Jumat, 28 September 2012 - 17:04
Siapa yang tidak kenal Kiai Haji (KH) Mustofa Bisri, Rois Aam Nahdatul Ulama yang biasa disapa Gus Mus merupakan pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Thalibin Leteh Rembang. Pria yang memiliki nama lengkap Achmad Mustofa Bisri merupakan putra dari pendiri Pondok Pesantren Raudlatuh Thalibin KH Bisri Mustofa yang didirikan pada tahun 1941. Pada pelaksanaan kegiatan Pajak Goes To Pesantren Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah I yang dilaksanakan pada saat ramadhan lalu, kontributor mendapat kesempatan mewawancarai Gus Mus secara langsung.
Menurut Gus Mus salah satu kewajiban manusia sebagai makhluk sosial adalah membayar zakat, zakat sendiri pada negara-negara Islam diatur tentang siapa yang berhak membayar zakat, tarif atas pengenaan zakat, dan siapa pula yang berhak menerima zakat. Sebaliknya, Indonesia adalah negara Pancasila bukan merupakan negara agama bukan pula negara sekuler sehingga atas pungutan kepada rakyatnya adalah berupa pajak namun zakat dapat pula dijadikan sebagai pengurang pajak. Beberapa kalangan ulama menyatakan bahwa jika seseorang  tidak mau membayar zakat, maka pada saat membayar pajak bisa sekaligus diniati berzakat.
Sebenarnya pajak itu merupakan perwujudan dari "Tepo Seliro" sama halnya dengan zakat, karena dari kelebihan harta seseorang untuk diambil sebagian yang kemudian diberikan kepada yang membutuhkan. Hal ini yang harus terus disosialisasikan agar rakyat tidak berfikiran bahwa pajak itu seperti upeti pada jaman belanda dulu, oleh karena itu pemerintah harus bijaksana dalam menerapkan aturan2 pajak sehingga rakyat memiliki kepercayaan kepada pemerintah maka rakyat menjadi sukarela dalam membayar pajak ungkap Gus Mus.
Sebagaimana kita ketahui bersama, zakat, lebih dari sekadar kewajiban sebagaimana pandangan umum, adalah koreksi mendasar terhadap konsep pajak lama, baik yang berlaku dalam sistem kekuasaan feodal raja-raja maupun dalam sistem kapitalisme modern dewasa ini. Dalam sistem kekuasaan feodal, pajak adalah persembahan (upeti) untuk raja tanpa memedulikan nasib rakyat. Sedangkan dalam sistem kapitalisme modern, pajak dipandang sebagai "imbal jasa" (jizyah) antara wajib pajak dan penguasa, sehingga negara pun cenderung lebih sebagai alat kaum kaya untuk melipat-gandakan kekayaan mereka belaka. Mengacu kepada Sunnah Nabi pada awal sejarah Islam, berbagai ulama NU meyakinkan kita bahwa zakat tidak lain adalah konsep etik keadilan transendental tentang perpajakan oleh negara di mana kaum kaya melepaskan sebagian kekayaannya untuk dibelanjakan bagi kemaslahatan bersama, dengan prioritas kaum yang lemah tak berdaya.
Zakat sebagai konsep pajak redistributif ini, tidak hanya relevan untuk menyeimbangkan kesejahteraan antar-warga atau antar-daerah dalam satu lingkup negara. Bahkan, konsep ini sudah saatnya juga dikaji penerapannya untuk menyeimbangkan kesejahteraan antar negara dalam lingkup global. Sesuai dengan spirit keadilan menurut Al Quran: "Agar kesejahteraan di bumi Allah ini tidak hanya beredar di antara orang-orang yang kaya."
Sebagai seorang fiskus kita harus memiliki komitmen kepada diri kita sendiri. Kita bekerja untuk kepentingan bersama dan membantu orang yang perlu dibantu. Kita sebagai pegawai dalam berkerja tergantung pada niat, ada beberapa oknum yang bekerja tidak hanya untuk dirinya semata, dia mengambil kesempatan dengan memperkaya diri sendiri hal ini yang harus dihindari disamping akan mengurangi kepercayaan dan tidak menjadi barokah, tandas Gus Mus.
Gus Mus berpesan bahwa seorang pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang dicintai oleh yang dipimpin dan mencintai yang dipimpin. Seorang pemimpin yang dicintai berarti dipercaya oleh yang dipimpin karena dia mencintai yang dipimpin, sedangkan pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang tidak dicintai oleh yang dipimpin.