Penulis: Rahfan Mokoginta (Praktisi &Trainer PBJ [Certified LKPP]; PNS Dinkes Kota Kotamobagu)
Mendekati batas akhir tahun anggaran, banyak hal yang menjadi
pertanyaan antara lain: apakah dalam sisa waktu yang ada Penyedia mampu
menyelesaikan pekerjaannya?; bagaimana jika sampai dengan batas akhir
tahun anggaran ternyata pekerjaan tidak selesai?; dan apa yang harus
dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa
maupun pengelolaan keuangan dalam menghadapi pekerjaan yang belum
selesai menjelang akhir tahun anggaran?
Penyelesaian suatu pekerjaan sangat tergantung dari beberapa hal,
antara lain: lamanya jangka waktu pelaksanaan, kemampuan Penyedia dalam
melaksanakan pekerjaan (modal, peralatan dan tenaga ahli), Pengendalian
pelaksanaan kontrak, dan jenis kontrak yang digunakan.
Lamanya jangka waktu pelaksanaan harus disesuaikan dengan
kompleksitas suatu pekerjaan. Penyedia dengan modal, peralatan, dan
tenaga ahli yang memadai harus mampu menyelesaikan pekerjaan dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak. Disamping itu, PPK
wajib melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan kontrak. Tak kalah
pentingnya juga adalah jenis kontrak yang digunakan. Untuk kontrak tahun
tunggal, jangka waktu pelaksanaan pekerjaannya harus memperhatikan
batas akhir tahun anggaran.
Dalam kontrak pengadaan barang/jasa, terdapat 2 (dua) alternative
yang dilakukan untuk mengakhiri kontrak, yaitu penghentian kontrak atau
pemutusan kontrak. Pemilihan salah satu dari dua alternative tersebut
harus didasarkan pada situasi dan kondisi terkahir suatu pekerjaan.
Penghentian Kontrak adalah dikhirinya kewajiban kontraktual penyedia
untuk melaksanakan pekerjaan pengadaan barang/jasa oleh PPK, karena
pekerjaan sudah selesai atau terjadi keadaan kahar. Dalam hal Kontrak
dihentikan, maka PPK wajib membayar kepada Penyedia sesuai dengan
prestasi pekerjaan yang telah dicapai. Penghentian kontrak karena
keadaan kahar, selain pembayaran terhadap prestasi pekerjaan juga
pembayaran terhadap bahan yang sudah ada di lapangan (material on site) yang masih dapat dimanfaatkan.
Pemutusan Kontrak adalah dikhirinya kewajiban kontraktual oleh salah
satu (secara sepihak) atau para pihak yang terikat dalam kontrak karena
para pihak cidera janji dan/atau tidak memenuhi kewajiban dan
tanggungjawabnya sebagaimana diatur didalam kontrak.
Dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 beserta semua perubahannya tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ditekankan bahwa PPK dapat memutuskan
Kontrak secara sepihak, apabila: 1). kebutuhan barang/jasa tidak dapat
ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak; 2). berdasarkan penelitian
PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan
pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 hari kalender
sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan
pekerjaan; 3). setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan
sampai dengan 50 hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan
pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan; 4).
Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya
dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan; 5). Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan
dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh instansi
yang berwenang; dan/atau 7). pengaduan tentang penyimpangan prosedur,
dugaan KKN dan/atau pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.
Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia
Barang/Jasa, maka PPK melakukan tindakan berupa: 1). Pencairan Jaminan
Pelaksanaan; 2). sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa
atau Jaminan Uang Muka dicairkan (jika ada pencairan uang muka); 3).
Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan 4). Penyedia
Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam (black list).
Khusus untuk pekerjaan konstruksi, Permen PU Nomor 7 Tahun 2011
tentang Standar Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa
Konsultansi mengatur tentang criteria dan tindak lanjut keterlambatan
pekerjaan. Apabila penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai
jadual, maka PPK harus memberikan peringatan secara tertulis atau
dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis.
Kontrak dinyatakan kritis apabila: 1). Dalam periode I (rencana fisik
pelaksanaan 0% – 70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan
terlambat > 10% dari rencana; 2). Dalam periode II (rencana fisik
pelaksanaan 70% – 100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan
terlambat > 5% dari rencana; atau 3). Rencana fisik pelaksanaan 70% –
100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat < 5% dari
rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan.
Pada saat kontrak dinyatakan kritis maka PPK segera menerbitkan surat peringatan yang dilanjutkan dengan rapat pembuktian (show cause meeting/SCM). Dalam SCM dibahas dan disepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (Test case/uji coba pertama) yang dituangkan dalam berita acara SCM Tahap I. SCM dan test case dilakukan maksimal tiga kali. Dalam setiap uji coba yang gagal, PPK menerbitkan surat peringatan.
Jika keterlambatan < 5% dari rencana fisik pelaksanaan 70% – 100%
namun akan melampaui tahun anggaran, maka PPK dapat langsung melakukan
pemutusan kontrak secara sepihak sebelum tahun anggaran berakhir.
Pemutusan kontrak ini dilakukan setelah PPK melakukan rapat bersama
dengan atasannya.
Factor penyebab keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang umumnya
terjadi antara lain: 1). Keterlambatan PA/KPA menyusun dan mentapkan RUP
(Rencana Umum Pengadaan); 2). Keterlambatan PPK menyusun dan mentapkan
rencana pelaksanaan (Spesifikasi teknis, Harga Perkiraan Sendiri, dan
rancangan kontrak); 3). Keterlambatan Pokja ULP/Panitia/Pejabat
Pengadaan melakukan proses pemilihan penyedia barang/jasa; 3). Kurangnya
tindakan pengendalian kontrak oleh PPK; 4). Kelalaian Penyedia; 5).
Tindakan PA/KPA dalam menganggarkan kegiatan dalam Perubahan APBD/APBN
tanpa memperhitungkan kompleksitas suatu pekerjaan; dan 6). Terjadi
keadaan kahar berupa bencana alam, bencana non alam, dan bencana social,
sehingga kewajiban yang ditentukan dalam Kontrak menjadi tidak dapat
dipenuhi.
Memasuki awal tahun 2013 PA/KPA perlu melakukan evaluasi dan
identifikasi permasalahan terkait keterlambatan atau tidak selesainya
suatu pekerjaan. Sangat disayangkan jika suatu pekerjaan mengalami
pemutusan kontrak. Selain Penyedia dikenakan sanksi, output pekerjaan juga tidak tercapai. Tidak jarang dampak akhirnya adalah masyarakat belum bisa memanfaatkan fasilitas yang dibangun.
Untuk kegiatan dengan sumber dana APBN sudah ada Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 25/PMK.5/2012 tentang Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun
Anggaran Berkenaan Yang Dibebankan Pada DIPA Tahun Anggaran Berikutnya.
Namun untuk kegiatan dengan sumber Dana APBD, belum ada regulasi khusus
yang mengatur tentang tata cara pelaksanan sisa pekerjaan yang
dibebankan pada DPA tahun anggaran berikutnya, kecuali dalam keadaan
kahar.
Pemerintah Daerah sebenarnya dapat mengadopsi Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 25/PMK.5/2012 melalui Peraturan Kepala Daerah. Ada salah
satu Kabupaten di Indonesia yang mulai tahun ini mengadopsi Permenkeu
tersebut dengan menerbitkan Peraturan Bupati tentang Pelaksanaan Sisa
Pekerjaan Tahun Anggaran Berkenaan Yang Dibebankan Pada DPA-SKPD Tahun
Anggaran Berikutnya. Peraturan Kepala Daerah dapat dijadikan solusi
untuk mengatasi pekerjaan menjelang akhir tahun anggaran.
Di penghujung akhir tahun anggaran, butuh nyali yang besar bagi
seorang PPK untuk melakukan pemutusan kontrak. Dalam kondisi tertentu,
pemutusan kontrak bukanlah sekadar suatu pilihan tetapi menjadi suatu
keharusan.
Tulisan ini telah dimuat di Harian Radar Totabuan (JPNN), edisi Rabu 12 Desember 2012
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini