Ikan membusuk dimulai dari bagian kepalanya. Ling
Liong Sik,Presiden Asosiasi China Malaysia
(MCA) barangkali adalah orang yang pertama berucap teori “kepala ikan”
itu.
Teori ‘kepala ikan’ dari Ling juga relevan untuk menjelaskan korupsi
di Indonesia. Masyarakat Indonesia juga punya hukum teori ‘kepala ikan’:
jika ingin membeli ikan segar, maka periksalah dahulu bagian kepalanya.
Kalau kepala ikan itu rusak, maka senyawa kimiawi badan ikan itu turut
busuk.
Presiden sebagai pemegang otoritas tinggi negara ini boleh-lah kita
analogikan sebagai ‘kepala ikan’ tadi. Sebab, image dan aroma harum atau
busuknya negara itu akan pertama kali terendus dari dirinya seorang
Presiden.
Busuknya ‘kepala ikan’ di istana
Pemikiran Ling ini di bidang politik tak kurang hebatnya dengan
pandangan Friederich Nietzsche tentang negara kleptokrasi yang busuk
akibat penguasanya selalu mengkorup harta kekayaan rakyatnya dengan
beratus macam cara dan alasan.
Yang belakangan ini sudah jadi rahasia umum, kalau Istana adalah
sarang para koruptor. Paling tidak ada tiga praktek korupsi kekuasaan
yang sering mereka lakukan: Pertama, political
corruption atau semacam penyalahgunaan kewenangan. Sebagai contoh dalam
kasus Bank Century, pihak Istana lah yang merancang skenario perampokan
Bank tersebut.
Hal itu dikemukakan belum lama ini oleh mantan Ketua KPK, Antasari
Azhar, yang mengaku diundang Presiden SBY ke Istana saat itu. Diruang
kerja Presiden, SBY memimpin rapat untuk membahas skenario pencairan
dana bail-out Rp 6,7 triliun untuk Bank Century dengan modus penyehatan
perbankan.
Dalam rapat itu hadir pula Ketua BPK Anwar Nasution, Jaksa Agung
Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala
BPKP Condro Irmantoro, Menko Polhukam Widodo AS, Pelaksana Tugas Menko
Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sekretaris Negara Hatta
Rajasa, serta Jurubicara Andi Mallarangeng dan Denny Indrayana. Tetapi,
apa yang mereka sampaikan kepada publik: Presiden SBY tengah menghadiri
KTT G20 di Amerika Serikat?
Publik menduga Presiden terlibat dalam kasus kriminalisasi petinggi
KPK, Lumpur Lapindo, korupsi Aulia Pohan dan Taufiq
Kemas, dengan mempengaruhi langkah kepolisian, jaksa dan hakim.
Ini juga terjadi dalam praktek mafia impor minyak ditubuh
Pertamina (unit Integrated Supply Chain/ISC) untuk alasan kebutuhan
energi nasional. Pertamina Trading Energy Ltd (Petral), anak
perusahan Pertamina yang mengadakan minyak impor, disebut sebagai sarang
korupsi. Pembubaran Petral pun berhembus. Komisaris/direksi Pertamina
mulai digeser “the dream team” yang dibentuk Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Peran istana dalam pergantian Direksi Pertamina ternyata bukan untuk
membersihkan Pertamina dari para koruptor dan mafia impor minyak, tetapi
skenario Istana untuk mengambil alih pembelian minyak impor yang
sebesar 275.5 triliun rupiah. Uang tangkapan besar tentunya bagi “the
dream team”.
Kabarnya, berbagai kasus importasi menguntungkan pihak di
Kementerian. Penyalahgunaan kewenangan ini seringkali tidak nampak
karena terselubung mandat kekuasaan.
Kedua, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa (government procurement corruption).
Dalam perkara korupsi yang satu ini sudah terlampau banyak berita orang
Istana yang terseret ke pengadilan. Misalnya, Menko Kesra Agung Laksono
terjerat kasus suap revisi Perda untuk PON di Riau, Menpora Andi
Malarangeng proyek Hambalang, Menakertrans Muhaimin Iskandar proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Menag Suryadharma Ali proyek
pengadaan Al-Quran.
Selain itu, beberapa bekas menteri sebelumnya: Kemenhub Hatta Rajasa
proyek Kereta Api Listrik (KRL) Jepang, Menperdag Mari Elka Pangestu
suap pembelian 15 pesawat MA-60 Xian Aircraft China, Menko Sri Mulyani
kasus Bank Century, Menko Kesra Aburizal Bakrie proyek alat kesehatan
(Alkes).
Menyangkut politisi di parlemen yang berdiri dibarisan partai
pedukung SBY: Setgab menampung 65 persen politisi korup. Partai Golkar
64 orang (36,36 persen), Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen), PPP 17
orang (3,97 persen); PKB 9 orang (5,11 persen), PAN 7 orang (3,97
persen), PKS 4 orang (2,27 persen), dan sebagainya.
Sekalipun menteri kabinet SBY dan politisi Setgab yang glamor dan
korup itu sudah masuk raport KPK, mereka masih berlenggang
bebas. Sepertinya koruptor ini bersembunyi di ketiak Presiden.
Ketiga, regulatory corruption atau korupsi melalui penyalahgunaan
perizinan dan produk undang-undang. Untuk yang belakangan ini,
hampir-hampir tidak pernah masuk dalam kamus pemberantasan korupsi.
Padahal, berita penyalagunaan perijinan semisal impor dan kemunculan
produk legislasi yang sarat penyuapan hampir setiap saat dimuat di surat
kabar.
Membongkar kasus regulatory corruption sangatlah penting, sebab menyangkut bukan saja kerugian negara, tetapi berdampak luas bagi penghidupan rakyat.
Yang nampak dimata rakyat adalah kebijakan impor pangan: beras,
kedelai, bawang, daging, ikan, garam. Kita ambil contoh impor 600.000
ton ikan tahun 2011 untuk alasan kebutuhan konsumsi dan industri ikan
Dalam Negeri. Produksi ikan kita 9 juta ton pertahun atau masih lebih
banyak daripada konsumsi. Lantas buat apa impor ikan? jika kita selalu
kehilangan 3 juta ton ikan atau Rp 30 triliun pertahun akibat dirampok
kapal asing (illegal fishing).
Buka-tutup ijin impor ini ternyata modus ATM penguasa untuk menarik
keuntungan dengan melibatkan 20 perusahaan eksportir ikan yang menguasai
80% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia. Disaat perusahaan
importir nasional dan juga multi-nasional ketiban rezeki,
nelayan-nelayan kita jatuh miskin karena dampak ikan impor.
Juga dalam pembuatan Undang-undang, pihak Asing terang-terang
mendanai. Lembaga asing yang dikabarkan mendanai amanandemen konstitusi
UUD 1945 adalah NDI (Nasional Democratic Institute) yang berada dibawah naungan Gedung Putih Amerika Serikat.
Lembaga USAID (United States Agency for International Development)
juga terlibat dalam melahirkan UU liberal untuk melegalisasi
kolonialisme (Berdikari Online, 13/2/12). Negara imperialis menghendaki
regulasi (UU) yang berpihak pada kepentingan modalnya, sehingga mereka
selalu menginterpensi kebijakan politik dan regulasi di negara lain.
Jika 1 Oktober lalu, USAID diusir Pemerintah Rusia karena berusaha
mencampuri politik Rusia, maka di Indonesia lembaga ini dipuja-puji.
Sekalipun USAID terlibat persekongkolan dalam melahirkan UU dengan cara
koruptif, KPK belum sekalipun menyentuhnya. Bukan tak mungkin Presiden
yang turut mengesahkan UU tersebut ikut menikmati dana suap USAID.
Tentang perilaku korupsi sekarang ini kita patut cemas, karena
Indonesia ternyata sudah kategori negara kleptokrasi, yakni negara yang
diperintah oleh para pencuri (klepto). Saking-banyaknya kasus korupsi
orang-orang dilingkaran Istana, image Presiden seakan tampil sebagai
“pembina daripara koruptor itu”, yang gemar menampung politisi klepto di
Istana.
Mengubur praktek korupsi
Sejak awal rakyat pisimis. KPK dianggap tak bernyali membongkar
korupsi di Istana, apalagi kalau itu sudah menyangkut ‘kepala ikan’; KPK
getar-getir dan terpaksa menggunakan strategi “memakan bubur dari
pinggir”.
KPK memberikan pesan kalau lembaga superbody pun sudah mengangkat
bendera putih dari awal. Pengadilan pun tak akan bernyali untuk
mengatakan kalau ‘kepala ikan’ sudah busuk, kubur saja di pekarangan
koruptor.
Eksekusi mati buat koruptor yang diusulkan kalangan: politisi,
akademisi, ulama sampai aktivis, pasti gagal dilaksanakan. Niat baik itu
bakal mandul ditangan mafia peradilan atau akan bernasib seperti KPK
yang kewenangannya bakal dibonsai kekuasaan politik parlemen.
Daripada sibuk mencari tiang gantungan buat koruptor, usulan hukuman
mati itu lebih baik digantikan dengan hukuman penyitaan harta koruptor!
Karena sang klepto, dengan hukuman mati hanya merasakan
siksanya sekaratulmaut dalam beberapa detik saja, ini tidak memberi efek
jera buat politisi yang sudah ekstasi mencuri (kleptomania).
Hukuman penyitaan semua harta koruptor ini untuk membuat hidup mereka
miskin seperti gelandangan. Para klepto ini akan tersiksa sepanjang
hidupnya karena dibuat bangkrut. Rod Blagojevich, mantan Gubernur
Illionis AS, merasakan hal itu sesudah kasus suap jabatan Senator Obama
terbongkar, pengadilan Federal Illionis menjatuhkan vonis 14 tahun
penjara dengan denda lebih besar dibanding uang hasil suap. Aset
terdakwa juga disita dan pengadilan pun terus melacak harta kekayaan
terdakwa baik di dalam maupun diluar negeri.
Pengalaman pemberantasan korupsi seperti itu untuk Indonesia tentu
belum cukup, karena politisi klepto memiliki relasi dengan pengusaha dan
politisi yang senang menunggangi kekuasaan untuk memperkaya diri. Di
Kuba, negara memungkinkan untuk mencabut hak politik para koruptor.
Disini kita usulkan: koruptor yang vonisnya terbukti, selama 15 tahun
tidak boleh terjun dipolitik dan memegang tampuk jabatan diperusahaan
milik negara.
Supaya perang anti-korupsi ini terus berkobar dihati rakyat, maka
pemberantasan korupsi ini mesti menyentuh sumber kemiskinan dan
kepentingan nasional. Rakyat akan berpartisipasi melawan korupsi jika:
pertama, penyitaan uang hasil tangkapan korupsi itu dikhususkan untuk
menjamin subsidi makanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih
buat rakyat, itu harus diatur didalam Undang-undang Anti-Korupsi.
Kedua, strategi pemberantasan korupsi diarahkan untuk membongkar
kasus korupsi disektor strategis yang menyentuh kepentingan nasional (national interest) seperti
sektor pertambangan dan perbankan yang dikuasai asing, serta sektor
yang menopang penghidupan ekonomi rakyat banyak seperti
pertanian/perkebunan. Sebab, di sektor inilah pelarian modal sangat
besar dan pembangunan tenaga produktif rakyat bergantung.
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini