Home » » Strategi Kepemimpinan Rasulullah SAW

Strategi Kepemimpinan Rasulullah SAW

Written By Unknown on Saturday, May 25, 2013 | 5/25/2013

Rasulullah SAW adalah sosok agung yang mampu membimbing sekaligus melindungi siapa pun, menjadi penggerak perjuangan pembela kaum miskin, menyayangi siapapun tanpa kecualik. Pribadi beliau layak untuk kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dimulai dari diri kita terlebih dahulu. 
Terimakasih http://dhikalovedhea.blogspot.com/ yang sebagian besar adanya post ini,:


Pertamakualitas moral-personal yang prima, yang dapat disederhanakan menjadi empat, yakni: siddiq, amanah, tabligh, dan fahtanah: jujur, dapat dipercaya, menyampaikan apa adanya, dan cerdas. Keempat sifat ini membentuk dasar keyakinan umat Islam tentang kepribadian Rasul saw. Kehidupan Muhammad sejak awal hingga akhir memang senantiasa dihiasi oleh sifat-sifat mulia ini. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, ia telah memperoleh gelar al-Amin(yang sangat dipercaya) dari masyarakat pagan Makkah. Pentingnya kualitas moral yang prima ini kembali ia tekankan setelah menjadi utusan Tuhan dalam haditsnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Dari Abu Hurairah, Rasul saw. bersabda: Sesungguhnya aku diutus guna menyempurnakan kebaikan akhlak. (H.R. Ahmad, 8595).
Kedua, Integritas. Integritas juga menjadi bagian penting dari kepribadian Rasul Saw. yang telah membuatnya berhasil dalam mencapai tujuan risalahnya. Integritas personalnya sedemikian kuat sehingga tak ada yang bisa mengalihkannya dari apapun yang menjadi tujuannya. Ketika dakwahnya sudah mulai dianggap sebagai gangguan serius oleh masyarakat Makkah, para pemukanya mencoba membujuk Muhammad untuk berhenti. Namun ia dengan tegas menolak setiap bujukan tersebut. Puncaknya adalah ketika kepadanya ditawarkan kedudukan yang tinggi dalam sistem masyarakat Makkah serta sejumlah besar kekayaan material. Pada lazimnya kedua tawaran tersebut akan membuat orang goyah pendiriannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Rasul saw. Dengan sangat tegas namun tetap santun ia menjawab: Kalaupun mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tak akan bersedia menghentikan dakwah Islam. Tidak ada yang dapat dipikirkan oleh para pembesar Makkah lagi untuk membobol benteng integritas Muhammad, dan karena itu mereka pun lalu beralih pada jalan kekerasan. Namun cara ini pun dihadapinya dengan kesabaran yang berbuah keberhasilan.
Ketiga, kesamaan di depan hukum. Prinsip kesetaraan di depan hukum merupakan salah satu dasar terpenting manajemen Rasul saw. Menanggapi sebuah masyarakat yang memberlakukan hukuman potong tangan kepada pencuri dari kelas bawah, tetapi tidak menerapkannya kepada pencuri dari kalangan atas, Rasul saw. dengan tegas bersabda:
وَاللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَاهَا
Demi Allah, kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya. (H.R. Bukhari, 3216)
Keempat, Penerapan pola hubungan egaliter dan akrab. Salah satu fakta menarik tentang nilai-nilai manajerial kepemimpinan Rasul saw. adalah penggunaan konsep sahabat (bukan murid, staff, pembantu, anak buah, anggota, rakyat, atau hamba) untuk menggambarkan pola hubungan antara beliau sebagai pemimpin dengan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Sahabat dengan jelas mengandung makna kedekatan dan keakraban serta kesetaraan. Berbeda dengan, misalnya, murid, staff, atau pengikut yang kesemuanya berkonotasi tingkatan tinggi-rendah. Sahabat lebih bermuatan kerjasama dua arah, saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Sahabat terasa sedemikian dekat, seolah tanpa jarak. Konsep persahabatan memang benar-benar tepat menggambarkan realitas hubungan yang terbina antara Rasul saw. dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah antara lain motivator yang telah membuat para sahabat rela mengorbankan apa saja (seperti jiwa, raga, harta, waktu) demi perjuangan Rasul saw. Sebab di dalam hati mereka merasakan bahwa cita-cita Rasul saw. adalah juga cita-cita mereka sendiri, dan keberhasilan beliau adalah juga keberhasilan mereka.
Kelima, kecakapan membaca kondisi dan merancang strategi. Keberhasilan Muhammad saw. sebagai seorang pemimpin tak lepas dari kecakapannya membaca situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta merancang strategi yang sesuai untuk diterapkan. Model dakwah rahasia yang diterapkan selama periode Makkah kemudian dirubah menjadi model terbuka setelah di Madinah, mengikuti keadaan lapangan. Keberhasilan Rasul saw. dan para sahabatnya dalam perang Badr jelas-jelas berkaitan dengan penerapan sebuah strategi yang jitu. Demikian pun peristiwa pahit perang Uhud, adalah saksi kegagalan dalam menerapkan strategi yang sesungguhnya sudah tersusun rapi dan rinci.
Keenam,  tidak mengambil kesempatan dari kedudukan. Rasul Saw. wafat tanpa meninggalkan warisan material. Sebuah riwayat malah menyatakan bahwa beliau berdoa untuk mati dan berbangkit di akhirat bersama dengan orang-orang miskin. Jabatan sebagai pemimpin bukanlah sebuah mesin untuk memperkaya diri. Sikap inilah yang membuat para sahabat rela memberikan semuanya untuk perjuangan tanpa perduli dengan kekayaannya, sebab mereka tidak pernah melihat Rasul saw. mencoba memperkaya diri. Kesederhanaan menjadi trade mark kepemimpinan Rasul saw. yang mengingatkan kita pada sebuah kisah tentang Umar ibn al-Khattab. Seseorang dari Mesir datang ke Madinah ingin bertemu dan mengadukan persoalan kepada khalifah Umar ra. Orang tersebut benar-benar terkejut ketika menjumpai sang khalifah duduk dengan santai di bawah sebatang kurma. Tak ada tanda-tanda bahwa ia adalah seorang pemimpin besar yang sangat berkuasa—ia tak berbeda dari orang-orang yang dipimpinnya.
Ketujuh, visioner–futuristic. Sejumlah hadits menunjukkan bahwa Rasul saw. adalah seorang pemimpin yang visioner, berfikir dan mereka masa depan. Meski tidak mungkin merumuskan alur argumentasi yang digunakan olehnya, tetapi banyak hadits Rasul saw. yang dimulai dengan kata ‘akan datang suatu masa…’, lalu diikuti sebuah deskripsi berkenaan dengan persoalan tertentu. Kini, setelah sekian abad berlalu, banyak dari deskripsi hadits tersebut  yang telah mulai terlihat dalam realitas nyata. Berikut adalah beberapa contoh hadits futuristik:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Akan datang satu masa ketika orang tak perduli lagi dengan cara apa ia mendapatkan harta, dengan halal atau haram. (H.R. Bukhari, 1941)
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يَدْرِي الْقَاتِلُ فِي أَيِّ شَيْءٍ قَتَلَ وَلَا يَدْرِي الْمَقْتُولُ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ قُتِلَ
Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, akan datang satu masa ketika seorang pembunuh tak tahu lagi kenapa ia membunuh, dan orang yang terbunuh tak tahu kenapa ia dibunuh. (H.R. Muslim, 5177)
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَقُومُونَ سَاعَةً لَا يَجِدُونَ إِمَامًا يُصَلِّي بِهِمْ
Manusia akan mencapai suatu masa ketika suatu waktu mereka berdiri (untuk salat) dan tak menemukan seorang yang bisa menjadi imam. (H.R. Ibn Majah, 972)

Kedelapan, menjadi prototipe bagi seluruh prinsip dan ajarannya. Pribadi Rasul Saw. benar-benar mengandung cita-cita dan sekaligus proses panjang upaya pencapaian cita-cita tersebut. Beliau adalah personifikasi dari missinya. Oleh karena itu ia dengan mudah dimengerti dan dengan berhasil menggerakkan masyarakatnya untuk sama-sama berupaya keras mencapai tujuan bersama. Terkadang kita lupa bahwa kegagalan sangat mudah terjadi manakala kehidupan seorang pemimpin tidak mencerminkan cita-cita yang diikrarkannya. Sebagaimana sudah disebut di atas, Rasul saw. selalu menjadi contoh bagi apa pun yang ia anjurkan kepada orang-orang di sekitarnya.


Selaku umat Islam, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti, mencontoh dan menteladani semua perilaku terpuji Rasulullah yang lebih dikenal dengan istilah akhlakul karimah. Akhlakul karimah tersebut dapat kita temui dalam berbagai literatur baik berupa sirah nabawiyah, riwayat-riwayat sahabat beliau, maupun firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an. Bahkan sebagai pengamal dzikrullah kita telah mengenal dzikir Lathaif, yang merupakan senjata ampuh untuk menanamkan akhlakul karimah dan membunuh berbagai macam akhlak tercela.
Lathaif merupakan bentuk jamak dari lathifah, yang artinya zat yang sangat halus atau lembut. Lathaif yang dikenal dalam amalan thariqat Naqsyabandiyah secara umum adalah sebagai berikut :
Ø  Lathifathul Qalbi: merupakan sentral dari rohaniah manusia dan merupakan induk dari latifah-latifah lainnya. Mazmumahnya (keburukannya) adalah hawa nafsu iblis dan setan, cinta dunia, kafir dan sirik. Mahmudahnya (kebaikannya) adalah iman, Islam, tauhid makrifat dan malaikat
Ø  Lathifatur Ruh : berhubungan dengan paru-paru atau ruh jasmani. Mazmumahnya adalah sifat-sifat yang tidak disukai oleh Allah yaitu sifat loba, tamak, rakus dan bakhil. Sifat mazmumah lathifatur ruh ini juga dikatakan sifat Bahimiyah yaitu sifat binatang ternak yang suka mengikuti hawa nafsu, makan, tidur, seksual bersenang-senang dan segala sifat buruk lainnya. Mahmudahnya, dengan hilangnya semua sifat sifat buruk tadi berganti dengan sifat qanaah yaitu sifat menerima dengan syukur apa yang ditetapkan oleh Allah untuknya, sambil berusaha menurut cara yang wajar sesuai dengan ketentuan syari’at Allah SWT.
Ø  Lathifatus Sir : berhubungan dengan hati kasar jasmani. Mazmumahnya adalah amarah (buas), pemarah, pembengis dan pendendam kesumat. Sifat-sifat itu dikatakan juga sifat Subu’iyah (sifat binatang buas) yang suka berbuat onar, kekejaman, penganiayaan, permusuhan, penindasan, penzaliman dan sebagainya. Mahmudahnya manakala lenyap sifat mazmumahnya, bergantilah dengan sifat kesempurnaan, terutama sifat rahman dan rahim.
Ø  Lathifatul Khafi : berhungan dengan limpa jasmani. Sifat mazmumah latifatul khafi ini dikatakan juga sifat Syaithaniyah yang menimbulkan sifat was-was, khasad dengki, khianat, cemburu, dusta, busuk hati, munafik mungkir janji dan sebagainya. Mahmudahnya sifat syukur, ridho, sabar dan tawakkal.
Ø  Lathifatul Akhfa : berhubungan dengan empedu jasmani. Mazmumahnya adalah segala sifat keakuan antara lain sombong, takabbur, ria, loba tamak, ujub (membanggakan diri) dan segala sifat-sifat keakuan yang lain, seperti akulah yang pandai, akulah yang kaya, akulah yang gagah. Sifat mazmumah lathifatul akhfa ini dikatakan juga sifat Rububiyah atau sifat Rabbaniyah yaitu sifat yang hanya pantas bagi Allah SWT, sebab dialah pada hakekatnya yang memiliki dan mengatur alam semesta ini. Mahmudahnya adalah sifat ikhlas, khusuk, tadarruk dan diam untuk bertafakkur terhadap keagungan dan kebesaran Allah SWT.
Ø   Lathifatu Nafsin Nathiqah :  berhubungan dengan otak jasmani. Mazmumahnya panjang angan-angan, banyak khayal dan selalu merencanakan hal-hal yang jahat untuk memuaskan hawa nafsu. Mahmudahnya nafsul muthmainnah yaitu sifat sakinah, tentram, berfikir tenang.
Ø      Lathifatu Kulli Jasad : Mazmumahnya adalah jahil, lalai, malas dan sebagainya. Mahmudah adalah berilmu dan beramal sesuai dengan syariat dan hakikat.
Share this article :

Post a Comment

Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

Daftar Isi

Recent Post

Download Gratis

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Blogs Aksara - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger