Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha memiliki
beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak,
pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan
qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya
tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar
arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun
menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap
semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan
iradah-Nya.
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang
mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman
kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan)
tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar,
maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan
mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa
Syeikh Al-Islam, 8/258).
Untuk memperjelas pengertian qadha dan qadar, berikut ini dikemkakan
contoh. Saat ini Abdul latif jatuh dari sepeda motor. Sebelum Abdul
latif lahir, bahkan sejak zaman azali Allah telah menetapkan, bahwa
seorang anak bernama Abdul latif akan jatuh dari sepeda motor. Ketetapan
Allah di Zaman Azali disebut Qadha. Kenyataan bahwa saat terjadinya
disebut qadar atau takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah
perwujudan dari qadha.
Hubungan antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat. Qadha adalah
ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah
kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha
qadar ibarat rencana dan perbuatan. Perbuatan Allah berupa qadar-Nya
selalu sesuai dengan ketentuan-Nya.Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah
berfirman, yang artinya sebagai berikut :
” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang
laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki
itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah
menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah,
malaekat-malaekat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan
beriman pula kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki
tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim)
Lelaki itu adalah Malaekat Jibril yang sengaja datang untuk
memberikan pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban
Rasulullah yang dibenarkan oleh Malaekat Jibril itu berisi rukun iman.
Salah satunya dari rukun iman itu adalah iman kepada qadha dan qadar.
Dengan demikian , bahwa mempercayai qadha dan qadar itu merupakan hati
kita. Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang
terjadi pada diri kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak
menyenangkan adalah atas kehendak Allah.
Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan
Allah atas diri kita. Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang
artinya: ” Siapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan
tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka
hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir
tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri
kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal
itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir
yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka
hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa
di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya.
Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh
hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi
makhluknya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda
yang artinya sebagai berikut yang artinya
”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama
40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari
menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk
meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang
rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupny) sengsara
atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah
ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia
telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal
diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap
berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan
sendirinya.
Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk
malas berusaha dan berbuat kejahatan. Pernah terjadi pada zaman Khalifah
Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan dibawa kehadapan
Khalifah Umar. ” Mengapa engkau mencuri?” tanya Khalifah. Pencuri itu menjawab, ”Memang Allah sudah mentakdirkan saya menjadi pencuri.”
Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, lalu berkata, ” Pukul saja orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!.” Orang-orang yang ada disitu bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu?”Khalifah Umar menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah”.
Mengenai adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah.
Pada zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui
datang menghadap nabi. Orang itu datang dengan menunggang kuda. Setelah
sampai, ia turun dari kudanya dan langsung menghadap nabi, tanpa
terlebih dahulu mengikat kudanya. Nabi menegur orang itu, ”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi pun bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.
Dari kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan
segala sesuatu, namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita
tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab
itu kita harus berikhtiar. Jika ingin pandai, hendaklah belajar dengan
tekun. Jika ingin kaya, bekerjalah dengan rajin setelah itu berdo’a.
Dengan berdo’a kita kembalikan segala urusan kepada Allah kita kepada
Allah SWT. Dengan demikian apapun yang terjadi kita dapat menerimanya
dengan ridha dan ikhlas.
Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :
1.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat
kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita
ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia
belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi
kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah berfirman:
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia. ( Q.S Ar-Ra’d ayat 11)
2.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi
pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di
tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan
mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan
bapaknya kulit putih dan sebagainya.
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat
berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan
diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
1.Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat
keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu
merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena
musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian Firman
Allah:
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah(
datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya
lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
2.Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh
keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena
hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia
mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena
ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT :
Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)
3.Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua
orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu
tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu,
orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat
bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu. Firaman Allah :
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)
4.Menenangkan jiwa
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami
ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa
yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia
bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha
lagi
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan
hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah
hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Sumber : http://contohrpp.wordpress.com
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini