Home » » KEMENANGAN ini tak perlu perayaan.

KEMENANGAN ini tak perlu perayaan.

Written By Unknown on Tuesday, October 09, 2012 | 10/09/2012

Oleh: Mujiburrahman

“KEMENANGAN ini tidak perlu perayaan. Ini bukan perlombaan. Kemenangan adalah tanggung jawab, amanah untuk melaksanakan tugas. Saya harus siap bekerja.”

Demikian kurang lebih petikan pernyataan Joko Widodo (akrab dipanggil Jokowi) menanggapi pertanyaan wartawan perihal hasil hitungan cepat yang menunjukkan kemenangannya dalam Pemilukada DKI Jakarta, Kamis (20-9-2012) lalu.

Dalam pemilukada ini, Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama, yang biasa dipanggil Ahok. Sebelum ikut bersaing di Jakarta, keduanya sudah dikenal sebagai pemimpin yang berprestasi di tingkat kota/kabupaten. Jokowi adalah Wali Kota Solo dan Ahok adalah mantan Bupati Belitung Timur. Mereka dinilai publik sebagai pemimpin yang mampu, jujur dan melayani rakyat.

Wawancara tatap muka yang dilaksanakan Kompas (21-9-2012) secara acak kepada 600 pemilih pascamencoblos, menunjukkan bahwa masyarakat memilih Jokowi-Ahok karena keduanya dinilai memiliki integritas moral (78,5%), mempunyai ketegasan/keberanian (75%), dan aspiratif (80,5%). Ini berarti, rekam jejak keduanya, menjadi faktor yang sangat menentukan kemenangan mereka.

Pernyataan Jokowi bahwa kemenangan tidak perlu dipestakan karena jabatan adalah tanggung jawab, sungguh penting. Inilah gambaran ideal seorang pemimpin. Ia menawarkan diri kepada para pemilihnya, untuk mengemban tanggung jawab. Ketika para pemilih mempercayainya, ia pun menang. Tetapi kemenangan itu bukan kenyamanan, melainkan beban berat yang harus dipikul.

Sebenarnya, kita sudah sering mendengar ungkapan bahwa jabatan adalah amanah atau tanggung jawab. Tetapi ungkapan ini seringkali terasa kosong, menguap di udara tanpa arti, setelah kita menyaksikan para pemimpin yang korup dan menipu rakyat. Akibatnya, pemimpin yang benar-benar bertanggungjawab seolah hanya mimpi indah, yang tak ada kenyataannya di muka bumi ini.

Hal ini diperparah lagi oleh sikap para pemilih, yang juga tidak bertanggung jawab. Mereka memilih seorang pemimpin bukan karena kemampuannya dan prestasinya dalam bekerja, melainkan karena kepentingan jangka pendek si pemilih. Misalnya, ia memilih seseorang yang mau membeli suaranya dengan sejumlah uang, atau calon yang berjanji akan memberinya jabatan.

Kenyataan di atas, membuat orang-orang baik menjadi frustrasi dan putus asa.

Suatu hari, saya bertanya pada seorang kawan yang malang melintang di dunia politik.

“Apakah mungkin di zaman sekarang, seorang pemimpin yang bersih dan idealis akan terpilih?”

Dia menjawab kecut. “Hampir mustahil. Sekarang, baik calon pemimpin atau para pemilihnya, semua Dajjal!”

Namun, dunia ini ternyata tidak semuram itu. Jika hasil survei Kompas di atas bisa dijadikan acuan, maka kita dapat menyimpulkan bahwa para pemilih masih banyak yang kritis dan sadar, sehingga mereka memilih calon yang dinilai memiliki integritas moral, keberanian dan aspiratif. Pemilukada Jakarta, memberikan kita secercah harapan di balik awan gelap politik negeri ini.

Akankah pengalaman Jakarta menular ke daerah-daerah lain? Jakarta memang pusat perubahan politik, sosial dan budaya bangsa kita, bahkan sejak zaman kolonial Belanda. Tetapi masih terlalu dini untuk meramalkan perubahan serupa akan terjadi di mana-mana. Apalagi kita semua tahu, hampir dalam semua hal, kesenjangan antara pusat dan daerah di negara kita masih sangat lebar.

Namun, apapun yang kelak terjadi di daerah-daerah, semua itu tidak terlepas dari hubungan timbal balik antara pemimpin dan rakyat yang memilihnya. Rakyat yang baik dan sadar, akan memilih pemimpin yang baik dan bertanggungjawab. Pemimpin adalah cermin dari rakyatnya, dan rakyat adalah cermin dari pemimpinnya. Inilah demokrasi. Inilah artinya kedaulatan di tangan rakyat.

Alkisah, seseorang mengkritik khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib. “Mengapa ketika Abu Bakar, Umar dan Usman berkuasa, masyarakat aman dan damai, tetapi ketika Anda menjadi khalifah, masyarakat terpecah belah, bahkan berperang satu sama lain?” “Ketika itu, yang menjadi rakyatnya adalah saya. Sedangkan sekarang, yang menjadi rakyatnya adalah kamu!” jawab Ali tegas. (*)
Share this article :

Post a Comment

Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

Daftar Isi

Recent Post

Download Gratis

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Blogs Aksara - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger