ALQOIMKALTIM.COM- Di kalangan aktivis LSM Kalimantan
Selatan, lelaki kelahiran Barabay, 15 September 1966 ini biasa
dipanggil Habib Ali. Dari namanya mudah diketahui ia berdarah Arab dari
garis Al-Habsyi, nama sebuah klan. Saya beruntung dalam sebuah
kesempatan awal tahun lalu, tepatnya 26 Februari 2008, bisa menemui
lelaki ramah dan terbuka ini.
Ditemani Ghazali salah seorang teman aktivisLembaga Kajian
Keislamandan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin, kami menemui Habib Ali di
sekretariat Baitul Mal Wattamwil (BMT) Ar-Ridha, tak jauh dari Pasar
Martapura. Dengan berkendara motor, dari kota Banjarmasin butuh waktu
hampir sejam untuk sampai ke tempat itu. Kami tiba menjelang siang.
Saat memasuki Kabupaten Banjar, aura islamisasi terasa kental. Di
gapura gerbang wilayah yang menghadang perjalanan menuju Kabupaten
Banjar tertera ucapan Selamat Datang menggunakan dua versi bahasa:
Indonesia dan Arab Melayu. Dan hampir semua papan nama instansi
pemerintah di sisi kiri-kanan jalan saya lihat menggunakan dua bahasa.
Di kabupaten ini pemandangan tersebut terjadi berkat “kerja
keras”Rudy Ariffin, Bupati Banjar periode 2000-2004. Rancangan peraturan
daerah (raperda) yang diajukannya disetujui DPRD setempat. Tokoh yang
berlatar belakang Nahdliyin dan dekat dengan tokoh agama setempat itu
sukses meraih simpati warganya. Modal itu yang digunakannya menuju kursi
Gubernur yang sekarang dipegang untuk periode 2005-2010. Sejumlah
aktivis di Kalimantan Selatan, termasuk LK3 mengkritik keras usaha Rudi
Arifin dan para politisi di DPRD itu. Mereka menganggapnya bagian dari
formalisasi agama yang dapat mengancam pluralitas masyarakat Kalsel.
”Saya sudah bosan di LSM. Sudah puluhan tahun. Kalau tidak ada
proyek, tidur. Saya berpikir mengapa kita tidak mandiri saja? Kita kan
punya pasar, masjid, lahan, ada kelompok,” jawab Ali Al-Habsyi ketika
saya tanya mengapa tertarik menekuni BMT. Di sebuah kedai minuman
pinggir jalan, ditemani jus jambu, kopi, dan beberapa panganan ringan,
ia berkisah panjang lebar tentang pengelolaan ekonomi umat, termasuk isu
pluralisme, dan gerakan sosial keagamaan di Kalimantan Selatan.Beberapa
jam bertemu lelaki ini, saya bisa merasakan bahwa Ali Al-Habsyi dikenal
baik oleh masyarakat. Sejumlah orang yang berpapasan biasa memberi salam.
Mulai tahun 90-an Ali Al-Habsyi memang sudah malang melintang di
dunia NGO lokal. Salah satunya Kompas Borneo. Setelah itu pernah aktif di
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan, dan LK3. Sampai
sekarang ia masih menjalin komunikasi inten dengan para aktivis
kelompok-kelompok tersebut.
Ia memulai aktivitasnya mengembangkan potensi ekonomi akar rumput itu
lewat pemberdayaan BMT masyarakat pada tahun 1997. ”Saya bikin proposal
lalu menenui banyak orang dan bicara kepada mereka mengenai BMT
termasuk meminta mereka menitipkan uangnya untuk dikelola. Alhamdulillah
berhasil,” kenangnya.
Sebelum memiliki kendaraan motor yang baru bisa dibeli tahun2002, ia
biasa berjalan kaki berkilo-kilo untuk menawarkan dan mengelola kegiatan
ekonomi. Bersama Jahirudin, temannya di Kompas Borneo, mereka berbagi
peran. Jahirudin di dalam, Ali yang bertugas di jalanan sebagai
marketing.
Dari aktivitas inilah ia mulai banyak terlibat di sejumlah
pendampingan dan pengelolaan BMT. Di antaranya menjadi salah seorang
pendiri BMT NU Banjarmasin yang kini beromset sekitar 7 milyar dengan
anggota kebanyakan pedagang kecil pasar Martapura. Selain itu BMT
Muhammadiyah Surya Sekawan, BMTMasjid Al-Karomah, KUB Alpa Salam
Landasan Ulin beranggotakan 87 orang para petani sayur, dan KUB di
Astambun dengan dana bergulir 25 juta rupiah.
Tak puas dengan itu, tahun 2002 ia mendirikan BMT yang dikelolannya
sendiri. Namanya BMT Ar-Ridha Martapura. Modal awalnya 54 juta
rupiah.DariHabib Abu Bakar Al-Athas salah seorang tokoh agama setempat
35 juta, dan 19 juta dari kantong pribadinya. Sekarang BMT
ini sudah memiliki omset sekitar 5 milyar. Dana outstanding 1 milyar, 500
juta dalam bentuk kas. Selebihnya berbentuk tanah dan bangunan. Dalam
pengelolaannya ia dibantu lima karyawan yang digaji sesuai UMP sekitar
800 ribu rupiah.
Umumnya anggota BMT Ali ibu-ibu warga sekitar Martapura.
Untuk kategori mudharabah (bagi hasil) sudah mencapai 1500 orang, 1000
santri yang menabung, dan 1000 orang tercatat sebagai penabung Gula
Ramadhan. Gula Ramadhan merupakan tabungan 1000 rupiah setiap minggu yang
akan diambil menjelang Ramadhan. Ada pula Tabungan Zarah ke Jawa yang
minimal diikuti 60-an orang.
Ali Al-Habsyi sengaja memilih target ibu-ibu karena dianggap sebagai
kelompok paling strategis. Alasannya pertama, kebanyakan ibu-ibu adalah
yang memegang uang rumah tangga. Kedua, ketimbang kaum bapak, kaum ibu
lebih aktif seperti mengikuti pengajian, arisan dan lain-lain. Ketiga,
mereka rata-rata yang mengelola manajemen ekonomi keluarga. ”Kalau
mereka boros, rumah tangga bisa berantakan”.
Sebagian anggota BMT tak semuanya muslim. ”Hindu Bali, Katolik, juga
ada”. Namun buatnya perbedaan itu bukanlah masalah. Islam, katanya,
menghargai kemanusian sebab berasal dari nabi yang sama: Nabi Adam.
”Saya percaya, mereka yang beramal saleh, siapa saja, pasti akan
mendapat pahala dari Allah. Wa man ay-ya`mal mitsqal al-ladzaratin
khairan yarah, Wa man ay-ya`mal mitsqal al-ladzaratin syarran yarah
(barang siapa berbuat kebaikan meski sebiji zarah pasti terlihat, dan
barang siapa berbuat keburukan meski sebiji zarah pun akan tetap
terlihat). Dalam tataran sosial tidak ada istilah kafir. Soal aqidah?
Lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku)”.
Hasil usaha puluhan tahun itu sudah dirasakan dampaknya. Masyarakat
sekitar sudah mulai gemar menabung. Mereka juga telah terbiasa menabung
dulu sebelum dibelanjakan. ”Bahkan ada orang tua santri yang menitipkan
uang untuk diambil tiga tahun kemudian setelah anaknya lulus dari
pesantren,” kata Ali memberi contoh.
Untuk meyakinkan masyarakat menabung di BMT, mula-mula Ali masuk ke
pengajian-pengajian dan bersilaturrahim dengan tokoh agama setempat.
Dengan latar belakang kultur keagamaan yang kental, Ali berpikir bahasa
dakwah akan lebih mengena. Karena itu ia mulai bicara tentang konsep
mensyukuri nikmat dengan cara menabung. Tak hanya bahasa dakwah, ia juga
memakain bahasa rasional dan logis dengan contoh-contoh. ”Misalnya Ibu
Tuti itu mulanya kaya. Tapi dia boros dan banyak utang. Sekarang Jatuh
miskin. Ibu Safiah penjual jamu sekarang bisa kaya karena menabung. Bisa
membuat rumah kontrakan dan menyekolahkan anak-anaknya”
Pengalaman pengelolaan ekonomi mikro didapat Ali Al-Habsyi dari
berbagai pelatihan. Ia pernah mengikuti pelatihan pengelolaan ekonomi
mikro oleh BPRS Kalsel selama tiga bulan di Bandung, sempat magang di
Bank Muamalat di Jakarta atas biaya Pemda setempat selama dua bulan,
pelatihan ekonomi mikro dan simpan pinjam disponsori LPMA bekerja sama
dengan Credit Union.
Ia juga punya pengalaman sebagai konsultan dibeberapa program ekonomi
mikro. Salah satunya konsultas progrma Bank Dunia untuk ekonomi Mikro di
Kalsel sejak 2003-2006. “Mau ditambah ngga mau”. Konsultan untuk
program subsidi BBM Kabupaten Banjar tahun 2000-2003.
Di luar aktivitas ekonomi sekarang, ia juga mendampingi sekitar 90
orang pamulungd i wilayah Martapura, dan sekitar 100 para pedagang kaki
lima Murjani Banjarbaru sejak tahun 2000 waktu ada isu pembunuhan anak
jalanan. Sudah setahun ini mantan aktivis HMI Unlam itu menggelar
pengajian bagi sekitar 50 orang anak-anak punk yang diberi nama
Pengajian Kaki Langit di trotoar-trotoar jalan. Mereka sering melakukan
pengajian santai di tempat terbuka. Rumahnya yang bisa ditempuh 10 menit
menggunakan sepeda motor dari Pasar Martapura menjadi basecamp bagi
kelompok-kelompok dampingannya.
Ia sendiri sangat sadar usahanya ini hanya bagian kecil, bahkan tak
ada apa-apanya, dari usaha untuk memperbaiki negara yang kata Ali Habsyi
tak punya cukup visi jauh ke depan. Tapi ia percaya jika banyak orang
mau berbuat sesuatu pasti akan bisa merubah sesuatu ke arah yang lebih
baik. Negeri ini menurutnya punya kemampuan untuk mandiri, namun
lantaran sistem tak mendukung justru terpuruk. ”Sistem kita lebih banyak
sistem pragmatis!”
Sumber: majalah Majemuk, Edisi 37 Maret-April 2009 hal. 51-54
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini