Home » » Krisis Air dan Persoalan Privatisasi

Krisis Air dan Persoalan Privatisasi

Written By Unknown on Sunday, October 07, 2012 | 10/07/2012

Oleh Oleh : Ahmad Ubaidillah (Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam UII Yogyakarta) Kamis, 13 September 2012 11:56 WIB | Dibaca 141 kali
Krisis Air dan Persoalan Privatisasi
Krisis air bersih telah melanda hampir seluruh wilayah di Indonesia. Ini tentu saja berbanding lurus dengan musim kemarau yang berkepanjangan dan terlambatnya hujan turun.  Kelangkaan air bersih memaksa sebagian rumah tangga baik di daerah perkotaan maupun pedesaan menggeser pola konsumsinya, yaitu membeli air minum dari sejumlah pemasok atau mencari sumber mata air seadanya sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, ada di antara mereka yang berebut karena khawatir tidak kebagian.
Tidak hanya itu, para petani di pelosok desa juga menderita kerugian. Banyak tanaman mereka, terutama padi, yang mati karena kekurangan air. Air sungai, misalnya, yang biasanya dijadikan andalan untuk mengairi sawah mengalami kekeringan. Akibatnya, sejumlah petani mengalami gagal panen yang bermuara pada penurunan pendapatan dari hasil pertanian. Pertanyaan yang bisa dimunculkan terkait krisis air yang melanda masyarakat Indonesia akhir-akhir ini adalah di mana peran negara dalam mengatasi semua ini? Apakah Negara, yang memiliki fungsi mensejahterahkan rakyatnya, sudah bekerja secara optimal?
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2010, hanya 36,6 persen penduduk Indonesia yang benar-benar bisa mengakses air bersih secara optimal, yakni minimal 100 liter per orang per hari. Secara nasional, penduduk yang kesulitan air bersih (di bawah 20 liter per orang sehari) jumlahnya berkurang dari 16,2 persen jadi 14 persen. Sungguh ironis  mengingat 6 persen ketersediaan air dunia ada di Indonesia.
Padahal fasilitas penyediaan air bersih, terutama yang layak minum, sebenarnya sudah menjadi tanggung jawab negara/pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam UU tersebut, negara menjamin hak setiap orang mendapat air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari untuk memenuhi kehidupan sehat, bersih, dan produktif. Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa penguasaan sumber daya air oleh negara digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Negara melalui Perusahaan Air Minum (PAM) sudah seyogyanya menyediakan fasilitas air bersih bagi warganya. Namun pada kenyataanya, proporsi pelanggan PAM terus merosot. Berdasarkan data Susenas (2005-2009), proporsi pelanggan PAM nasional, yang di luar pelanggan eceran, turun dari 17,99 persen ke 10,72 persen.
Sementara itu, privatisasi berbentuk perkembangan industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) lebih marak dikembangkan ketimbang fasilitas penyediaan air bersih oleh pemerintah. Tahun 2008 misalnya, jumlah perusahaan air kemasan skala besar dan menengah 548 unit. Produksinya 12,8 miliar liter.  Selain itu, akibat dari pengeksploitasian secara membabi buta oleh perusahaan-perusahaan air swasta ini, banyak terjadi kerusakan lingkungan. 
Harus diakui bahwa “perampokan resmi” sumber daya air atas nama privatisasi telah membawa kerugian yang cukup besar bagi masyarakat. Parahnya, ini dijamin dalam  undang-undang. Melalui Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UUSDA). Sejak lahirnya peraturan tersebut pada tanggal 19 Februari 2004, Peraturan Daerah (Perda) yang terkait privatisasi air semakin menjamur. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. 
Dengan nafsu privatisasi yang semakin bergejolak, sejak 1997 setidaknya ada 20 investor asing dan domestik yang antre berinvestasi di sektor penyediaan air bersih di berbagai kota di Indonesia dengan nilai total investasi sebesar Rp 3,68 triliun. Sebagai konsekuensi logisnya, hak atas air bagi rakyat terancam dengan adanya agenda rakus privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia tersebut.
Melalui privatisasi ini pula, jaminan pelayanan hak dasar rakyat banyak tersebut ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar. Dalam hal ini, World Bank justru “mengamini” dengan menyatakan “Manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis” dan “partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan”. (World Bank, 1992).

Kesengsaraan  Rakyat
Ketersedian air bersih merupakan masalah yang sangat penting bagi kehidupan kita. Kita tidak bisa menghindar dari kebutuhan air bersih. Setiap hari kita membutuhkan air bersih untuk minum, memasak, mandi, mencuci dan sebagainya. Dengan air yang bersih tentunya membuat kita terhindar dari penyakit. Oleh karena itu, pemerintah harus bertanggung jawab menjamin ketersediaan air bersih bagi masyarakat banyak. Problem kelalaian dalam mengelola Sumber Daya Air (SDA) akan berakibat bencana berupa kerusakan lingkungan. Dampak privatisasi SDA semakin nyata dirasakan masyarakat. Potret konflik SDA di berbagai daerah pun semakin tidak terbendung. Cepat atau lambat, krisis kelangkaan air akan semakin parah di Indonesia.
Sejak tahun 1998, 208 negara di dunia telah mengalami kelangkaan air, bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 56 negara pada tahun 2025. Meluasnya konflik air di Indonesia akibat privatisasi air kerap memicu peluang Indonesia menjadi bagian dari negara yang mengalami kelangkaan air tersebut. Jika akar masalah tidak segera diselesaikan dan model pengelolaan air tidak segera diperbaiki, maka ini hanya akan menyengsarakan rakyat dan menimbulkan berbagai ancaman serius bagi rakyat Indonesia.
Keyakinan pemerintah terhadap privatisasi yang  membuat pemerintah seolah reaktif dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang memberi peluang menjual aset negara kepada investor swasta harus dihentikan. Persoalan klasik ini justru memiskinkan masyarakat. Di berbagai tempat, kebijakan tersebut tidak hanya membawa bencana lingkungan hidup tetapi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Masyarakat tidak punya pilihan lain, kecuali melepaskan sumber alam dan tanah mereka.
Oleh karena itu, Pemerintah tidak seharusnya hanya mengejar keuntungan komersial yang bersifat jangka pendek dengan mengutamakan perusuhaan-perusuhaan air swasta yang  mengekploitasi sumber daya air tersebut. Sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk menghentikan privatisasi sumber daya air dan mulai memikirkan jangka panjang demi ketersediaan air bersih bagi seleuruh rakyat Indonesia di masa mendatang. Apakah rezim yang berkuasa sekarang ini mau dan mampu melakukannya? Kita lihat saja nanti. (**) 
Share this article :

Post a Comment

Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

Daftar Isi

Recent Post

Download Gratis

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Blogs Aksara - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger