Ringkasan
Kota-kota
besar di Indonesia "tidak sehat". Struktur pertumbuhannya cendrung
meniadakan ruang terbuka, sedangkan pemukiman terus terdesentralisasi,
bergerak menjauh dari pusat kota, menyebar dan menggeser wilayah
pertanian di wilayah pinggiran. Proses ini tidak saja kian membebani
pengelolaan kota namun juga mengorbankan fungsi ekologis lingkungan dan
tanah pertanian di wilayah pinggiran dengan segala dampaknya. Permukimam
kumuh, kemacetan, degradasi lingkungan, polarisasi kemampuan
masyarakat, serta social unrest adalah sejumlah indikator permasalahan
yang secara kumulatif tidak efektif bagi pertumbuhan ekonomi dan
kehidupan sosial masyarakat kota dan wilayah pingirannya serta membebani
roda pertumbuhan nasional. Transformasi struktur perkonomian Indonesia
yang prematur menjadi akar seluruh permasalahan ini sehingga laju
urbanisasi menjadi terlampau tinggi di atas kemampuan kota untuk
berbenah. Dengan demikian, pengelolaan kota, termasuk penataan ruangnya,
tidak dapat lagi dipandang sebagai beban internal kota.
Pendahuluan
Di
masa mendatang, fungsi kota sebagai pusat pertumbuhan, titik kontak
hubungan dan perdagangan internasional, nodal informasi dan inovasi
teknologi menjadi semakin stategis. Selain itu, tetap saja kota akan
menjadi ruang yang paling ideal bagi pertumbuhan dan diversifikasi
kegiatan ekonomi berbasis sektor industri, jasa dan perdagangan.
Wajarlah, dalam menghadapi tantangan global kelak, peran stategis ini
harus ditingkatkan.
Hal
tersebut masih mungkin bagi Indonesia. Lihat saja komposisi urbanisasi,
perbandingan penduduk perkotaan dengan pedesaan masih tergolong rendah,
hanya 30 %. Padahal rata-rata penduduk perkotaan di negara-negara yang
berpendapatan menengah adalah sekitar 48%, bahkan di negara-negara maju
mencapai di atas 70%. Jakarta, meskipun dihuni kurang lebih 9.7 juta
jiwa namun hanya menampung + 20 persen penduduk perkotaan, sementara
Manila 30 persen, Bangkok 69 persen dan Soul 43 persen . Jadi, dari sisi
komposisi penduduk, perkotaan Indonesia masih tergolong aman.
Masalahnya
justru terletak pada kecepatan laju urbanisasi yang terlampau tinggi
yakni 5,4 % per tahun dalam dekade 1980 . Tidak saja tinggi, namun
urbanisasi di Indonesia merupakan hasil proses transformasi struktur
ekonomi yang prematur, yang terjadi karena dualislistik pembangunan di
Indonesia dalam era Orde Baru. Dualistik pembangunan ini telah
menempatkan sektor pertanian sebagai lapangan usaha kelas bawah, gurem,
tidak efisien dan tidak "prestigous", sehingga menyebabkan pelepasan
tenaga kerja pertanian ke sektor moderen, industri dan jasa, di
perkotaan menjadi terlampau cepat. Sehingga meskipun lapangan kerja di
sektor moderen ini sangat kompetitif, tetap saja urbanisasi meningkat
tajam. Apabila asumsi ini benar, maka transisi komposisi penduduk
perkotaan akan meningkat sangat tajam menjadi 42 % pada tahun 2010 dan
mencapai 60 % pada tahun 2018 .
Pertumbuhan Kota
Pertumbuhan
penduduk yang terlalu pesat dan tersentralisasi di pusat-pusat kota
secara simultan telah memberikan beban masalah pengelolaan kota yang
muskil dan bahkan "counter produktive" terhadap manfaat "agglomerasi"
dan "economic of scale". Karena tekanan masalah yang demikian berat maka
kebijaksanaan pengelolaan perkotaan seringkali tidak mampu efisien dan
cenderung mengikuti mekanisme pasar yang lebih mengejar maksimalisasi
ekonomi dalam pemanfaatan tanah-tanah kota. Proses ini dapat saja
menyebarkan kepadatan penduduk dalam kota dan mendistribusikannya ke
wilayah pinggiran, namun sekaligus menciptakan pemekaran fisik kota yang
tidak tertata yang justru pada gilirannya menambah beban permasalahan
pengelolaan kota itu sendiri.
Pembangunan
fisik kota berpola "urban sprawl" telah jauh merambat ke
wilayah-wilayah pinggiran bahkan di sebagian besar wilayah perbatasan
pembangunan fisik ini telah menyatu dan sulit dibedakan. Permasalahan
ini mempersulit penyediakan dan pemelihara fasilitas perkotaan. Tidak
saja itu, permukimam pinggiran ini hanya terikat secara administratif
dengan wilayah sekitar namun secara fungsional dan spatial telah
terintegrasi dengan kota sehingga sedikit sekali mempunyai keterkaitan
dengan ekonomi dan sosial pedesaan. Sementara itu, meningkatnya
permintaan terhadap tanah di wilayah pinggiran kota ikut mendorong
kompetisi penggunaan dan kelangkaan tanah di wilayah tersebut. Kompetisi
dan kelangkaan ini secara langsung mengangkat harga tanah sekaligus
menempatkan wilayah pinggiran kota sebagai ladang subur usaha spekulan
tanah. Tentu saja hal ini akan mendorong percepatan mutasi penggunaan
tanah dari pertanian ke non pertanian yang kian hari kian bertambah.
Berkurangnya
tanah pertanian karena terdesak oleh perkembangan fisik kota berdampak
percepatan fragmentasi pemilikan tanah sehingga luas garapan menjadi
semakin kecil dan tidak lagi efisien untuk usaha pertanian. Hal ini
menjadi pemicu lebih lanjut pengalihan penguasaan dan penggunaan tanah
dari pertanian ke non pertanian yang akhirnya menyebabkan tanah-tanah
pertanian dipinggiran kota menjadi semakin rentan terhadap mutasi
penggunaan tanah. Pengalihan fungsi penggunaan tanah pertanian ke
kegiatan non pertanian di wilayah pinggiran Kota memberikan dampak
ekologis yang serius seperti berkurangnya penyediaan air bagi masyarakat
kota atau justru kebanjiran di musim hujan.
Selain
itu, pola pembangunan fisik kota yang horizontal yang terutama
didominasi oleh pembangunan perumahan-perumahan di pinggiran kota secara
langsung meningkatkan jumlah masyarakat "Commutter". Kemacetan di jalan
raya terutama di waktu pagi dan sore hari terus menjadi-jadi, kian hari
kian buruk.
Dalam
menghadapi kompleksitas beban permasalahan kota tersebut, pengelolaan
perkotaan seyogyanya perlu diselenggarakan secara lebih arif dan
efektif. Visi utama pembangunan perkotaan perlu diperioritaskan untuk
menciptakan iklim perkotaan yang lebih manusiawi, berwawasan lingkungan
dan tidak semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi dan fisik. Kegiatan
pembangunan fisik yang selama ini cendrung untuk mengurangi ruang
terbuka dan kehijauan kota seyogyanya di evaluasi kembali. Demikian
juga, pemerintah kota perlu tetap memberikan perlindungan bagi
masyarakat yang kurang mampu. Tingginya polaritas kemampuan untuk
memperoleh akses pelayanan dan menikmati hasil-hasil pembangunan yang
tersebar dalam berbagai segmen mayarakat terbukti dengan
indikasi-indikasi meningkatnya kriminalitas, ketidakperdulian dan
gangguan-gangguan sosial lainnya. "Social distress" semacam itu
menyebabkan kenyamanan dan keamanan untuk tinggal dan berusaha di dalam
kota akan cepat menurun dan semakin menjauh dari maksud dan tujuan
pembangunan itu sendiri.
Dinamika
perkembangan kota dan urbanisasi tidak dapat lagi dipandang sebagai
masalah internal kota semata-mata melainkan sudah memiliki dimensi yang
lebih luas dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial, ekonomi,
informasi dan politik secara nasional dan global. Dalam kontek inilah
perlu diciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah, pembangunan
lingkungan hidup yang layak, serta memperkecil dampak negatif yang
ditimbulkan oleh wilayah dengan tingkat pertumbuhan tinggi terhadap
wilayah-wilayah yang lambat pertumbuhannya. Dengan demikian kegiatan –
kegiatan perencanaan penataan ruang kota dengan penataan ruang wilayah
di sekitarnya tidak pantas lagi dilakukan secara terpisah, seperti yang
selama ini dilakukan
Disamping
itu, kebijaksanaan pembangunan perkotaan perlu juga diarahkan kepada
pembangunan kota-kota baru yang mandiri. Langkah-langkah HHHini sangat
penting untuk tujuan desentralisasi dan dekonsentrasi pembangunan kota
dan sebagai alat untuk menarik migran potensial yang cendrung ke
kota-kota metropolitan. Dengan demikian kota-kota ini dapat berperan
dalam membenahi ketimpangan antar daerah serta mempercepat laju
pertumbuhan ekonomi nasional, oleh karenanya mempunyai arti yang sangat
strategis.
Dalam
sisi lain, visi pembangunan perkotaan tersebut harus lebih melibatkan
peran aktif pihak swasta dan masyarakat karena pada kenyataannya
merekalah yang menjadi motor penggerak pembangunan kota. Untuk itu
diperlukan peningkatan kemampuan dalam perencanaan dan transparansi
dalam pembangunan dan pengelolaan perkotaan agar peran aktif swasta dan
masyarakat dapat ditumbuh-kembangkan.
Pengendalian Ruang Kota
Kegiatan
penataan dan pemanfaatan ruang kota pada dasarnya adalah kegiatan
penataan dan pemanfaatan tanah - tanah perkotaan yang dikuasi oleh
masyarakat dan badan hukum. Dengan demikian, diperlukan serangkaian
tindakan-tindakan yang melibatkan kegiatan-kegiatan pengaturan
penguasaan dan penggunaan tanah dalam mengendalikan atau mengintervensi
mekanisme pasar dalam pemanfaatan tanah yang terikat akan hukum "the
highest and best use of land". Secara operasional, upaya-upaya
pemanfaatan dan pengendalian ruang untuk mewujudkan kondisi ideal dari
suatu perencanaan tersebut ditempuh melalui mekanisme pengadaan tanah
dan pengendalian penggunaan tanah melalui kebijaksanaan perijinan hingga
pemberian hak atas tanah.
Wajar,
sebagai syarat untuk menjamin berfungsinya rencana tata ruang
perkotaan, maka diperlukan sarana pengendalian yang salah satunya adalah
mekanisme perijinan dan hak atas tanah. Tentu saja dalam pelaksanaan
pemberian ijin hingga penerbitan hak harus menghormati hak atas tanah
yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian akan tercapai suatu
proses yang saling berkesinambungan dalam penataan dan pemanfaatn ruang
dimana pemberian perijianan adalah esensi dari upaya pemanfaatan dan
pengendalian ruang.
Penataan
ruang perkotaan dapat juga dilaksanakan dengan program antara lain
konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah secara konsepsional merupakan
langkah yang sangat strategis dalam pengelolaan pembangunan perkotaan,
yang antara lain adalah: 1) mempercepat penyediaan dan pembangunan
infrastruktur dan fasilitas umum lainnya, 2). Meningkatkan intensitas
penggunaan tanah serta memperbaiki kondisi lingkungan, 3). Menghemat
pengeluaran anggaran pemerintah untuk mengadakan tanah dan pembangunan
infratruktur dan fasilitas umum, 4). Meningkatkan nilai tanah, 5).
Menghindarkan penggusuran masyarakat pemilik tanah dari lokasi asalnya,
6). Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkotaan
sekaligus menurunkan ketimpangan sosial yang bersumber dari kondisi
permukimam, 7). Memungkinkan terbentuknya sistem perpajakan yang lebih
baik dan adil.
Selain
program konsolidasi tanah, pemerintah kota sudah saatnya melibatkan
partisipasi yang lebih aktif pihak swasta dalam mengembangkan program
pembangunan rumah vertikal terutama dengan sistim sewa. Pembangunan
perumahan susun vertikal untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah
melalui sistim sewa memang terkesan mahal. Namun program rumah susun
memberikan dampak jangka panjang yang sangat menguntungkan. Hal tersebut
adalah atas beberapa pertimbangan.
Pertama
bila separasi ruang menyempit atau gradasi kepadatan penduduk yang
menurun tajam dari pusat kota ke wilayah pinggiran maka penyediaan dan
pemeliharaan fasilitas umum dapat dilakukan dengan lebih efektif karena
lebih terkonsentrasi. Kedua, bagi masyarakat berpenghasilan rendah,
sistim sewa akan lebih efektif dari pada sistim kepemilikan rumah
terutama karena mereka tidak mampu memiliki rumah. Selain itu, karena
letak perumahan susun berada di dalam kota, maka tambahan beban biaya
transportasi bagai masyarakat berpenghasilan rendah akan dapat
dihindarkan, sehingga kelompok masyarakat ini mempunyai peluang yang
lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Demikian
juga, sudah waktunya pengendalian lebih serius fenomena mutasi
penggunaan tanah pertanian ke non-pertanian yang terjadi akibat
pemekaran kota. Hal ini penting mengingat lokasi tanah-tanah persawahan
sawah berkualitas tinggi justru berada di pinggiran kota-kota besar.
Apabila luas minimal tanaman padi untuk komsumsi beras di Indonesia pada
tahun 1990 adalah 10.25 juta hektar maka luas ini di tahun 2025 akan
meningkat menjadi 13, 170 juta hektar. Padahal, luas tanah sawah di
Indonesia justru menurun rata-rata 8.255 hektare per tahun dan lebih
dari 80 persen mutasi ini justru terjadi di sekitar kota-kota di pulau
Jawa. Sulit dibayangkan dampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi
Indonesia apabila terjadi kelangkaan pangan terutama beras di masa
mendatang. Alternatif penciptaan sawah-sawah baru di luar pulau Jawa
bukanlah gampang, sama tidak logisnya apabila mengalihkan pola konsumsi
beras ke menu pangan non-beras bagi masyarakat Indonesia.
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini