Home » » Dokter, Kepahlawanan dan Kemuliaan

Dokter, Kepahlawanan dan Kemuliaan

Written By Unknown on Wednesday, October 24, 2012 | 10/24/2012

Dokter dan Kemanusiaan, profesi seorang dokter adalah sangat mulia, bekerja untuk kemanusiaan, ikhlas pada waktu yang dilebihkan untuk kepentingan pelayanan, Lalu apakah sudah terbayar semua itu? Dibanyak daerah yang minim pelayanan kesehatan, dengan geografis yang sulit dijangkau oleh sarana transportasi, kesabaran seorang dokter di uji untuk membumi pada kultur. Melayani adalah fitrah seorang dokter, menyatu dengan niat begitulah adanya. 
Tepatnya hari ini 24 Oktober, adalah hari dokter Indonesia, sebuah opini saya postingkan disini "Dokter, Kepahlawanan dan Kemuliaan". Selamat Hari Dokter Indonesia, Jalan kemuliaan meraih investasi dunia dan akhirat.
 
Oleh: Pribakti B,
Penulis, Dokter RSUD Ulin Banjarmasin


Dokter adalah pemeran utama dalam perjuangan meningkatkan kesehatan rakyat, itu sudah pasti. Tapi istilah “pejuang” membuat kita terbayang akan ketulusan dan pengorbanan, bukan kepentingan diri tentunya.

Masalahnya pantaskah kita menyebut istilah “pejuang” kesehatan untuk para dokter Indonesia masa kini?  Selain  itu, yang namanya pejuang selalu dekat dengan perbuatan kepahlawanan, kemuliaan dan  kesediaan menjadi “tumbal dan batu pijakan” untuk cita-cita bangsanya.

Artinya, mereka adalah segolongan orang yang paling bersedia berkorban dalam perjalanan membangun bangsanya. Bukan sebaliknya, golongan yang paling diuntungkan dalam kesakitan bangsanya. Kenyataannya angka Human Development Index bangsa kita tidak pernah membaik. Itu artinya, bangsa ini sedang sakit.

Pertanyaannya, benarkah dokter adalah golongan yang paling banyak berkorban dalam perjalanan membangun kesehatan bangsanya?

Sesungguhnya tanpa memandang profesi, semua orang memiliki kesempatan untuk berbuat mulia. Profesi dokter, meskipun tugas utamanya menolong orang menderita, tidak selalu berarti pengabdian. Mengapa? Ada imbalan jasa di sana. Makanya mungkin (maaf) hari gini sudah saatnya kita tidak lagi memandang dokter sebagai profesi mulia. Bahkan, akhir-akhir ini urusan imbalan jasa dokter sungguh merepotkan banyak negara, termasuk negeri ini.

Contoh  pada program BPJS dalam Jaminan Kesehatan Semesta yang akan diberlakukan 1 Januari 2014  banyak diributkan besaran iuran masyarakat  oleh IDI.  Pada kenyataannya kini, alih-alih menjadi pejuang kemanusiaan, dokter sering justru menjadi sumber masalah. Setiap keputusan mediknya  pasti membawa konsekuensi biaya yang langsung menjadi beban negara dan masyarakat. Jelas di sini, dapat disimpulkan perilaku dokterlah penentu utama tinggi-rendahnya biaya kesehatan.

Namun bila dokter  tidak disebut pahlawan, lalu tidak lantas jadi pengkhianat. Juga, bila bukan disebut sebagai profesi mulia, bukan berarti profesi jahat. Dunia tidak hitam-putih. Ada rentang ruang lebar di antara dua kutub, kutub pahlawan dan kutub pengkhianat.

Di situlah akan diisi nilai kemuliaan, kepahlawanan, atau kejahatan,  dan semua itu berpulang pada nurani sang dokter. Repotnya, zaman telah amat berubah. Lompatan teknologi, perubahan lingkungan, dan cara transaksi ekonomi membutuhkan kehadiran sistem kerja baru.

Dibutuhkan manusia baru yang mampu mengikuti semua perubahan untuk selalu menjadi yang terkini. Semua sisi kehidupan, tak terkecuali bidang kedokteran tidak dapat menghindar lagi dari teknologi. Penanganan penyakit menjadi kian rumit, perlu pengetahuan baru, tata cara berbeda, dan akan terus berubah.

Di sini, teknologilah yang menjadi komando. Celakanya,teknologi baru terus hadir dengan kecepatan tak terkira. Diperlukan sarana training yang senantiasa mampu mengikuti zaman. Sebab pada hakikatnya, teknologi adalah investasi. Dan kembalinya investasinya harus dihitung benar.

Untuk mampu tampil terkini, dokter harus didukung oleh sistem (baca: rumah sakit) yang tangguh. Tidak mungkin lagi kini dokter akan sepenuhnya mandiri. Rumah sakit  harus selalu kompetitif, otomatis dokter pun menjadi bagian dari investasi rumah sakit.

Hal lain, rumah sakit hadir tentu membawa visi, misi, dan strategi sendiri. Tidak bisa mengelak, dokter harus mengikuti lagu yang ditentukan rumah sakit tadi. Di saat situasi - yang serba perhitungan - ini, timbul pertanyaan masih adakah ruang untuk berbicara tentang nurani, kemuliaan, dan kepahlawanan? Entahlah.

Saya tidak tahu persis. Tapi yang jelas semua itu tentang moral, sesuatu yang  tak dapat diraba. Pasien hanya dapat merasakan refleksinya: berupa perbuatan (baca: performa) dan keputusan dokter saat melayani pasien. Ini karena pasien tidak tahu apa yang harus dibeli dan sialnya, coba lihat di apotik  tidak ada istilah tawar menawar, terima saja dan bayar.

Padahal perdefinisi, seorang  disebut konsumen bila pembeli memiliki kebebasan memilih. Jelas di sini, pasien tidak bisa disebut konsumen! Ketidakseimbangan pengetahuan antardokter-pasien membuat kebebasan memilih itu hilang. Pasien sebenarnya adalah pihak yang sepenuhnya harus dilindungi. Lantas, siapakah yang harus melindungi? Di sinilah nyata benar bahwa pelayanan medis  tidak sama dengan usaha lain

Maka di era modern ini, dibutuhkan terjemahan baru untuk mengatakan “dokter  itu baik” atau sebaliknya. Kita membutuhkan dokter yang berhati mulia, meski ukurannya kian tidak jelas. Di era baru juga, lebih membutuhkan ukuran yang jelas pada setiap performa. Dokter dikatakan bekerja akurat bila angka kesalahannya mendekati nol. Dokter dikatakan bekerja efisien bila jelas memunculkan angka turunnya biaya.

Semua penilaian muncul dalam bentuk angka. Di sini, proses pengambilan keputusan menjadi amat penting. Kaidah keamanan penggunaan teknologi menjadi utama. Sesuaikah tindakan-keputusan dokter dengan standa¬r protokol yang ada?

Jadi tidak usah heran kalau kini kompetensi dokterpun lalu lebih sering dipersoalkan ketimbang membicarakan etik yang kian kabur. Padahal tak lama lagi, akan hadir ilmu kedokteran baru yang super modern dan berwajah sama sekali ber¬beda. Jadi haruskah teknologi menguasai manusia?

Maka bila Anda seorang dokter , tataplah mata pasien saat dia amat kesakitan, ada bayangan ketakutan di sana. Dan, Anda akan mengerti bahwa bukan hanya teknologi dan keterampilan yang mereka butuhkan. Mereka butuh kasih sayang dan ketulusan. Itu hanya ada dinurani Anda.

Sungguh, peluang dokter untuk menjadi manusia mulia masih terbuka lebar.  Selamat Hari  Dokter Indonesia, 24 Oktober 2012! (*)
Share this article :

Post a Comment

Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

Daftar Isi

Recent Post

Download Gratis

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Blogs Aksara - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger