Home » » Ironi Listrik di Lumbung Batu Bara

Ironi Listrik di Lumbung Batu Bara

Written By Unknown on Tuesday, February 26, 2013 | 2/26/2013

Oleh: Abdurrahman
PNS di Tanahbumbu tengah kuliah Program Pascasarjana UI

Tiap hari masih mati lampu? Itulah faktanya yang sering terjadi di Kabupaten Tanah Bumbu.

Seakan sulit dipercaya di tengah pesatnya pembangunan dan berlimpahnya sumber daya alam di Tanah Bumbu, kabupaten baru yang terus menggeliat karena roda perekonomiannya, tidak didukung dengan tersedianya tenaga listrik yang memadai.

Ada puluhan bank yang statusnya bahkan kantor cabang dan kantor cabang pembantu, ruko-ruko besar, mini market, pabrik-pabrik industri, 44 hotel/penginapan, dan banyak kegiatan usaha lainnya, yang kesemuanya memerlukan listrik.

Padahal listrik adalah trigger bagi kelangsungan usaha. Artinya ketersediaan listrik yang mencukupi merupakan salah satu faktor pemicu keberlangsungan suatu usaha. Tanpa listrik sangat sulit untuk beraktifitas. Banyak kegiatan yang sangat menggantungkan pada listrik. Karena listrik merupakan sumber utama penggerak mesin.

Kawasan Batulicin, --sekarang kawasan Simpang Empat-- pada April 2006 hingga sekarang tidak ada perubahan signifikan mengenai permasalahan listrik ini. Indikator permasalahan utama yang menjadi penilaian masyarakat sebagai konsumen listrik adalah seringnya byar pet (listrik mati).

Tidak jarang terjadi listrik mati setiap hari dengan frekuensi yang beragam. Kadang satu kali, dua kali, bahkan tiga sampai empat kali listrik mati dalam sehari. Durasi matinya pun beragam dari 5 menit hingga paling lama 28 jam.

Pada sisi demand atau kebutuhan listrik meningkat, dengan terus dibangunnya komplek perumahan, ruko, kantor-kantor dan pabrik perusahaan. Sementara di sisi supply meskipun meningkat namun kecepatan penambahan ketersediaan daya tidak mampu mengimbangi laju penambahan kebutuhan listrik masyarakat. Oleh karena itu dapat dipastikan pemadaman akan terus dilakukan.

Sampai Kapan?

Pada 2007 silam dalam suatu kesempatan kunjungan ke desa-desa di Kecamatan Kusan Hulu, terdapat desa Hati’if yang tidak mempunyai jaringan listrik PLN. Desa ini berjarak sekitar lima kilometer dari Desa Teluk Kepayang atau 60 kilometer dari Kecamatan Simpang Empat.

Mereka hanya mengandalkan PLTS yang merupakan bantuan dari Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu. Entah mengapa listrik tidak sampai ke Desa Hati’if. Padahal tidak jauh dari sana tepatnya di Desa Teluk Kepayang perusahaan batu bara pada saat itu sedang aktif melakukan kegiatan penambangan, yang nota bene batu bara adalah salah satu bahan pembangkit energi.

Kemana larinya batu bara itu? Ternyata hanya sedikit yang dipergunakan untuk keperluan daerah. Produksi batu bara tersebut sebagian besar dikirim keluar daerah, sebagian dikirim ke pembangkit listrik di Pulau Jawa bahkan dikirim ke luar negeri.

Bukankah ini hal ironi?

Tanah Bumbu secara umum dikenal sebagai daerah penghasil sumber daya alam batu bara yang berkualitas. Namun di Tanah Bumbu sendiri keadaan listrik sangat miris. Sebagian besar wilayah ini dialiri listrik yang bersumber dari pembangkit listrik PLTU Asamasam di Kabupaten Tanah Laut yang menggunakan bahan bakar batu bara.

Kemudian pembangkit listrik tenaga diesel di Pagatan Kecamatan Kusan Hilir, lalu sebagiannya lagi dari pembangkit Tarjun di wilayah Kabupaten Kotabaru yang dibeli PLN dari kelebihan listrik pabrik semen PT Indocement Tunggal Prakarsa.

Berdasarkan pengamatan listrik yang bersumber dari PLTU Asamasam lebih sering mati dibandingkan dari pembangkit listrik di Tarjun. PLTU Asam-Asam sendiri menggunakan tenaga uap dari pembakaran batubara.

Seringnya listrik di wilayah Tanah Bumbu merupakan suatu hal yang sangat tidak mengenakkan.  Menjalani kehidupan di sini menjadi semakin berat di saat harga-harga kebutuhan lebih mahal dibanding di daerah lain terutama di Banjarmasin. Listrik mati terus menghantui masyarakat.

Listrik mati di siang hari, roda perekonomian masyarakat terganggu. Dampaknya, kantor pemerintahan menunda pelayanan kepada masyarakat. Mesin industri berhenti yang terus berdampak pada penurunan produksi. Mesin fotokopi mati. Mesin jahit listrik mati. Fertilizer obat dan alat kesehatan dan vaksin mati dan alat lain yang menggunakan listrik juga menjadi tidak berfungsi.

Jika listrik mati di malam hari, juga tidak kalah gentingnya. Kehidupan menjadi gelap, di tengah malam yang memang gelap, kecuali jika ada sinar bulan. Siswa tidak dapat belajar dengan nyaman, karena suasana gelap. Kekhawatiran orang tua bertambah ketika listrik mati malam hari, sedangkan besok siang ada ulangan. Belum lagi adanya ancaman bahaya kebakaran. Semuanya menjadi tidak nyaman ketika listrik mati.

Ketika di Tanah Bumbu mati listriknya, tidak banyak orang yang protes. Kemungkinan ada dua, yaitu bediam diri atau pasrah, kalau protes pada PLN, toh tidak ada gunanya. Dengan kata lain, tidak ada pengaruhnya.

Kemungkinan kedua adalah acuh karena sudah terbiasa dan benar-benar dianggap sebagai suatu hal lumrah dan tidak menjadi masalah meskipun listrik mati setiap hari.

Sejak 2001 hingga 2005 berdasarkan pengalaman tinggal di Jakarta, dalam rentang waktu tersebut, pernah terjadi listrik padam selama lebih kurang dua jam. Apa reaksi masyarakat Jakarta saat itu. Luar biasa. Sangat responsif. Dunia usaha langsung protes. Pemberitaan di media tidak kalah garangnya. Diperkirakan miliaran rupiah pengusaha merugi karena listrik mati tersebut.

Dua kondisi di atas sangat kontras. Bisa kah Tanah Bumbu terbebas dari pemadaman listrik seperti halnya Jakarta?. Bukankah Tanah Bumbu mempunyai salah satu sumber tenaga listrik, yaitu berupa Batu bara? PLN dalam hal ini mempunyai kewenangan mutlak untuk menjawab pertanyaan ini. Indonesia sudah lebih dari 67 tahun merdeka. Tapi belum terbebas dari belenggu pemadaman listrik.

Pengelolaan sumber energi untuk pemenuhan listrik bagi rakyat Indonesia adalah wewenang yang diamanahkan kepada PLN. Jika supply tidak bisa memenuhi kebutuhan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka sesungguhnya ada sesuatu yang harus dievaluasi dan diperbaiki sistem pengelolaannya.

Di Pulau Jawa yang penduduknya lebih dari 100 jiwa saja listrik bisa tidak mati, padahal miskin sumber daya pembangkitnya. Seharusnya Pulau Kalimantan yang penduduknya hanya sekitar 13 juta dan kaya sumber daya pembangkit listrik, bisa tanpa byar pet. (*)

Share this article :

Post a Comment

Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

Daftar Isi

Recent Post

Download Gratis

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Blogs Aksara - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger