Bagi yang pernah ke Iran, tinggal dalam waktu yang lama atau sekedar
berziarah dan berkunjung dalam waktu yang singkat, dan menyempatkan diri
untuk turut shalat berjama’ah di masjid-masjid besarnya, niscaya tidak
akan luput dari fenomena, banyaknya anak-anak balita dan yang belum
baligh yang turut terselip diantara jam’ah yang jumlahnya untuk mesjid
besar sampai ribuan orang.
Ke Masjid atau berziarah ke Haram (areal
pemakaman wali-wali Allah) menjadi agenda rutinitas masyarakat muslim di
Iran, mereka seringkali membawa seluruh anggota keluarga untuk shalat
berjama’ah atau berziarah ke makam-makam suci yang mereka agungkan. Di
saat-saat menunggu waktu masuknya shalat, anak-anak dengan mudah kita
temui berkeliaran, di dalam masjid bukan hanya di halamannya,
berkejaran, atau sekedar berteriak-teriak yang bagi kita tidak jelas
maknanya. Bahkan aktivitas mereka tidak terhenti meskipun jama’ah telah
berderet rapi dalam shaf, mereka tetap saja berkeliaran diantara jama’ah
yang sedang sibuk dengan gerak-gerak shalatnya, meskipun karena sempat
‘dipaksa’ untuk berdiri di samping orangtua masing-masing, mereka hanya
antusias mengikuti gerak shalat orangtuanya di awal-awal gerakan,
setelah itu, mereka lebih memilih untuk melakukan gerakan kreativitas
sendiri yang terkadang sangat menggelikan.
Saya terkadang bertanya-tanya, apa motivasi orang-orang Iran membawa
anak-anak mereka ke masjid, yang bahkan masih dalam usia mingguan?.
Apakah mereka tidak terganggu dengan tingkah lucu anak-anak kecil yang
terkadang sampai di luar batas kewajaran sehingga sangat mengganggu dan
menyebalkan?. Apa mereka tidak khawatir tangisan ataupun teriakan
gembira anak-anak kecil mengganggu kekhusyukan peribadatan mereka?.
Bukankah mesjid merupakan tempat yang sakral dan membebaskan anak-anak
bermain di dalamnya dapat mengurangi kesakralan mesjid dan dapat
dikategorikan tindakan tidak menghormati masjid?. Entahlah, yang pasti
saya sempat shalat, diantara mereka yang membawa anak-anak kecil usia
2-3 tahunan, sewaktu dalam posisi berdiri untuk shalat, 2-3 anak
berkumpul di depanku, di atas sajadah yang aku berdiri di atasnya,
mereka memandangiku bersama-sama. Mungkin merasa aneh dengan wajahku
yang asing dengan orang-orang sekitar yang mereka lihat. Shalatku yang
memang sulit khusyuknya menjadi lebih sulit lagi, belum lagi sewaktu mau
rukuk, saya sempat memandangi wajah mereka sambil membelalakkan mata
sebagai isyarat mereka menjauh dari tempat sujudku, mereka justu tertawa
cekikikan bersama. Saya hanya mampu menghalaunya dengan tangan, ketika
mereka tetap tidak mau bergeser. Bagaimanapun saya merasa benar-benar
terganggu dengan kehadiran anak-anak kecil itu. Untuk shalat-shalat
selanjutnya setiap ke masjid, saya memilih shaf yang tidak ada anak
kecil terselip di situ.
Keherananku atas kebiasaan mereka, sedikit terjawab setelah menemukan
beberapa riwayat dari Nabi SAW yang akan saya jabarkan satu-satu.
Imam Bukhari memuliskan dalam kitab shahihnya, pernah Rasulullah
menggendong cucunya, Umamah putri Zainab. Padahal ketika itu beliau
sedang shalat.
Abu Qatadah berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah saw, sedangkan
Umamah binti Abi Al-Ash berada di atas bahu Rasulullah (digendong). Lalu
beliau shalat. Ketika beliau rukuk, maka Umamah diletakkan, dan ketika
beliau bangun dari rukuk, maka Umamah diangkat kembali.” (HR. Bukhari).
Saya tertegun ketika membaca riwayat ini. Betapa agungnya Islam dalam
pembentukan nilai-nilai tauhid dan religiusitas bagi anak-anak sejak
dini. Shalat yang merupakan ritual ibadah ubudiyah yang paling sakral
yang menghubungkan antara manusia dengan sang Khalik, namun tetap tidak
mengabaikan suasana hati anak-anak kecil, mereka tetap harus
digembirakan dengan tetap menggendongnya dalam keadaan shalat
sekalipun. Betapa dekatnya Nabi SAW dengan anak-anak kecil sampai Nabi
dalam keadaan shalatpun tetap mengizinkan cucu-cucu kesayangannya Hasan
dan Husain, untuk menunggangi punggungnya ketika beliau sedang sujud,
dan dalam keadaan memimpin jama’ah shalat. Abdullah bin Zubair berkata,
“Aku ingin bercerita kepada kalian tentang orang yang paling mirip
dengan Rasulullah SAW dan paling beliau cintai, yaitu Al-Hasan bin Ali.
Suatu hari aku melihat Rasulullah SAW sedang bersujud, tiba-tiba
Al-Hasan datang dan menaiki leher atau punggung beliau. Rasulullah SAW
tidak menurunkannya. Beliau menunggu sampai cucu kesayangannya itulah
yang turun dari punggung beliau. Aku juga pernah melihat Rasulullah SAW
sedang ruku’ lalu Al-Hasan datang dan keluar-masuk di antara dua kaki beliau.”
Betapa agungnya akhlak Nabi dan betapa jauhnya kita dari petunjuk
beliau. Karena sulit khusyuk, kita halau anak-anak kita dari masjid dan
tempat kita shalat. Kita larang mereka masuk masjid karena tidak mau
terganggu tangis dan teriakan gembira mereka. Kita hardik dan ancam
mereka jika tetap berlarian kesana kemari di dalam masjid. Kita marah
dan geram dengan gerakan-gerakan lucu dan jenaka mereka yang mengikuti
gerakan shalat kita, kita anggap itu penghinaan terhadap kesakralan
shalat. Dan kita mendongkol, karena ketidakpahaman mereka, bahwa
mengikuti bacaan imam cukup dengan lipsinch, tidak harus turut bersuara apalagi sampai terdengar keseantero masjid.
Kita mungkin pura-pura lupa, bahwa Nabi SAW memendekkan shalatnya
ketika memimpin shalat berjama’ah bukan karena terganggu oleh
terdengarnya tangisan bayi, namun karena khawatir dengan kerisauan ibu
sang anak.
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW berkata, “Aku
betul-betul ingin shalat berlama-lama. Tetapi aku kemudian mendengar
tangisan seorang bayi. Maka aku segerakan shalatku karena aku tahu
ibunya sedih mendengar tangis bayinya”. (HR. Bukhari-Muslim).
Nabi
SAW memilih memendekkan shalatnya, bukan karena terganggu tangisan
bayi dan tidak pula melarang ibu-ibu membawa anak-anaknya ke masjid di
waktu-waktu shalat berikutnya, namun lebih karena paham akan kerisauan
hati sang ibu akan tangis anaknya.
Walhasil, Nabi SAW seolah memesankan, jangan buat anak-anak
kita trauma dengan shalat dan jauh dari masjid karena hardikan kita
untuk menenangkan kelakuan mereka. Teriakan, tangis dan keributan yang
diperbuat anak-anak dalam masjid masih jauh lebih baik dibanding jauhnya
hati-hati mereka dengan masjid. Nabi SAW adalah sebaik-baik contoh
dalam hal ini dan sayangnya, saya melihat realitas praktiknya di
masjid-masjid Iran bukan kebanyakan di masjid-masjid di tanah air,
apalagi di Haramain, Makkah dan Madinah (lewat video-video
shalat yang kita lihat dengan bacaan shalat yang super panjang dan
lama). Jika berkesempatan, kunjungilah Iran, shalatlah di masjid-masjid
besar mereka. Kalian akan menemukan tiga fenomena, banyaknya anak-anak
kecil yang berlarian kesana kemari, keriuhan tangis dan teriakan anak
kecil yang mengalahkan suara imam, dan imam shalat dengan bacaan
surahnya yang super pendek.
Wallahu ‘alam bishshawwab
Sumber: Telaga Hikmah
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini