Pertemuan dengan kalangan jurnalis 19 Juli lalu dimanfaatkan petinggi
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menyampaikan satu ‘koreksi’
penting. Jangan sampai masyarakat menganggap status WTP lembaga negara
pusat dan daerah sebagai jaminan ‘bersih’ dari penyimpangan dan korupsi.
WTP adalah singkatan dari Wajar Tanpa Pengecualian, sebuah opini yang
dikeluarkan auditor terhadap laporan keuangan. Sesuai amanat konstitusi
dan UU No. 17 Tahun 2003,
audit atas laporan keuangan lembaga negara dilakukan oleh BPK. “WTP
akan diberikan oleh BPK kepada suatu lembaga atau kementerian jika
transaksi penggunaan anggaran tidak ada yang mencurigakan,” kata Ketua
BPK Hadi Purnomo.
Tetapi Hadi Purnomo buru-buru mengingatkan, WTP tidak menjamin tidak
ada korupsi di lembaga yang memperoleh opini demikian. “Pemeriksaan
laporan keuangan tidak ditujukan secara khusus untuk mendeteksi adanya
korupsi,” tegas mantan Dirjen Pajak itu.
Penjelasan Hadi dalam acara Menjawab Keingintahuan Publik tentang Opini BPK
itu tidak muncul begitu saja. Sebelum acara ini, begitu banyak lembaga
negara yang membuat iklan atau maklumat tentang opini WTP lembaganya.
Tak sedikit diantaranya iklan dibuat dan dibiayai oleh perusahaan
tertentu yang bisnisnya berada dalam lingkup kementerian atau lembaga
negara.
WTP menjadi obsesi pimpinan lembaga. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sampai melayangkan kritik, WTP seolah menjadi ajang pameran pimpinan lembaga pusat dan daerah. Bahkan ada kepala daerah yang memerintahkan anak buahnya menyuap auditor BPK agar hasil pemeriksaan beropini WTP. Kita masih ingat kasus dua orang auditor BPK perwakilan Jawa Barat
yang divonis masing-masing empat tahun penjara karena menerima suap
ratusan juta dari pejabat Pemko Bekasi. Uang suap itu diberikan agar
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Bekasi memuat WTP.
Pengumuman yang begitu gencar seolah menunjukkan lembaga-lembaga negara
yang memperoleh WTP sudah bersih dari penyimpangan dan penyelewenangan.
Sekadar perbandingan, WTP yang diperoleh Kementerian Agama menjadi
sebuah ironi. BPK menyerahkan hasil audit dengan status WTP kepada
Menteri Agama pada medio Juni lalu. Eh, beberapa hari kemudian, KPK
membongkar korupsi pengadaan kitab suci al-Qur’an di kementerian ini.
Semakin banyak lembaga negara yang mendapatkan WTP dari BPK. Pada saat
bersamaan, jumlah perkara korupsi yang diungkap dari lembaga negara
terus bertambah. Kasus Hambalang berpotensi merugikan negara ratusan miliar, namun laporan keuangan Kementerian Pemuda dan Olahraga tetap WTP.
Tabel
Perkembangan WTP lembaga negara 2009-2011
Opini
|
Tahun
|
||
2009
|
2010
|
2011
|
|
Wajar Tanpa Pengecualian |
45
|
53
|
67
|
Wajar Dengan Pengecualian |
26
|
29
|
18
|
Tidak Memberikan Pendapat |
8
|
2
|
2
|
Tidak Wajar |
-
|
-
|
-
|
Jlh entitas pelaporan |
79
|
84
|
87
|
Data yang dirilis BPK tersebut memang belum menunjukkan seluruh LHP
lembaga negara pusat dan daerah. Tetapi setidaknya memperlihatkan
semakin banyaknya lembaga yang memperoleh opini WTP.
Apa WTP itu?
Istilah WTP disebut dalam penjelasan pasal 16 UU No. 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara. Berdasarkan
Undang-Undang ini, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan
pemerintah memuat opini. Selain opini, pemeriksa juga mengeluarkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi untuk LHP atas kinerja. Sedangkan LHP dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran
informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Ada empat
kriteria yang dipakai pemeriksa, yaitu: (i) kesesuaian dengan standar
akuntansi pemerintahan; (ii) kecukupan pengungkapan; (iii) kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan; dan (iv) efektivitas sistem
pengendalian intern.
Ada empat jenis opini yang dikenal di dunia internasional. Yang paling
dasar adalah pernyataan menolak memberikan opini, lazim disebut disclaimer. Lalu, opini tidak wajar (adversed opinion) dan opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion). Yang tertinggi adalah WTP (unqualified opinion). Dalam WTP, auditor menyatakan bahwa laporan keuangan yang diperiksa disajikan dengan standar akuntansi yang berlaku umum.
BPK sudah mengatur lebih teknis pemeriksaan yang dilakukan dalam
Peraturan BPK No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara.
Celah
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky
Khadafi, termasuk yang melihat salah persepsi di masyarakat dan lembaga
negara tentang WTP. Penilaian BPK terhadap LHP kementerian atau lembaga
negara hanya menunjukkan pengelolaan, tidak memperlihatkan
penyimpangan. Secara administratif bisa dipertanggungjawabkan, tetapi
secara hukum belum tentu. “WTP belum tentu bersih,” kata Uchok kepada hukumonline.
Perbedaan itu sangat mungkin terjadi karena, menurut Uchok, pemeriksaan
tidak dilakukan secara menyeluruh. Meskipun pemeriksa meminta semua
dokumen pendukung, hanya sekitar 26 persen yang diverifikasi tim
pemeriksa. Inilah celah yang menurut Uchok membuat opini WTP bisa
berbanding terbalik dengan korupsi dan penyimpangan. Banyak kasus yang
membuktikan WTP di suatu lembaga bukan jaminan bebas korupsi.
Itu sebabnya Uchok berharap agar BPK menjelaskan kepada masyarakat
bahwa WTP tak berarti kelar dari dugaan korupsi. Perolehan WTP adalah
suatu prestasi yang patut dibanggakan. Namun harus diimbangi pandangan
WTP tak menjamin bebas dari praktik korupsi dan penyimpangan.
http://www.hukumonline.com/
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini