Pada tahun 1918, seperti Gajah Mada, mahapati
Majapahit yang terkenal itu, Bung Hatta juga mengucapkan sebuah sumpah:
Ia bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia Merdeka. Hatta, yang
ketika itu baru berusia 16 tahun, berusaha mendedikasikan seluruh
kehidupannya demi bangsanya.
Bung Hatta memenuhi janjinya itu. Pada 18 November 1945, tiga bulan
setelah Republik Indonesia diproklamasikan, Bung Hatta pun pun menikah
dengan Rahmi Rachim. Meskipun saat itu Hatta sudah Wakil Presiden,
tetapi acara pernikahannya berlangsung sangat sederhana. Bahkan, Bung
Hatta hanya memberi sebuah buku berjudul “Alam Pikiran Yunani” sebagai
mas kawin.
Kehidupan para pemimpin Republik pertama memang sederhana. Mimpi dan
cita-cita besar mereka mengalahkan segala-galanya. Itu pula yang
menyebabkan mengapa banyak penulis menyebut para pemimpin Republik
pertama ini sebagai negarawan besar.
Zaman sudah berubah. Kita tidak lagi hidup di era Bung Karno maupun
Bung Hatta. Di jaman sekarang, kita tentu saja sulit menemukan sosok
pemimpin seperti Bung Karno dan Bung Hatta ini. Yang paling banyak kita
temui di jaman sekarang adalah bukan pemimpin, melainkan “pencari
kekayaan yang menggunakan jalur politik”.
Dan lihatlah pernikahan dua anak pejabat negara hari ini: Edhie
Baskoro (anak Presiden SBY) dan Siti Rubi Aliya (anak Hatta Radjasa).
Konon, pernikahan kedua anak pejabat tinggi negara ini menghabiskan
berpuluh-puluh milyar. Sementara kekayaan SBY, seperti tercatat dalam
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara pada 25 Mei 2009, hanya
berjumlah Rp 7,14 miliar ditambah US$ 44.887.
Pesta pernikahan pun digelar bak pernikahan keluarga kerajaan di
masa lampau: serbah mewah. Media pun melaporkan pernikahan ini dari
detik ke detik, seolah-olah pernikahan ini adalah sebuah peristiwa
nasional yang berpengaruh terhadap kehidupan rakyat. Sedangkan banyak
persoalan yang penting, yang menyangkut kehidupan rakyat banyak, justru
tidak terlaporkan.
Lebih parah lagi, SBY dan Hatta pun sibuk dalam hajatan keluarga
itu, dan seolah-olah meninggalkan tugasnya sebagai pejabat negara.
Lebih parah lagi, lembaga negara sepertinya mengalami “libur nasional”
pada saat pernikahan. Sejumlah agenda rapat di gedung parlemen pun
batal karena para legislator lebih memilih hadir dalam pesta tersebut.
Jadinya terkesan seolah-olah pernikahan Ibas-Aliya ini adalah “hajatan
nasional”.
Sebagian sekolah di sekitar Istana Cipanas, Cianjur, Jawa Barat juga
meliburkan siswa-siswanya pada hari berlangsungnya akad nikah
Ibas-Aliyah itu. Aneh sekali, pernikahan dua orang anak pejabat
dibiarkan menganggu proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini tentu
menjadi preseden buruk bagi masa depan.
Inilah sebuah ironi bagi bangsa kita sekarang: jika dulu para
pemimpin bangsa rela mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya
demi kepentingan rakyat dan bangsa yang lebih besar, maka para pemimpin
sekarang justru tega mengorbankan kepentingan rakyat dan bangsa yang
besar demi menonjolkan kemewahan keluarganya.
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini