminan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah disempurnakan dengan SK Direksi BI No.23/88/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Garansi Bank (SK Direksi BI tentang Pemberian Bank Garansi). SK ini merupakan turunan resmi dari UU No. 7/1992 dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral dan wajib dipatuhi oleh seluruh penggiat perbankan.
Dalam Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/88/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1991 pasal 2 dan atau SE Bank Indonesia No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991 butir 4 disebutkan bahwa dalam penerbitan Bank Garansi pihak penerbit Bank Garansi (Bank) memuat ketentuan sebagai berikut yaitu transaksi antara pihak yang dijamin dengan penerima jaminan disesuaikan dengan jenis garansi bank.
Ini berarti Garansi Bank adalah perjanjian yang didasarkan atau didahului oleh perjanjian sebelumnya. Dengan demikian, Bank Garansi putus secara hukum jika perjanjian awal berakhir.
Kita bisa lihat jenis garansi bank harus didasari atas dokumen awal seperti :
- Tender Bond atau Bid Bond atau Jaminan Penawaran disyaratkan adanya Undangan/Pengumuman Lelang/Dokumen Lelang.
- Performance Bond/Jaminan Pelaksanaan disyaratkan adanya Agreement/ Kesepakatan setara perikatan kontrak, dan lainnya.
Secara ringkas bahwa pemberian Bank Garansi sebagai proses hukum terjadinya suatu pengalihan kewajiban seperti yang dipersyaratkan dalam sebuah perjanjian atau kontrak sebelumnya.
Kajian dari sisi KUH Perdata mengkategorikan Bank Garansi dalam klausul penanggungan yang ada pada pasal 1820 sampai dengan pasal 1850. Pasal 1820 menyebutkan Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Kemudian Pasal 1821 menerangkan bahwa tiada penanggungan bila tiada perikatan pokok yang sah menurut undang-undang.
Pasal 1820 muncul kalimat “bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya” ini kemudian dikenal dengan definisi wanprestasi.
Yang harus dijelaskan terkait perikatan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah tentang para pihak yang terlibat. Pihak kreditur adalah PPK kemudian debitur adalah penyedia dan pihak penjamin adalah bank.
Inilah dasar Mariam Darus Badrulzaman dalam buku Kompilasi Hukum Perikatan, menyatakan bahwa ingkar janji (wanprestasi) wujud dari tidak memenuhi perikatan terdiri dari 3(tiga) macam yaitu :
a. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan
b. Debitur terlambat memenuhi perikatan
c. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Dapat disimpulkan unsur kelalaian adalah tidak memenuhi, terlambat memenuhi dan/atau keliru atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Kemudian pasal 1243 KUH Perdata menjelaskan bahwa “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila siberutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”.
Kewajiban ganti rugi bagi debitur/penyedia menurut KUH Perdata harus ada unsur kelalaian yang dinyatakan oleh kreditur/PPK. Sehingga surat pernyataan wanprestasi dari PPK adalah ketentuan hukum yang tertuang dalam kontrak/garansi bank. Seperti dijelaskan lengkap Pasal 1238 KUH Perdata bahwa “Siberutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika menetapkan, bahwa siberutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Pasal 1 ayat 3 SK Direksi BI tentang Pemberian Bank Garansi diatur juga tentang bentuk-bentuk garansi bank yang dapat dikeluarkan oleh bank, sebagai berikut:
- Bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank;
- Bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat berharga;
- garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat.
Seluruh bentuk garansi bank dimaksud di atas, mewajibkan pihak bank (penjamin) untuk membayar kepada kreditur jika pihak yang dijaminkan (debitur) wanprestasi. Dengan demikian, maka bank garansi yang digunakan untuk menggaransikan pekerjaan termasuk ke dalam bentuk sebagaimana diuraikan pada no. 3 di atas, yaitu garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat.
Disisi likuiditas Garansi Bank telah dijamin oleh Pasal 1267 KUH Perdata. Apabila terjadi wanprestasi kreditor dapat menuntut :
- Pemenuhan perikatan.
- Ganti kerugian seperti yang tertuang dalam Pasal 1243-1252 KUH Perdata diantaranya berupa biaya, kerugian dan bunga.
Untuk itulah beralasan kiranya Perdirjen 37/PB/2012 dan PMK 25/PMK.05/2012 menggunakan Garansi Bank sebagai Jaminan Pembayaran dalam langkah-langkah mengatasi permasalahan pelaksanaan diakhir tahun. Selain jaminan pasal ganti kerugian dari KUH Perdata, dua instrumen peraturan ini juga menyebutkan persyaratan jaminan pembayaran bersifat transferable kepada kuasa penerima pembayaran. Ini memangkas resiko kendala pencairan. So, Garansi Bank sangat akuntabel disisi administratif dan liquid dan secure dalam pencapaian kinerja.
http://samsulramli.wordpress.com/2013/01/23/garansi-bank-sebagai-jaminan-pembayaran/#comment-1305
+ komentar + 1 komentar
ada yang bisa terbitkan jaminan pembayaran tanpa agunan ga? dan bisa di swift,nilai 500m
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini