Oleh Oleh : Ahmad Ubaidillah (Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam UII Yogyakarta) Kamis, 13 September 2012 11:56 WIB | Dibaca 141 kali

Krisis air bersih telah melanda hampir seluruh wilayah
di Indonesia. Ini tentu saja berbanding lurus dengan musim kemarau yang
berkepanjangan dan terlambatnya hujan turun. Kelangkaan air bersih
memaksa sebagian rumah tangga baik di daerah perkotaan maupun pedesaan
menggeser pola konsumsinya, yaitu membeli air minum dari sejumlah
pemasok atau mencari sumber mata air seadanya sebagai cara untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, ada di antara mereka yang
berebut karena khawatir tidak kebagian.
Tidak hanya itu, para petani di pelosok desa juga menderita kerugian.
Banyak tanaman mereka, terutama padi, yang mati karena kekurangan air.
Air sungai, misalnya, yang biasanya dijadikan andalan untuk mengairi
sawah mengalami kekeringan. Akibatnya, sejumlah petani mengalami gagal
panen yang bermuara pada penurunan pendapatan dari hasil pertanian.
Pertanyaan yang bisa dimunculkan terkait krisis air yang melanda
masyarakat Indonesia akhir-akhir ini adalah di mana peran negara dalam
mengatasi semua ini? Apakah Negara, yang memiliki fungsi
mensejahterahkan rakyatnya, sudah bekerja secara optimal?
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2010, hanya 36,6 persen penduduk
Indonesia yang benar-benar bisa mengakses air bersih secara optimal,
yakni minimal 100 liter per orang per hari. Secara nasional, penduduk
yang kesulitan air bersih (di bawah 20 liter per orang sehari) jumlahnya
berkurang dari 16,2 persen jadi 14 persen. Sungguh ironis mengingat 6
persen ketersediaan air dunia ada di Indonesia.
Padahal fasilitas penyediaan air bersih, terutama yang layak minum,
sebenarnya sudah menjadi tanggung jawab negara/pemerintah. Hal ini bisa
dilihat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Dalam UU tersebut, negara menjamin hak setiap orang mendapat air bagi
kebutuhan pokok minimal sehari-hari untuk memenuhi kehidupan sehat,
bersih, dan produktif. Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa penguasaan sumber
daya air oleh negara digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Negara melalui Perusahaan Air Minum (PAM) sudah seyogyanya menyediakan
fasilitas air bersih bagi warganya. Namun pada kenyataanya, proporsi
pelanggan PAM terus merosot. Berdasarkan data Susenas (2005-2009),
proporsi pelanggan PAM nasional, yang di luar pelanggan eceran, turun
dari 17,99 persen ke 10,72 persen.
Sementara
itu, privatisasi berbentuk perkembangan industri Air Minum Dalam Kemasan
(AMDK) lebih marak dikembangkan ketimbang fasilitas penyediaan air
bersih oleh pemerintah. Tahun 2008 misalnya, jumlah perusahaan air
kemasan skala besar dan menengah 548 unit. Produksinya 12,8 miliar
liter. Selain itu, akibat dari pengeksploitasian secara membabi buta
oleh perusahaan-perusahaan air swasta ini, banyak terjadi kerusakan
lingkungan.
Harus diakui bahwa “perampokan resmi” sumber daya air atas nama
privatisasi telah membawa kerugian yang cukup besar bagi masyarakat.
Parahnya, ini dijamin dalam undang-undang. Melalui Undang-undang No.7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UUSDA). Sejak lahirnya peraturan
tersebut pada tanggal 19 Februari 2004, Peraturan Daerah (Perda) yang
terkait privatisasi air semakin menjamur. Beberapa pasal dalam peraturan
tersebut memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum,
dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian
badan sungai) oleh badan usaha dan individu.
Dengan nafsu privatisasi yang semakin bergejolak, sejak 1997 setidaknya
ada 20 investor asing dan domestik yang antre berinvestasi di sektor
penyediaan air bersih di berbagai kota di Indonesia dengan nilai total
investasi sebesar Rp 3,68 triliun. Sebagai konsekuensi logisnya, hak
atas air bagi rakyat terancam dengan adanya agenda rakus privatisasi dan
komersialisasi air di Indonesia tersebut.
Melalui privatisasi ini pula, jaminan pelayanan hak dasar rakyat banyak
tersebut ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar. Dalam hal ini,
World Bank justru “mengamini” dengan menyatakan “Manajemen sumberdaya
air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis”
dan “partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil
yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi
perluasan jasa penyediaan”. (World Bank, 1992).
Kesengsaraan Rakyat
Ketersedian air bersih merupakan masalah yang sangat penting bagi
kehidupan kita. Kita tidak bisa menghindar dari kebutuhan air bersih.
Setiap hari kita membutuhkan air bersih untuk minum, memasak, mandi,
mencuci dan sebagainya. Dengan air yang bersih tentunya membuat kita
terhindar dari penyakit. Oleh karena itu, pemerintah harus bertanggung
jawab menjamin ketersediaan air bersih bagi masyarakat banyak. Problem
kelalaian dalam mengelola Sumber Daya Air (SDA) akan berakibat bencana
berupa kerusakan lingkungan. Dampak privatisasi SDA semakin nyata
dirasakan masyarakat. Potret konflik SDA di berbagai daerah pun semakin
tidak terbendung. Cepat atau lambat, krisis kelangkaan air akan semakin
parah di Indonesia.
Sejak tahun 1998, 208 negara di dunia telah mengalami kelangkaan air,
bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 56 negara pada tahun
2025. Meluasnya konflik air di Indonesia akibat privatisasi air kerap
memicu peluang Indonesia menjadi bagian dari negara yang mengalami
kelangkaan air tersebut. Jika akar masalah tidak segera diselesaikan dan
model pengelolaan air tidak segera diperbaiki, maka ini hanya akan
menyengsarakan rakyat dan menimbulkan berbagai ancaman serius bagi
rakyat Indonesia.
Keyakinan pemerintah terhadap privatisasi yang membuat pemerintah
seolah reaktif dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang memberi
peluang menjual aset negara kepada investor swasta harus dihentikan.
Persoalan klasik ini justru memiskinkan masyarakat. Di berbagai tempat,
kebijakan tersebut tidak hanya membawa bencana lingkungan hidup tetapi
juga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Masyarakat tidak punya pilihan
lain, kecuali melepaskan sumber alam dan tanah mereka.
Oleh karena itu, Pemerintah tidak seharusnya hanya mengejar keuntungan
komersial yang bersifat jangka pendek dengan mengutamakan
perusuhaan-perusuhaan air swasta yang mengekploitasi sumber daya air
tersebut. Sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk menghentikan
privatisasi sumber daya air dan mulai memikirkan jangka panjang demi
ketersediaan air bersih bagi seleuruh rakyat Indonesia di masa
mendatang. Apakah rezim yang berkuasa sekarang ini mau dan mampu
melakukannya? Kita lihat saja nanti. (**)
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini