Haji itu wajib bagi setiap Muslim yang berakal sehat yang mampu
melaksanakannya dan telah mencapai kedewasaan. Haji itu adalah memakai
pakaian haji (ihram) pada tempat yang ditentukan, singgal di A’rafah,
mengelilingi Ka’bah, dan berlari antara Shafa dan Marawah. Tidak
diperbolehkan memasuki kawasan suci tanpa berpakaian ihram. Kawasan suci
(haram) disebut demikian karena di situ terdapat Makam Ibrahim. Ibrahim
as mempunyai dua makam: makam badannya, yakni, Mekkah dan makam
ruhaninya, yakni, persahabatan (dengan Tuhan).
Barangsiapa mencari makam badaniahnya, dia harus menafikan semua hawa
nafsu dan kesenangan, memakai pakaian ihram, mencegah dari perbuatan
yang dihalalkan, mengendalikan sepenuhnya semua indra, hadir di Arafah
dan dari sana menuju Muzdalifah dan Masy’ar Al-Haram, mengambil
batu-batu dan mengelilingi Ka’bah, mengunjungi Mina dan tinggal di sana
tiga hari, melemparkan batu-batu dengan cara yang sudah ditentukan,
memotong rambutnya, melaksanakan kurban dan memakai pakaian biasa
(sehari-hari).
Tetapi
barang siapa mencari makam ruhaniahnya, harus menafikan pergaulan
dengan sesamanya dan mengucapkan selamat tinggal kepada
kesenangan-kesenangan, dan tidak berpikir lain selain tentang Tuhan.
Kemudian dia harus singgah di “Arafatnya makrifat dan dari sana
pergi ke Muzdalifahnya persahabatan, dan dari sini menyuruh hatinya
untuk mengelilingi Ka’bahnya penyucian Ilahi, dan melemparkan batu-batu
hawa nafsu dan pikiran-pikiran kotor di Mina keimanan, dan mengorbankan
jiwa rendahnya di altar musyahadat dan sampai pada makam persahabatan.
Memasuki makam badaniah berarti aman dari musuh-musuh dan pedang-pedang
mereka, tetapi memasuki makam ruhaniah berarti aman dari keterpisahan
(dari Tuhan) dan akibat-akibatnya.
Muhammad
bin Al-Fadhl mengatakan, “Aku heran pada orang-orang yang mencari
Ka’bah-Nya di dunia ini. Mengapa meraka tidak berupaya melakukan
musyahadat tentang-NYa di dalam hati mereka? Tempat suci kadangkala
mereka capai dan kadangkala mereka tinggalkan, tetapi musyahadat bisa
mereka nikmati selalu. Jika mereka harus mengunjungi batu (Ka’bah), yang
dilihat hanya setahun sekali, sesungguhnya meraka lebih harus
mengunjungi Ka’bah hati, di mana Dia bisa dilihat tiga ratus enam puluh
kali sehari semalam. Tetapi setiap langkah mistikus adalah simbol
perjalanan menuju Mekkah, dan bilamana ia mencapai tempat suci ia
menerima jubah kehormatan, bagi setiap langkah.”
Dan
Abu Yazid mengatakan, “Pada hajiku yang pertama aku hanya melihat
Ka’bah, kedua kalinya, aku melihat Ka’bah dan Tuhannya Ka’bah, dan
ketiga kalinya, aku hanya melihat Tuhan saja.” Pendeknya, tempat suci
ada di mana musyahadat ada.
Karena
itu, yang sebenarnya bernilai bukalah Ka’bah, melainkan kontemplasi
(musyahadat) dan pelenyapan (fana’) di dalam istana persabatan, dan
melihat Ka’bah merupakan sebab tidak langsung. Tetapi, kita harus tahu
bahwa setiap sebab bergantung pada pencipta sebab-sebab, dari tempat
tersembunyi mana pun kuasa ilahi tampak, dan dari mana pun keinginan si
pencari bisa dipenuhi. Tujuan mistikus dengan melintas belantara dan padang pasir bukanlah tempat suci itu sendiri.
Tujuan
mereka adalah mujahadat dalam suatu kerinduan yang membuat mereka tak
bisa tenang, dan kelenyapan dalam cinta yang tak pernah berakhir.
Seseorang datang kepada Junayd. Junayd bertanya kepadanya dari mana ia
datang, Ia menjawab, ” Aku baru saja melakukan ibadah haji.”
“Dari saat engkau permata kali berjalan dari rumahmu, apakah engakau juga telah meninggalkan semua dosa?” tanya Junayd.
“Tidak,” jawab orang itu.
“Berarti,”
kata Junayd, “engkau tidak mengadakan perjalanan. Di setiap tahap
dimana engkau beristirahat di malam hari, apakah engkau telah melintas
sebuah makam di jalan menuju Allah?”
“Tidak”.
“Berarti
engkau tidak menempuh perjalanan tahap demi tahap. Ketika engkau
mengenakan pakaian ihram di tempat yang ditentukan, apakah engkau
membuang sifat-sifat manusiawi sebagaimana engkau melepaskan
pakaian-pakaian sehari-harimu?”
“Tidak.”
“Berarti
engkau tidak mengenakan pakaian haji. Ketika engkau singgah di Arafah,
apakah telah singgah barang sebentar dalam musyahadat kepada Tuhan?”
“Tidak.”
“Berarti
engkau tidak singgah di Arafat. Ketika engkau pergi ke Muzdalifah dan
mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua hawa nafsu?”
“Tidak.”
“Berarti
engkau tidak pergi ke Muzdalifah. Ketika engkau mengelilingi Ka’bah,
apakah engkau sudah memandang keindahan non material Tuhan di tempat
suci?”
“Tidak”
“Berarti
engaku tidak mengelilingi Ka’bah. Ketika engkau lari antar Shafa dan
Marwah, apakah engkau telah mencapai peringkat kesucian dan kebajikan?”
“Tidak.”
“Berarti engakau tidak lari. Ketika engkau datang ke Mina, apakah semua keinginanmu sirna?”
“Tidak.”
“Berarti
engkau belum mengunjungi Mina. Ketika engkau sampai di tempat
penyembelihan dan melakukan kurban, apakah engkau telah mengurbankan
segala hawa nafsu?”
“Tidak.”
“Berarti
engkau tidak berkurban. Ketika engkau melemparkan batu-batu, apakah
engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?”
“Tidak.”
“Berarti
engkau belum melemparkan batu-batu, dan engkau belum melaksanakan
ibadah haji. Kembalilah dan lakukan ibadah haji seperti yang telah
kugambarkan supaya engkau bisa sampai pada makam ibrahim.”
Selanjutnya, haji ada dua macam :
1. dalam ketidakhadiran (dari Tuhan) dan
2. dalam kehadiran (bersama Tuhan).
Sesesorang
yang tidak hadir dari Tuhan di Mekkah, maka ia dalam kedudukan yang
seolah-olah ia tidak hadir dari Tuhan di rumahnya sendiri, dan seseorang
yang hadir bersama Tuhan di rumahnya sendiri, maka ia berada dalam
kedudukan yang seolah-olah ia hadir bersama Tuhan di Mekkah.
Haji
adalah suatu tindakan mujahadat untuk memperoleh musyahadat, dan
mujahadat tidak menjadi sebab langsung musyahadat melainkan hanya sarana
untuk mencapai musyahadat. Maka dari itu, karena sarana tidak mempunyai
pengaruh lebih jauh atas realitas segala hal, tujuan haji yang
sebenarnya bukanlah mengunjungi Ka’bah, melainkan untuk memperoleh
musyahadat tentang Tuhan. Mawan Suganda http://gus7.wordpress.com/
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini