PEMERINTAHAN DAERAH DILIHAT DARI BEBERAPA ASPEK: KEUANGAN, BIROKRASI, ETIKA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
Oleh; Wazni
Abstrak
Salah satu unsur reformasi adalah tuntutan pemberian otonomi yang
luas kepada daerah kabupaten dan kota. Ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan pemerintah daerah dalam mengembangkan otonomi tersebut. Pertama, pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas
dan efektivitas pemerintah daerah. Kedua, pemerintah daerah perlu
mengembangkan birokrasi yang sehat dan memiliki wawasan dan jiwa
wirausaha. Ketiga, prinsip kepatutan dalam pemerintahan yang tidak
terlepas dari kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara
pemerintah dengan rakyat, antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan
pihak ketiga. Keempat, partisipasi masyarakat dalam pembangunan sehingga pemerintah daerah mendapat petunjuk mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Keywords: Pemerintahan daerah, keuangan dan anggaran daerah, birokrasi, etika dan partisipasi masyarakat.
A. Tuntutan Otonomi Daerah
Krisis ekonomi dan kepercayaan telah membuka jalan untuk melakukan
reformasi total di seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Tema
sentralnya adalah mewujudkan masyarakat madani, terciptanya good governance,
dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan. Di samping itu,
reformasi ini telah juga memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas
sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses
pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk
pembaruan paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Salah satu unsur reformasi adalah tuntutan pemberian otonomi yang
luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan ini dinilai wajar,
paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah
pusat yang terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah
rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong
proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Arahan dan statutory requirement
yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif
dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah
seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, bukan sebagai
alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Besarnya arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada dua alasan
utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional, dan karena kondisi
sumber daya daerah yang dirasa masih relatif lemah. Karena dua alasan
ini, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan
persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada awalnya pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan
80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan
stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi
seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas,
memperlambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat
pengembalian proyek-proyek publik serta memperlambat pengembangan
kelembagaan sosial ekonomi di daerah.
Kedua, tuntutan pemberian otonomi ini juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini, globalization cascade
sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada
banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan
ide serta transaksi keuangan. Di masa depan, pemerintah sudah terlalu
besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu
kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh
masyarakat.
Untuk menghadapi krisis ekonomi dan kepercayaan serta era new game yang penuh dengan new rules tersebut, dibutuhkan new strategy.
Strategi itu adalah penyelenggaraan otonomi daerah. Misi utamanya
adalah desentralisasi. Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan
akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong
peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam
pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan
(keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi
yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki
alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan
keputusan atau kebijakan publik ke tingkat pemerintah yang lebih paling
rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. (Mardiasmo, 2004:
3-6)
Pengembangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah. Otonomi dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas,
nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara
proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh
pengaturan pembagian dan pemanfaatan dan sumber daya nasional yang
berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan dan perkembangan otonomi daerah pada era globalisasi adalah:
- Adanya transformasi kehidupan, seperti dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.
- Ekonomi nasional menjadi ekonomi dunia. Dinamika ekonomi nasional sangat erat terkait dengan gerak ekonomi negara lain.
- Lembaga bantuan menjadi lembaga penolong dirinya sendiri
- Demokrasi perwakilan menjadi demokrasi partisipasi.
- Susunan hirarki organisasi menjadi jaringan kerja
Kecenderungan tersebut telah menggejala pada masyarakat
Indonesia, seperti pengaruh negatif dari masyarakat informatif yaitu
meluasnya sikap konsumerisme dan tersingkirnya nilai budaya lokal.
Menurunnya nilai rupiah terhadap nilai uang negara lain (khususnya dolar
AS) yang menyebabkan kegiatan ekonomi masyarakat menjadi terpengaruh.
Selain itu, kelembagaan-kelembagaan pun terpengaruh.
Kelembagaan pemerintahan dan kelembagaan kepentingan masyarakat yang
lain tidak lagi sepenuhnya dapat melayani kebutuhan masyarakat, tetapi
menjadi lembaga yang menyebabkan individunya menolong diri sendiri.
Lembaga hanya berfungsi sebagai fasilitator. Individunya yang lebih
aktif. Tuntutan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan publik semakin
kuat sehingga apabila tidak diikutsertakan sering menimbulkan konflik.
Keterkaitan individu selain sebagai warga negara yang
melekat hak asasi manusia kepadanya, terkait juga dengan masyarakat di
negara-negara lain akan melahirkan masyarakat internasional. Akibatnya
terjadi individualisasi, internasionalisasi, sosialisasi dan humanisasi.
Timbul budaya global dan kesadaran global sehingga terjadi hubungan
sistematik, kontraksi, sifat reflektif (tumbuh kesadaran dan
kemanusiaan) terhadap sekat pembatas ruang dan waktu, sehingga timbul
serba muka antara resiko dan kenyataan. ( Dharma Setyawan Salam, 2004:
207-208)
Sebagai manajer pemerintahan, pemerintahan daerah
kabupaten dan kota mempunyai peranan yang besar dalam mentransformasikan
perubahan yang menggambarkan perpaduan antara kenyataan yang ada dalam
masyarakat dengan kebijaksanaan politik yang dikeluarkan pemerintah.
Manajemen pemerintahan daerah dapat digerakkan dengan menempatkan budaya paternalistik pemimpin dengan memiliki:
- Wawasan global (global mind set)
- Peka terhadap perubahan yang cepat dan sistematik
- Kemampuan manajemen konflik
- Lebih menghargai proses organisasi daripada struktur hirarki formal
- Toleransi terhadap multikultural dan keragaman, luwes dan peka, tetapi memiliki identitas pribadi yang kuat
- Kemampuan memanfaatkan perubahan sosial budaya
- Terus menerus mempertajam keabsahan paradigma dalam berbagai kondisi sosial budaya (sui generis)
- Kemampuan menyusun skala prioritas secara terpadu yang berbentuk jaringan (Dharma Setyawan Salam, 2004: 212-213)
B. Pengelolaan Keuangan dan Anggaran Daerah
Salah satu aspek pemerintahan daerah yang harus diatur secara
hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah. Anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam
bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran
daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrumen
kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Menduduki posisi sentral
dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah.
Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan
dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan
pembangunan, otoritasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber
pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk
memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktifitas dari
berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan
anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan
aktifitas atau program yang menjadi prioritas dan prefernsi daerah yang
bersangkutan.
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif
perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah adalah sebagai berikut:
- Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah.
- Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
- Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya.
- Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
- Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS-daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
- Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.
- Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
- Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
- Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
10. Pengembangan sistem informasi keuangan untuk menyediakan
informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah
daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan
dan pengendalian serta mempermudah mendapat informasi (Mardiasmo, 2004:
9-10)
Adapun dimensi keuangan daerah yang perlu diperhatikan adalah:
1) Kewenangan daerah dalam pemanfaatan dana perimbangan keuangan
2) Prinsip pengelolaan anggaran
3) Prinsip penggunaan pinjaman dan deficit spending.
4) Strategi pembiayaan (Mardiasmo, 2004: 26)
Dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,
pemerintah daerah diberi keleluasaan (diskresi) untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya sesuai dengan
aspirasi masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan
sumber-sumber penerimaan daerah tersebut agar tidak mengalami defisit
fiskal.
Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi:
1) Akuntabilitas
Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan
berprilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan
kebijakan bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus
dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal
secara baik.
2) Value for Money
Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for money
tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money,
maka diperlukan Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dan Anggaran Daerah
yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah
memiliki sistem akuntasi yang baik.
3) Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik (Probity)
Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada
staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga
kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan
4) Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat
kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi
oleh DPRD dan masyarakat setempat. Transparansi pengelolaan keuangan
daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability
antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta
pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan
responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
5) Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus sering
dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang
dicapai. Untuk itu diperlukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan (Mardiasmo, 2004: 29-30).
C. Birokrasi
Era new game juga mengharuskan pemerintah daerah untuk
mempersiapkan diri secara institusional. Salah satunya adalah dengan
mengembangkan lembaganya sebagai lembaga yang memiliki birokrasi yang
sehat dan memiliki wawasan dan jiwa wirausaha. Kesan umum terhadap
kinerja birokrasi oleh masyarakat senantiasa dikaitkan dengan segala
sesuatu yang serba lambarn, lamban dan berbelit-belit serta formalitas.
Dalam penyelesaian urusan kinerja birokrasi selalu mendapatkan hambatan
yang memakan waktu, sehingga selalu tertunda penyelesaiannya.
Sebenarnya, dengan birokrasi tugas-tugas yang diberikan adalah lebih
teratur dan lebih tertib sehingga tidak diharapkan akan terjadi hambatan
atau penundaan.
Arus otonomi semakin membuka pandangan baru bagi kinerja birokrasi,
dalam rangka mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikan
kesan awal mulai berubah dengan kinerja setelah memahami birokrasi yang
dirasakan mempunyai fungsi yang positif. Perubahan kinerja ini menjadi
suatu kenyataan yang bersifat imperatif.
Masyarakat yang dinamis telah berkembang dalam berbagai kegiatan yang
semakin membutuhkan tenaga-tenaga yang profesional. Seiring dengan
dinamika masyarakatdan perkembangannya, kebutuhan akan pelayanan semakin
komplek serata pelayanan yang semakin baik, cepat dan tepat, termasuk
kinerja birokrasi yang semakin baik pula dalam pelaksanaan otonomi
daerah.
Birokrasi yang berada di tengah-tengah masyarakat dinamis tersebut
tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu memberikan berbagai
kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini perlu
mendapat perhatian birokrasi dalam mengantisipasi akan kebutuhan
pelayanan tersebut:
- Sifat pendekatan tugas, lebih mengarah kepada pengayoman dan pelayanan masyarakat, bukan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
- Penyempurnaan organisasi, efisien, efektif dan profesional.
- Sistem dan prosedur kerja cepat, tepat dan akurat.
Birokrasi modern tidak lagi berfikir bagaimana membelanjakan dana
yang tersedia dalam anggaran, tetapi bagaimana membelanjakan anggaran
yang terbatas seefisien mungkin, dan memanfaatkan apa yang diperoleh
dari hasilnya.
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dihadapkan pada tantangan
untuk meningkatkan efesiensi dan profesionalisme birokrasi. Hal ini
sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan
lingkungan yang akan terjadi. Pemerintah daerah perlu memperbaiki
mekanisme rekruitmen pegawai negeri, memperbaiki reward and punishment system, meningkatkan gaji dan kesejehteraan pegawai serta mengubah kultur organisasi (Mardiasmo, 2004: 16).
Iklim yang kompetitif memaksa suatu masyarakat atau bangsa untuk
mengembangkan kemampuannya untuk bisa ikut serta dalam persaingan yang
ketat. Upaya pengembangan diri ini di satu sisi ditentukan oleh kemauan
politik melalui pengambilan kebijaksanaan secara tepat. Di sisi lain,
pelaksanaannya dipengaruhi oleh kehidupan sosial budaya masyarakat yang
bersangkutan.
Dengan demikian, meskipun pemerintahan nasional masih
memegang peranan kekuasaaan manajerial pemerintahan negara yang besar,
namun keefektifan dan keefisienan manajemen pemerintahan secara nasional
sangat dipengaruhi oleh kemampuan manajemen pemerintahan tingkat
bawahnya yaitu propinsi, terutama kabupaten dan kota. Hal ini
dikarenakan pemerintahan kabupaten dan kota yang secara langsung
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsanya sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam ikatan sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Politik pembangunan nasional yang berorientasi kepada
pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru belum sepenuhnya menguntungkan
rakyat Indonesia. Politik pembangunan orde baru telah menciptakan pola
hubungan negara-masyarakat (Zero Sum). Kekuatan negara yang
sangat besar berhadapan dengan kekuatan masyarakat sipil yang sangat
lemah. Pola tersebut telah menimbulkan dampak negatif yang sangat
menghambat perkembangan demokrasi. Terjadinya hal tersebut dikarenakan
birokrasi yang sangat represif, otoritarian, sentralistik, korup dan
manipulatif.
Pada hakikatnya dasar pemikiran otonomi daerah adalah
pelimpahan wewenang dari manajemen pemerintahan tingkat atas kepada
manajemen pemerintahan tingkat bawah. Tujuannya adalah untuk mencapai
penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien. Hal ini
merupakan hasil dari pelaksanaan otonomi daerah selama 25 tahun
melalui Undang-Undang no 5 tahun 1974 yang menunjukkan bahwa upaya
penyelenggaraan manajemen pemerintahan belum dapat mencapai hasil yang
efektif dan efisien dalam kerangka UUD 1945. ( Dharma Setyawan Salam,
2004: 205-206)
Undang-undang No 32 tahun 2004 mengisyaratkan adanya prinsip
pemberian otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan
negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
manajemen pemerintahan daerah dan pelayanan masyarakat sebagai daerah
otonom. Daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan
kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan,
partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban masyarakat.
Hal ini berarti undang-undang tersebut menunjuk kepada manajemen
pemerintahan yang bertumpu pada nilai demokrasi, pemberdayaan, dan
pelayanan. Bentuknya adalah keleluasaan dalam mengambil keputusan yang
terbaik dalam batas-batas kewenangannya agar seluruh kompetensi yang
dimiliki selalu berkembang dalam mendukung kualitas pelayanan publik
yang diberikan kepada masyarakat.
Pemerintah daerah diharapkan lebih siap dalam menyongsong setiap
perubahan yang akan terjadi. Nilai demokrasi memberi ruang yang lebih
luas kepada masyarakat (warga negara) dalam menentukan pilihan dan
mengeksperesikan diri secara rasional. Dominasi kekuatan negara dalam
menentukan pilihan publik sudah semakin berkurang. Aparatur pemerintah
tidak harus selalu melaksanakan sendiri pekerjaannya, tetapi justru
lebih banyak bersifat mengarahkan atau memilih kombinasi yang paling
optimal antara melaksanakan atau mengarahkan. Hal yang sudah bisa
dilaksanakan oleh masyarakat hendaknya tetap diserahkan kepada
masyarakat, pemerintah cukup melakukan upaya pemberdayaan atau
meningkatkan kemampuannya.
Gaya menajemen pemerintahan wirausaha dapat diterapkan untuk mencapai pemerintahan daerah yang efektif dengan bercirikan:
- Pemerintahan daerah lebih memutuskan perhatian kepada upaya pengaturan dan pengendalian daripada sebagai pelaksanaan langsung pekerja publik
- Pemerintah daerah mendorong kompetensi antar pemberi jasa .
- Adanya pengawasan dari masyarakat atas birokrasi
- Mengukur kinerja dengan memusatkan kepada hasil, bukan masukan
- Manajemen digerakkan oleh tujuan (misi) bukan oleh ketentuan dan peraturan.
- Meninjau kembali status masyarakat sebagai obyek pembangunan dengan menawarkan kepada mereka banyak pilihan baik secara kuantitas maupun kualitas
- Berusaha mencegah masalah sebelum muncul
- Berusaha untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakannya
- Melaksanakan manajemen partisipatif dalam birokrasi
10. Lebih menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 213-216)
Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah
ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan
Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government” yang sangat monumental.
Keberhasilan manajemen pemerintahan daerah dalam
menyongsong otonomi daerah sangat tergantung kepada kemampuannya untuk
memanfaatkan kebijakan otonomi daerah sebagai daya penambah kekuatan
untuk mengatur dan menggerakkan segenap sumber daya organisasi yang ada,
baik stuktur organisasi maupun arah dan gaya kebijakan.
Transformasi sosial-budaya dapat menciptakan iklim
manajemen pemerintahan daerah yang efektif dan luwes dan proaktif
terhadap dinamika perubahan dalam masyarakat (lokal, nasional, regional
dan internasional) bekerjasama dengan pemerintah nasional dan pemerintah
propinsi, termasuk pemerintah daerah kabupaten dan kota di dalamnya,
serta organisasi lain yang berhubungan dengan pembangunan daerah baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Pelayanan umum (publik) perlu alokasi yang lebih adil
selaras dengan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Hal ini menunjuk
kepada perlunya manajemen pemerintah daerah kabupaten yang lebih
efektif mengandung misi pelayanan yang prima dan aspiratif yang menjamin
kebebasan, keterbukaan dan pendelegasian wewenang yang proporsional.
Aparatur pemerintah yang memiliki insight, imajinasi dan
inovasi tinggi sangat diperlukan agar pemerintah daerah mampu berbuat
yang semula dianggap tidak mungkin menjadi mungkin.
D. Etika Politik dan Pemerintahan
Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau
kegiatan yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Karena itu
perbuatan pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moral
serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat, antara
lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini
biasanya disebut prinsip kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan
moral sebagai dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini
menjadi landasan etis bagi pejabat dan lembaga pemerintahan dalam
melaksanakan tugas kepemerintahan.
Etika pemerintahan tersebut selalu berkaitan dengan
nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara
dalam selaku manusia sosial. Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan
dalam etika kepemerintahan adalah:
1) Penghormatan terhadap hidup manusia dan hak asasi manusia lainnya.
2) Kejujuran (honesty) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya.
3) Keadilan (justice) dan kepantasan, merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4) Fortitude, yaitu kekuatan moral, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan dan nasib.
5) Temperance, yaitu kesederhanaan dan pengendalian diri
6) Nilai-nilai adama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar
umat manusia harus bertindak secara profesional dan bekerja keras.
Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut pencapaian tujuan negara
(dimensi politis), maka dalam perkembangannya etika pemerintahan
tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik subjeknya adalah
negara, sedangkan etika pemerintahan subjeknya adalah pejabat dan para
pegawai.
Etika politik berhubungan dengan dimensi politik kehidupan manusia,
yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti tatanan
politik, legitimasi dan kehidupan berpolitik. Bentuk nilai keutamaannya
seperti demokrasi, martabat manusia, kesejahteraan warga negara, dan
kebebasan berpendapat.
Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai
keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun
normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan
demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara.
Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan-keutamaan yang harus
dilaksanakan oleh para pejabat dan pegawai pemerintahan. Karena itu
dalam etika pemerintahan membahas perilaku penyelenggara pemerintahan,
terutama penggunaan kekuasaan, wewenang termasuk legitimasi kekuasaan
dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik atau buruk. Wujud etika
pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam
undang-undang dasar baik yang dikatakan oleh dasar negara maupun
dasar-dasar perjuangan negara, serta etika pegawai pemerintahan.
Wujudnya di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasr 1945 sekaligus
Pancasila sebagai dasar negara, serta doktrin dan etika Pegawai Negeri
Sipil.
Doktrin Pegawai Negeri Sipil dinamakan “Bhinneka Karya Abdi Negara”
yaitu walaupun anggota-anggota KORPRI melaksanakan tugas di berbagai
bidang dan jenis karya yang beraneka ragam, tetapi adalah dalam rangka
pelaksanaan pengabdian kepada bangsa, negara dan masyarakat Indonesia.
Etika Pegawai Negeri Sipil disebut dengan “Panca Prasetya KORPRI”, yaitu
anggota KORPRI beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah insan yang:
1) Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2) Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan KORPRI
5) Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta
meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. (Dharma Setyawan Salam,
2004: 64-65)
Widjaja (Dharma Setyawan Salam, 2004: 67) mengatakan bahwa etika
berupa ajaran untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan pemerintahan yang
stabil dan berwibawa menghendaki kondisi yang baik dari
pelaksana-pelaksananya. Dalam rangka menegakkan suatu pemerintahan yang
baik, bersih dan berwibawa, maka etika pemerintahan juga harus
memperhatikan perkembangan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara sebagai hubungan yang sinergis antara negara, swasta dan
masyarakat.
Sejarah pemerintahan di Indonesia membuktikan bahwa etika pegawai
negeri yang tercantum dalam Panca Prasetya KORPRI maupun yang diatur
secara tersirat dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu
menjadi pedoman perilaku bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil di
Indonesia. Misalnya, praktik-praktik penyalahgunaan wewenang serta
korupsi, kolusi dan nepotisme tetap marak dalam setiap babakan sejarah
pemerintahan di Indonesia.
Karena itu etika pemerintahan harus diimplementasikan secara tegas
dalam bentuk peraturan perundang-undangan (baik undang-undang maupun
peraturan daerah). Pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini
didasarkan pada hakikat pemerintahan berdasarkan pandangan etika
pemerintahan adalah penerapan suatu kewenangan yang berdaulat secara
berkelanjutan berupa penataan, pengaturan, penertiban, pengamanan dan
perlindungan terhadap sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu
baik secara arbiter maupun berdasar pada peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini
merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan etika kepemerintahan,
yaitu:
1) Menciptakan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.
2) Menempatkan segala perkara pada tempatnya sesuai dengan
kodrat, harkat, martabat manusia serta sesuai dengan fungsi, peran dan
misi pemerintahan.
3) Terciptanya masyarakat demokratis.
4) Terciptanya ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kepedulian.
Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pada dasarnya merupakan upaya
menjalankan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian,
dalam menjalankan pemerintahan itu, penguasa (termasuk aparatur
pemerintahan daerah) harus bersikap adil, jujur, menjunjung tinggi hukum
dan memanusiakan manusia. Karena itu dalam etika pemerintahan,
memerintah berarti menerapkan kekuasaa secara adil (baik secara hukum
alam maupun hukum positif) dan memanusiakan manusia sesuai dengan harkat
dan martabatnya.
Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan kekuasan
fisik tetapi berdasr asas kesamaan/kesetaraan, kebebasan,
kepedulian/solidaritas, dan menjunjung tinggi hukum. Dengan penerapan
asas ini maka diharapkan penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan
dapat dihindari.
Sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan (pemerintahan daerah) juga
memerlukan kekuasaan dalam bentuk wewenang dan otoritas. Dengan
kekuasaan ini, pemerintah (pemerintah daerah) memiliki hak untuk
menuntut ketaatan dan memberi perintah kepada orang-orang yang diatur
atau diperintahnya. Namun demikian, kekuasaan, wewenang, otoritas serta
hak-hak yang melekat itu harus memiliki legitimasi (keabsahan)
berdasarkan norma tertentu. Di samping itu, sudah menjadi kewajiban
moral bagi aparatur pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan segala
sikap dan perilakunya.
Syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh aparatur
pemerintahan daerah dalam setiap perbuatan hukumnya agar dapat diterima
oleh masyarakat adalah sebagai berikut:
1) Efektifitas. Kegiatan harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan.
2) Legitimasi. Kegiatan pemerintah daerah harus dapat diterima masyarakat dan lingkungannya.
3) Perbuatan para aparatur pemerintahan tidak boleh melanggar hukum.
4) Legalitas. Semua perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum yang jelas.
5) Moralitas. Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi.
6) Efisiensi. Kehematan biaya dan produiktivitas wajib diusahan setinggi-tingginya.
7) Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai
untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang
sebaik-baiknya. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 88-89)
E. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Orientasi pembangunan pada pemerintahan sentralistik dan
desentralistik berbeda dalam konteks untuk apa suatu pembangunan atau
kebijakan dirumuskan. Pada pemerintahan sentralistik pembangunan
seringkali justru digunakan untuk kepentingan pemerintah itu sendiri dan
sedikit yang diberikan kemanfaatannya kepada masyarakat. Pada
pemerintahan desentralistik pembangunan atau kebijakan idealnya
dirumuskan justru untuk memenuhi kebutuhan apa yang diinginkan oleh
masyarakat. Kelemahan pada pemerintahan desentralistik, seringkali
kebijakan berjalan lambat karena harus memenuhi aspirasi dari berbagai
kompenen dan lapisan masyarakat, sedangkan pada pemerintahan
sentralisitik, suatu kebijakan bisa dijalankan dengan cepat. Namun
demikian, secara ideal hasil yang diharapkan dari dua pola perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di atas, pada pemerintahan yang menganut
desentralisasi lebih memenuhi aspirasi publik secara demokratis
dibandingkan pendekatan pertama.
Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan
efisien, dibutuhkan kredibilitas sumber daya manusia masyarakat itu
sendiri, dan kualitas aparatur pemerintahan. Di sini dibutuhkan adanya
kebijakan-kebijakan dari pemerintah daerah yang mampu merespon persoalan
masyarakat setempat. Pembangunan daerah merupakan tugas yang
terbebankan kepada seluruh masyarakat di daerah. Pembangunan daerah
tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah kabupaten dan kota saja,
melainkan juga tugas dari masyarakat untuk mengarahkan, menentukan dan
mengontrol proses pelaksanaan pembangunan daerah itu sendiri.
Bowman dan Hampton (dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 51) menyatakan
bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang
sangat luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat
melaksanakan kebijakan dan progam-programnya secara efisien melalui
sistem sentralisasi. Karena itu, urgensi pelimpahan kebutuhan atau
penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks
politis maupun secara administratif, kepada organisasi atau unit di luar
pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan
dinamika sebuah pemerintahan. Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan
pemerintahan, desentralisasi pada akhirnya menjadi pilihan akibat
ketidakmungkinan sebuah negara yang wilayahnya luas dan penduduknya
banyak untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistis.
Desentralisasi dalam hal ini juga diminati karena di dalamnya
terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat
dalam menjalankan sebuah pembangunan. Pada perkembangannya lebih jauh,
desentralisasi lalu menjadi semangat utama bagi negara-negara yang
menyepakati demokrasi sebagai landasan gerak utamanya. Kesamaan
orientasi desentralisasi dan demokratisasi inilah yang membuat sebuah
pemerintahan di masa kini tidak bisa lagi memerintah secara
sentralistiks. Terdapat kesadaran baru di kalangan para penyelenggara
pemerintahan bahwa masyarakat merupakan pilar utama yang harus
dilibatkan dalam berbagai proyek pembangunan.
Isu demokrasi yang semakin menguat terutama di negara-negara
berkembang, yang oleh Hungtington diistilahkan sebagai kekuatan
gelombang ketiga (third wave) merupakan angin segar bagi
semangat mengembangkan desentralisasi secara teoritik. Demokrasi yang
mempersyaratkan tumbuhnya masyarakat sipil ditopang dengan sistem
pemerintahan desentralistik yang juga mempersyaratkan partisipasi
masyrakat secara penuh. Masyarakat sipil dan partisipasinya dalam
pembangunan suatu negara merupakan bagian tak terpisahkan.
Abdul Wahab (Ainur Rohman dkk, 2009: 52) menyatakan bahwa wacana
desentralisasi dalam kepustakaan politik dan pemerintahan lokal
sebenarnya berangkat dari tradisi pemikiran politik yang poliarkis.
Pemikiran politik poliarkis adalah sebuah pemikiran yang memberikan
apresiasi tinggi terhadap adanya ruang kebebasan bagi masyarakat.
Pemikiran ini juga membiasakan diri dengan pemikiran-pemikiran
alternatif untuk memecahkan kebutuhan dari suatu masalah, terutama
ditujukan untuk hadirnya unit-unit politik independen di luar cakupan
negara. Isu demokratisasi di negara-negara berkembang atau negara dunia
ketiga pada era 1980an turut memberikan andil bagi semakin majunya
studi-studi baru tentang desentralisasi. Secara konseptual, perspektif
politik desentralisasi (political decentralization perspective)
seperti pada fokus studi dari Mawhood, Goldberg, Kingsley, Sherwood,
Rondinelli dan banyak pakar lainnya merupakan sumbangan atas
perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsip
dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah (the devolution of power from central to local government).
Di Indonesia, keberadaan UU No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan
Daerah dianggap sebagai sumber sentralisasi kebijakan pembangunan.
Dengan datangnya reformasi pemerintahan dan melahirkan UU No 22 Tahun
1999 dan UU No 25 Tahun 1999, dan direvisi dalam UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah lebih membuka peluang partisipasi publik
direalisasikan dalam rangka merumuskan kebijakan pembangunan. Walaupun
demikian, masih membuka sejumlah pertanyaan, di antaranya sejauh mana
keberadaan undang-undang yang demokratis tersebut melahirkan kebijakan
pembangunan yang demokratis dan benar-benar menghasilkan suatu produk
pembangunan yang diharapkan oleh publik.
Banyak kasus perumusan kebijakan yang belum benar-benar mengadopsi
kaidah demokrasi secara substansial. Demokrasi dan partisipasi publik
yang diterapkan masih sebatas isu formal dan begitu pula dalam
pelaksanaan di lapangan. Di berbagai daerah masih terdapat tarik-menarik
baik antara kepentingan pusat dan daerah, maupun kepentingan pemerintah
dan warga, dari tarik-menarik tersebut, fakta umumnya kepentingan
publik seringkali terabaikan.
Partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan APBD pada
pemerintahan, misalnya, memiliki fungsi penting dalam rangka mengurangi
bahkan mengantisipasi aparatur yang bermaksud melakukan penyelewengan
terhadap penyaluran dan penggunaan APBD sebagaimana yang terjadi selama
ini. Beberapa contoh kasus menunjukkan partisipasi publik masih lemah
dalam rangka ikut serta merumuskan kebijakan pembangunan daerah yang
tercermin dalam proses perumusan APBD-nya.
Penelitian yang dilakukan oleh Solidaritas Gerakan Anti Korupsi
(SoRAK) Aceh, Lakaspia Institute, CAJP serta didukung oleh Partnership
di enam kabupaten/kota di Aceh, yakni Kota Banda Aceh, Kota Lhoksemawe,
Bireun, Aceh Tengah, Aceh Barat dan Aceh Utara, menunjukkan bahwa
Anggran Belanja dan Pendapatan Kabupaten/Kota (APBK) 2007 dinilai sangat
mengecewakan. Partisipasi publik masih sangat rendah. Dari enam
kabupaten/kota yang diteliti diperoleh gambaran bahwa 74 % masyarakat
menyatakan tidak pernah secara aktif ikut serta dalam pembangunan
melalui mekanisme musyawarah kerja pembangunan (musrenbang). Selain itu,
68 % masyarakat tidak tahu persis visi dan misi kepala daerah yang
baru, serta 92 % lainnya tidak pernah membaca dokumen perencanaan
pembangunan pemerintah daerah (Ainur Rohman dkk, 2009: 53).
Demikian pula di beberapa daerah lainnya dapat disimpulkan bahwa
partisipasi publik dalam proses pembangunan daerah belum berjalan secara
maksimal. Di antara berbagai contoh tersebut, yang sering muncul adalah
partisipasi dalam pengertian kualitas dan kuantitas. Adakalanya
partisipasi publik bisa dinilai tinggi dalam konteks kuantitas atau
keterlibatan secara fisik namun belum membuahkan hasil yang maksimal
dalam konteks kualitas. Misalnya, perumusan kebijakan APBD masih sering
sebatas mementingkan “keinginan” daripada “kebutuhan” yang sesungguhnya.
Masyarakat belum mampu mengidentifikasi dan merumuskan kebutuhannya
sendiri secara ideal, sehingga apa yang dinyatakan oleh elit
pemerintahan dianggapnya sebagai suatu kebenaran.
Dalam konteks kesejahteraan, keberhasilan sejumlah pemerintah daerah
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya memang belum maksimal
ditinjau dari pencapaian angka human development index (indeks
pembangunan manusia- IPM) sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.
Saat ini IPM daerah-daerah baru mencapai angka 60 hingga 69. Adapun
angka IPM ideal menurut World Bank adalah 80 (Ainur Rohman dkk, 2009: 54)
Dalam pengamatan sementara ini, dapat disimpulkan proses yang terjadi
dalam partisipasi pembangunan di daerah secara formal sudah
dilaksanakan, namun belum menghasilkan arah kebijakan yang berarti
dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang terdapat dalam
masyarakat. Ironisnya terdapat suatu tradisi umumnya program pembangunan
yang seringkali hanya merupakan pengulangan-pengulangan masa lalu.
Program pembangunan yang direncanakan belum didahului dengan studi dan
analisis yang mendalam tentang mengapa, bagaimana, dengan cara dan untuk
apa suatu kebijakan diterapkan.
Di sisi lain, aspek kepentingan politik segolongan masyarakat dan
pertentangannya dengan lainnya seringkali mengabaikan kepentingan umum
dari tujuan pembangunan itu sendiri. Hal tersebut di lapangan pada
akhirnya mengakibatkan masyarakat menjadi korban tarik-menarik secara
politis dalam proses perencanaan pembangunan itu sendiri. (Ainur Rohman
dkk, 2009: 55)
Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pembangunan, sebab
dalam diri mereka ada keinginan dan kegairahan untuk merubah masa
depannya agar lebih baik. Keinginan serta kegairahan tersebut harus
dapat terwujud, sebab usaha-usaha dari pembangunan itu langsung
menyangkut kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ada
dua faktor yang mempengaruhi terhadap berhasil atau gagalnya partisipasi
masyarakat dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh
Conyers (Ainur Rohman dkk, 2009: 49) yaitu: pertama, hasil
keterlibatan masyarakat itu sendiri, masyarakat tidak akan
berpartisipasi atau kemauan sendiri atau dengan antusias yang tinggi
dalam kegiatan perencanaan kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka
dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada rencana akhir. Kedua,
masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak
menarik minat mereka atau yang tidak mempunyai pengaruh langsung dapat
mereka rasakan.
Dari berbagai pengalaman pembangunan daerah menunjukkan bahwa tanpa
partisipasi masyarakat, maka pemerintahan daerah kekurangan petunjuk
mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Investasi yang
ditanamkan di daerah juga tidak mengungkapkan prioritas kebutuhan
masyarakat. Selain itu sumber-sumber daya masyarakat yang potensial
untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat daerah tidak terungkap, dan
standar-standar dalam merancang pelayanan dan prasarana yang tidak
tepat.
Berbagai kasus yang tersaji menunjukkan bahwa dengan dibukanya
kesempatan berpartisipasi, masyarakat menjadi lebih perhatian terhadap
permasalahan yang dihadapi di lingkungannya dan memiliki kepercayaan
diri bahwa mereka dapat berkontribusi untuk ikut mengatasinya. Proses
dialog stakeholders telah mendorong pemerintahan agar lebih terbuka
terhadap masukan stakeholders lain dan lebih responsif terhadap
tuntutan masyarakat. Berbagai praktik partnership menunjukkan bahwa
kerja sama yang baik hanya dapat berlangsung apabila komunikasi yang
sehat antara pemerintah dan masyarakat terbangun (Sumarto dalam Ainur
Rohman dkk, 2009: 48)
Daftar Pustaka
Ainur Rahman dkk. Politik, Partisipasi dan Demokrasi dalam Pembangunan. Malang, Averroes Press, 2009
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta, Gramedia, 2004
Dharma Setyawan Salam. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta, Djambatan, 2004
HAW. Widjaja. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002
Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, Andi, 2004
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini