Kampung Susun Jakarta, Jurus Membangun Tanpa Menggusur
Sekali
lagi, warga Jakarta berharap Gubernur Joko Widodo selekasnya mewujudkan
janjinya menyulap puluhan kampung ‘berkumis’ (berantakan, kumuh, dan
miskin), meminjam istilah Hendarji Supandji, menjadi kampung yang
manusiawi, rapi dan, asri melalui program pembangunan kampung susun.
Konsep yang digagas adalah membangun tanpa menggusur, tapi
memberdayakan.
Idealnya, kampung susun itu dibangun berdasarkan
kesatuan wilayah, misalnya per rukun tetangga (RT) jika warganya sekitar
70 keluarga. Jika mencapai 200 KK, ya kampung setingkat rukun wilayah
(RW). Dari data sementara, sudah masuk 95-100 kampung kumuh setingkat
RW yang siap disulap menjadi kampung susun. Kebanyakan kampung kumuh itu
ada di kawasan bantaran kali, tepi rel kereta, kampung nelayan, hingga
kolong jembatan.
Semua wilayah Jakarta ada yang kumuh. Terbanyak
ada di Jakarta Utara, seperti kawasan Cilincing, Kalibaru, Sunter,
Pademangan, Koja, Marunda, Penjaringan, dan Tanjung Priok. Menyusul
Jakarta Timur, ada di Kampung Pulo, Cipinang, Cawang, Pisangan, dan
Makasar. Kampung kumuh di Jakarta Barat terdapat di Tambora, Cengkareng,
Kamal, dan Kapuk.
Jika proyek kampung susun terwujud, diharapkan
Jakarta dapat disejajarkan dengan kota besar di dunia, karena tak ada
lagi kawasan yang kumuh. Seperti Singapura misalnya, kampong-kampungnya
berupa rusun. Fasilitasnya memadai, karena ditunjang berbagai sarana,
termasuk terhubungn dengan jaringan tansportasi kota.
Biasanya,
proyek properti yang ada di Jakarta dimulai dari menggusur kawasan
‘berkumis’, baik dengan cara kasar maupun cara halus. Cara kasar,
kawasan itu terbakar, dengan demikian nilai ganti ruginya rendah karena
komponen bangunan sudah tak dihargai lagi. Dengan cara halus, pihak
pengembang membeli lahan milik warga dengan harga pasar. Contohnya,
warga di ring 1 proyek apartemen MTH di Jalan MT Haryono, persisnya di
ujung Jalan Otto Iskandar Dinata (Otista) akan memperoleh ganti untung
lahanya seharga Rp 7jutaan/meter persegi. Sedangkan tanah di ring 2
dihargai sekitar Rp 5 juta/meter persegi.
“Untuk lahan kumuh di
Jakarta, Pemda harus mendata satu per satu kawasan yang akan dibangun,
apakah itu tanah milik sendiri, tanah pemda, atau tanah negara yang
dikuasai kebanyakan BUMN,” kata pengamat tata kota Yayat Supriyatna,
kepada Neraca. Menurut dia, formula proyek kampung susun yang
digagas Gubernur Jokowi, lebih mengutamakan bagaimana menyulap
rumah-rumah kumuh itu dalam bentuk rumah bersusun yang sesuai dengan
karakter sosial budaya warga bersangkutan.
Jadi, tidak lagi
seperti rusun yang ada sekarang ini. Lalu, strukturnya dibuat sedemikian
hingga memudahkan antarwarga saling berinteraksi. Misalnya, tidak
terlalu tinggi, jadi cukup empat lantai saja. Dengan demikian tak perlu
memasang lift. Di bantaran kali kampung dibuat menghadap sungai.
Demikian juga kampung kumuh di pinggir rel kereta, juga dibangun
menghadap kereta lewat. Yang tegas tak boleh dibangun adalah di jalur
hijau.
Yang paling penting, tutur Yayat dari Universitas Trisakti,
adalah melakukan pendekatan dulu dengan warga setempat, karena akan ada
perubahan kultur, sebab merekalah yang akan menjadi subyek dari proyek
itu. Termasuk apakah status kampung susun itu sewa atau hak milik. Itu
harus dibicarakan dari awal.
Tentu dibangun secara bertahap,
disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Kepala Dinasd Perumahan
dan Gedung DKI Novizal menyatakan, proyek itu membutuhkan waktu
sekurangnya 11 bulan, yaitu 8,5 bulan untuk pembuatan detil desain (detailed engineering design/DED) dan 2,5 bulan proses tender. “Jadi baru bisa mulai kuartal tahun depan,” tutur Novizal, pekan ini.
Manajemen Rumah Susun
Yayat
mengingatkan nantinya manajemen kampung itu dikelola secara mandiri
oleh warga. Jika dikelola sendiri warga, diharapkan kampung baru itu
akan terjaga keasriannya, aman, nyaman, dan tertib. Hal itu berbeda
dengan keberadaan rusun yang ada saat ini. Banyak yang ditinggalkan
penghuninya karena pihak pengelola tak menyediakan fasilitas yang
memadai, seperti suplai air bersih dan listrik. Sebut saja rusun
Marunda, Jakarta Utara. Dari 29 gedung, sebanyak 19 rusun yang dibangun
pada 2007 itu kosong melompong.
Ketua RT 03/RW 10 Rusunawa Marunda
Darmanto mengungkapkan, banyak saluran air yang bocor sejak tiga tahun
lalu. Tapi sampai sekarang tak pernah diperbaiki. Hal itu juga
dibenarkan Kepala Unit Pengelola Teknis (UPT) Rumah Susun Wilayah I
Kusnindar. Minimnya perawatan karena kendala dana dan tenaga
operasional. ”Salah satu penyebabnya adalah sekitar 30% dari 500
penghuni menunggak bayar sewa,” ujarnya.
Padahal, uang sewanya
cukup murah, yaitu Rp 141.000 – Rp 164.000 per bulan untuk unit rusun
seluas 30 meter persegi. Tarif sewa rusunawa yang paling murah adalah di
Tambora sebesar Rp 45 ribu/bulan, tapi ada pula yang mencapai Rp 500
ribu/bulan, yaitu di Pondok Bambu. Itu diatur dalam Perda Nomor 3 Tahun
2012. Novizal mengaku miris karena dari 3.741 unit atau 33,3% rusun
belum dihuni.
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini