Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi
“Aku beriman kepada Allah” adalah sebuah pernyataan yang
sudah dapat dipastikan telah kita lafalkan. Kita juga mengetahui bahwa
keimanan ini adalah keimanan yang pertama kali dituntut bagi seorang
muslim pada rukun iman yang enam.
Hal ini sebagaimana jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang apa itu iman, yaitu,
“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman dengan takdir, yang
baik dan yang buruk.” (HR. Muslim)
Sejauh manakah pemahaman kita akan pernyataan keimanan ini? Beriman
kepada Allah, tidaklah cukup dengan sekedar mengakui bahwa Allah-lah
Sang Pencipta dan Pemberi Rezeki. Karena kaum musyrikin pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui ini, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Dan
sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan
oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 9)
Agar kita tidak sekedar taklid (ikut-ikutan) dan dapat memahami
pernyataan keimanan ini secara benar, maka ketahuilah saudariku,
keimanan kepada Allah terkandung di dalamnya empat unsur yang saling
berkaitan.
Pertama, keimanan kepada wujudullah (adanya Allah ta’ala).
Maka jelas batillah pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak ada.
Bahkan keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala jelas nyata, baik secara
fitrah, akal, syar’i dan secara indrawi.
Secara fitrah, setiap makhluk mengimani adanya Dzat
yang menciptakan tanpa harus berpikir atau mempelajari terlebih dahulu.
Adapun jika tidak sesuai dengan fitrah, maka ini terjadi karena ada
sesuatu yang memasuki hatinya dan memalingkannya dari fitrah tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Lalu orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Secara akal, maka kita mengetahui tidak mungkin
sesuatu ada tanpa ada yang menciptakan dan kita juga mengetahui kita
tidak menciptakan diri-diri kita sendiri. Maka jelas ada Dzat yang
menciptakan, dan Dia-lah Allah tabaroka wata’ala.
Adapun dalil secara syar’i, maka seluruh kitab
samawi membahas tentang adanya Allah ta’ala. Adapun ayat-ayat yang
berisi hukum-hukum yang berisi manfaat untuk makhluk menunjukkan bahwa
Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui apa yang membawa manfaat bagi
makhluk-Nya. Dan ayat-ayat yang berisi khobar kauniyah dapat
kita saksikan peristiwa-peristiwa yang sesuai dengan yang dikhabarkan
tersebut, dan ini menunjukkan bahwa Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan
peristiwa yang telah diberitakan-Nya.
Keberadaan Allah juga dapat kita ketahui secara indrawi
dengan dua cara, yaitu dari terkabulnya do’a dan dari mu’jizat para
Nabi dimana manusia dapat menyaksikan atau mendengar mukjizat tersebut.
Ini adalah kenyataan yang pasti akan adanya Dzat yang mengutus para
Nabi tersebut dan Dia-lah Allah ta’ala.
Kedua, keimanan kepada sifat rububiyah Allah ta’ala, yaitu kita
mengimani bahwa hanya Allah Rabb semesta alam dan tidak ada satupun
sekutu bagi-Nya. Hanya bagi-Nya-lah hak untuk mencipta, menguasai dan
memerintah. Tidak ada seorang pun yang mengingkari sifat rububiyah
Allah ini kecuali orang-orang yang sombong yang meragukan perkataan
mereka sendiri.
Ketahuilah! Keimanan pada sifat rububiyah Allah telah diakui oleh kaum musyrikin pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, Katakanlah:
“Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka
apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit
yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab:
“Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”
Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi
dari -Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan
Allah.” Katakanlah: “maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. Al Muminun [23]: 84-89)
Oleh karena itu saudariku, kita perlu mengetahui unsur yang ketiga
dari keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu keimanan kepada
sifat uluhiyah Allah ta’ala, yaitu mengimani bahwa hanya Allah-lah yang
berhak disembah dan tidak ada satu pun sekutu bagi-Nya. Allah ta’ala
berfirman, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 163)
Dakwah pada sifat uluhiyah inilah yang ditolak oleh kaum musyrikin
karena mereka mengambil tuhan-tuhan selain Allah ta’ala yang mereka
meminta pertolongan dan memberikan pengorbananan pada
sesembahan-sesembahan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala membatilkan
perbuatan kaum musyrikin dan orang-orang yang membuat sekutu-sekutu
bagi Allah ta’ala dengan dua dalil secara akal,
- Sesembahan mereka tidak memiliki kekhususan dari sifat-sifat uluhiyah Allah, mereka tidak menciptakan tetapi diciptakan, mereka tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat menolak bahaya dan sifat-sifat yang tidak mungkin dapat dimiliki selain Allah ta’ala.
- Sesungguhnya kaum musyrikin mengakui bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Pencipta (pengakuan pada sifat rububiyah Allah). Maka pengakuan mereka tersebut seharusnya melazimkan bagi mereka untuk tidak menyekutukan Allah dalam perkara uluhiyah Allah.
Keempat, engkau wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah
ta’ala yaitu nama-nama dan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi
diri-Nya dalam kitab-Nya atau Sunnah Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, tamtsil dan tafwidh. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-A’raaf, “Hanya
milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raaf [7]: 180)
Ketahuilah! Penetapan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah tabaroka
wa ta’ala tidak melazimkan kita melakukan penyerupaan atau menyamakan
Allah dengan makhluk-Nya. Maha suci Allah dari segala penyerupaan
tersebut. Allah telah menyatakan dalam firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura [42]: 11)
Demikianlah saudariku. Dengan keimanan yang benar pada Allah
subhanahu wa ta’ala, maka akan meperbaiki ketauhidanmu kepada Allah
ta’ala yaitu dengan tidak menyembah kepada selain-Nya, menyempurnakan
kecintaanmu pada Allah serta memperbaiki amal ibadahmu dengan apa yang
diperintahkan oleh Allah ta’ala dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Semoga engkau kini memahami dengan makna yang benar dari pernyataan, “Aku beriman kepada Allah”.
Berimanlah kepada Allah ta’ala secara utuh! Janganlah engkau
tinggalkan salah satu dari empat unsur keimanan pada Allah ini. Jika
engkau tinggalkan unsur pertama, maka engkau termasuk orang-orang
sombong yang membohongi dirimu sendiri. Jika engkau tinggalkan unsur
kedua, maka engkau tidak lebih baik dari kaum musyrikin pada masa Nabi
shallallahu’alaihiwasallam. Jika engkau tinggalkan unsur ketiga, maka
engkau akan terjerumus dalam perbuatan syirik yang Allah ta’ala tidak
akan mengampunimu sebelum engkau bertobat. Jika engkau tinggalkan unsur
keempat, maka engkau telah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan
bagi diri-Nya. Wallahu musta’an.
Maraji’: Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad ibn Sholih Al ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi
***
Artikel www.muslimah.or.id
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini