Peraturan
Presiden No. 54/2010 yang telah dirubah kedua kali dengan Peraturan
Presiden No. 70/2012 menyusun aturan pengadaan atas prinsip dan
kebijakan. Konsepsi ini menurut saya mirip sekali dengan konsepsi
perintah shalat bagi umat Muslim.
Shalat
secara prinsip wajib 5 waktu. Ini artinya setiap umat muslim wajib
melaksanakan shalat 5 waktu dalam kondisi apapun. Kemudian disusun rukun
atau tata cara baku yang telah ditentukan. Misal Dhuhur dan Ashar
masing-masing 4 rakaat dan seterusnya. Simpulnya wajib 5 waktu dengan
jumlah rakaat yang telah ditentukan.
Namun
dalam kondisi tertentu disisi cara atau metode terdapat kebijakan.
Misal apabila umat muslim dalam perjalanan atau sebagai musafir maka
tata cara bahwa Dhuhur dan Ashar masing-masing 4 rakaat dapat dirubah.
Yaitu disisi waktu Dhuhur dan Ashar dikerjakan pada salah satu waktu
dengan Jama’ takdim atau takhir. Kemudian masing-masing rakaat di Qashar
menjadi hanya 2 rakaat.
Apakah
ini berarti prinsip shalat 5 waktu telah dilanggar? Tentu tidak karena
prinsip shalat fardhu 5 waktu tetap terlaksana. Hanya metode
pelaksanaannya saja yang berbeda karena alasan kondisional tertentu.
Tanpa didukung alasan tertentu maka pelaksanaan kebijakan tentunya tidak
diperbolehkan. Masa shalatnya di Jama’ terus padahal waktunya
mencukupi.
Konsepsi
ini pula yang dapat ditangkap dalam Perpres 54/2010. Prinsip pengadaan
barang/jasa pemerintah adalah efisien, efektif, transparan, terbuka,
bersaing, adil tidak diskriminatif dan akuntabel. Pemenuhan seluruh
prinsip ini diwakili oleh metode pengadaan pelelangan/seleksi umum. Ini
dapat dibaca pada:
Pasal
36 ayat (1) Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
pada “PRINSIPNYA” dilakukan melalui metode Pelelangan Umum dengan
pascakualifikasi.
Pasal 42 ayat (1) Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi pada “PRINSIPNYA” dilakukan melalui Metode Seleksi Umum.
Kemudian
dalam kondisional tertentu disusunlah berbagai kebijakan yang disusul
dengan metode yang merupakan implementasi dari poin-poin kebijakan
tersebut. Setidaknya ada 12 kebijakan umum pengadaan barang/jasa. Dari
12 kebijakan ini diturunkan ke dalam metode pengadaan:
-
Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya :
-
Pelelangan Terbatas
-
Pelelangan Sederhana/Pemilihan Langsung;
-
Penunjukan Langsung;
-
Pengadaan Langsung;
-
Kontes/Sayembara
-
-
Pemilihan Penyedia Jasa Konsultan:
-
Seleksi Sederhana;
-
Penunjukan Langsung;
-
Pengadaan Langsung; atau
-
Sayembara.
-
Untuk
artikel kali ini yang akan dibahas adalah pengadaan langsung. Ini
dipicu oleh status salah seorang penyedia yang galau ketika melihat
semakin sedikit paket lelang yang masuk di LPSE. Sementara pada RUP,
yang diumumkan secara luas, paket Pengadaan Langsung justru semakin
banyak. Kegalauan ini muncul karena kekhawatiran semakin sempitnya
kompetisi.
Disisi
lain di salah satu ULP Kabupaten ada yang berani mengambil putusan
untuk tetap melelangkan paket pekerjaan konstruksi diatas 100.000.000,-
melalui LPSE meski sebenarnya bisa dilakukan pengadaan langsung. Ini
yang terus terang saya dukung.
Salah
satu kebijakan yang paling besar perannya dalam penggunaan metode
pengadaan langsung adalah kebijakan umum tentang Penyederhanaan
ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses
pengambilan keputusan dalam Pengadaan Barang/Jasa. Artinya faktor utama
yang menjadi salah satu alasan kondisional digunakannya pengadaan
langsung adalah percepatan. Atau kalau kita konversikan
kedalam rumusan pencapaian Value for Money (kualitas, kuantitas, waktu,
lokasi dan biaya/harga), maka titik perhatiannya adalah pada efisiensi waktu.
Dengan
kata lain dalam kondisional waktu yang terbatas maka dapat dilakukan
pengadaan langsung dengan syarat seperti diatur pada Pasal 39 ayat (1)
menyebutkan Pengadaan Langsung “DAPAT” dilakukan terhadap Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan:
-
kebutuhan operasional K/L/D/I;
-
teknologi sederhana;
-
risiko kecil; dan/atau
-
dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang-perseorangan dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil.
Tapi
apa lacur kalau kemudian dilapangan kita hanya melihat “cara” dibanding
“asas”. Hanya melihat dari sisi “taktis” dibanding tujuan “strategis”.
Secara strategis pelelangan umum memiliki kemampuan memenuhi 7 prinsip
pengadaan yang diyakini menghasilkan barang/jasa sesuai kebutuhan dengan
tepat.
Ketika yang dilihat hanya persoalan ‘taktis’ maka pencapaian tujuan pengadaan hanya sampai bagaimana barang/jasa itu ada (output). Persoalan outcame apalagi benefit dan impact jauh ditinggalkan.
Ketika
dibuka kran yang lebih luas untuk pengadaan langsung dari tadinya
maksimal 100.000.000,- menjadi 200.000.000,- maka berlomba-lomba lah
semuanya memecah anggaran, yang notabene diluar kewenangan pengadaan,
agar tidak perlu “repot” dilakukan pelelangan. Pelelangan Umum yang
mempunyai nilai strategis dikalahkan oleh alat taktis pengadaan
langsung. Bukan ini yang dimaui oleh P70/2012.
Secara
nominal prinsipnya tidak ada satu belanja pun dalam pemerintahan yang
nilai dibawah 200.000.000,-. Bahkan belanja kertas saja satu tahun satu
kabupaten menghabiskan lebih dari 1 Milyar. Ingat artikel Pengadaan
Kertas itu Strategis. Jadi apa ada alasan selain percepatan yang dapat
menghalalkan pengadaan langsung?
Ini yang coba saya sampaikan dalam artikel Memahami Pengadaan Langsung dengan Kraljic Box dan Materi Dasar Seni Memilih Metode Pengadaan. Pasal
1 ayat 1 jelas dan tegas menyebutkan bahwa pengadaan barang/jasa itu
dimulai dari yang prosesnya dimulai dari “PERENCANAAN KEBUTUHAN” sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.
Artinya
pengadaan barang/jasa itu mestinya terencana. Segala hal yang terencana
bersifat strategis. Percepatan atau perangkap waktu menandakan bahwa
pengadaan tidak terencana. Perpres 54/2010 memberikan tools yang lengkap
terkait strategi pengadaan yang terencana. Ada tentang paket pekerjaan
dan paket pengadaan, tentang dibentuknya Unit Layanan Pengadaan, tentang
adanya Rencana Umum Pengadaan dan lainnya.
Yang saya
takutkan adalah metode pengadaan langsung dijadikan alat untuk menarik
semua paket pengadaan menjauh dari ULP, kemudian menumpuk paket
pengadaan dibawah PA/KPA. Dus setelah itu paket pengadaan langsung hanya
menjadi alat membagi-bagi pekerjaan tanpa kompetisi. Ini sama saja
menumpukan resiko, baik resiko berkurangnya waktu melayani masyarakat
juga resiko hukum kepada para pejabat pengadaan. Untuk itu bijaksanalah
dalam memilih metode pengadaan. Pengadaan Langsung itu tidak wajib kok!https://samsulramli.wordpress.com/
Post a Comment
Terimakasih bila Anda menuliskan komentar disini