Jadi ingat Pak Harto, sudah 15 tahun sejak reformasi 21 Mei 1998. Sorak sorai layaknya napi yang baru dibebaskan dari kungkungan. Harapan-harapan akan segera terwujud, tak ada lagi dominasi kapitalisasi dan kekuasaan besi. Seperti lahir kembali, gegap gempita layaknya baru usai dari peperangan besar.
Mahasiswa, tokoh-tokoh politik dan ekonomi menyeru keadilan, kebebasan berpendapat, pemerataan kesejahteraan dan ketenangan beragama menjadi euphoria saat itu.
Tapi, lihat kini, adakah diantara sorak-sorai itu terbukti?
Orang-orang pintar, para pejuang reformasi tengah menikmati kursi-kursi empuk tanpa reuni reformasi. Rezim berganti, namun hati tetap besi. Malah, lebih parah lagi, idealisme dibeli dengan kekuasaan kroni dan kepentingan.
Jumlah rakyat miskin semakin bertambah, lapangan pekerjaan dikuasai abdi-abdi, mengantri janji-janji diatas terik tak pasti, lahan tanah lapang menjadi tempat lokalisasi mengumpul pundi-pundi.
Otonomi pecah belah, rakyat menjadi tumbal proyek raksasa penindas, keadilan tidak untuk diperjuangkan lagi, keinginan adalah sumber penderitaan.
Pak Harto... Aku memang tak menyukaimu, tapi ternyata hari ini lebih parah lagi.
Jadi ingat Pak Harto.
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini